Genealogi Wahabi di Indonesia: Dari Ajaran Kekerasan Agama Hingga Upaya Mengatasinya

Genealogi Wahabi di Indonesia: Dari Ajaran Kekerasan Agama Hingga Upaya Mengatasinya

- in Narasi
611
0
Genealogi Wahabi di Indonesia: Dari Ajaran Kekerasan Agama Hingga Upaya Mengatasinya

Ihwal ajaran wahabi yang sudah berkembang pesat di Indonesia merupakan rahasia umum yang mafhum diketahui. Baru-baru ini masyarakat di Pamekasan, Madura, berbondong-bondong melakukan unjuk rasa di depan lembaga pendidikan dan masjid Usman bin Affan. Hal tersebut dilakukan karena karena ceramah Yazzir Hasan, dinilai telah menjelekkan ulama terkemuka pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari dan membid’ahkan maulid Nabi Muhammad SAW. Mereka memprotes dugaan penyebaran ajaran Wahabi di masjid tersebut.

Dalam konteks kehidupan kebangsaan dan keberagamaan, penyebaran ajaran-ajaran mudah menyalahkan dan menyesatkan orang lain, tentu berpotensi memicu friksi. Memutus ukhuwah. Memecah-belah umat. Menjauhkan dari persatuan dan persaudaraan. Hanya saja, melihat begitu bahayanya dampak persebaran paham wahabi di Indonesia, pertanyaan pun muncul, sejauhmanahkan persebaran ajaran Wahabi di Indonesia? Apa sajakah yang diajarkan dalam paham Wahabisme tersebut? Bagaimanakah upaya untuk menghindarkan masyarakat dari letupan perpecahan akibat persebaran paham Wahabi ini?

Genealogi Wahabi di Indonesia

Sebenarnya, keberadaan ajaran Wahabi dan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki sejarah panjang yang saling berhubungan. Berdirinya NU, salah satu latar belakangnya ditengarai untuk melawan ajaran Wahabi yang berkembang di Arab Saudi pada saat itu. Maka itu, tak heran apabila ajaran-ajaran dan tokoh NU tidak akan mendapatkan ruang di hati pemeluk ajaran Wahabi.

Hanya saja, Prof. Abd A’la, guru besar Ilmu Sejarah Pemikiran Politik Islam IAIN Sunan Ampel menyebut, ajaran Wahabi benar-benar masuk ke Indonesia antara tahun 1803 dan 1804, dibawa oleh kaum Padri yang baru pulang haji, Haji Miskin dari Lu(h)ak Agam, Haji Abdur Rahman dari Piobang, bagian dari Lu(h)ak Limah Puluh Kota, dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik, Batusangkar. Ide Haji Miskin yang diamini kedua temannya tersebut, menginginkan perubahan total dalam masyarakat Minangkabau yang (dalam anggapannya) tidak sesuai dengan ajaran Alquran harus dilakukan melalui kekuatan sebagaimana dilakukan kaum Wahabi di Arab. Ajaran ini pun langsung mendapatkan penolakan dariguru-guru Tarekat Syattariyah pada saat itu.

Ajaran yang diinisiasi Muhammad bin Abdul Wahab ini mengusung konsep purifikasi (pemurnian) ajaran Islam. Mengembalikan semua ajaran Islam pada teks al-Qur’an dan Hadits. Mereka sangat anti-tradisi, menolak tahlil, maulid Nabi Saw, barzanji, manaqib, dan sebagainya. Pemahaman ala Wahabi tersebut selanjutnya menjadikan mereka bersifat eksklusif; memandang orang-orang di luar Wahabi sebagai orang kafir dan keluar dari Islam. Dus, orang Wahabi merasa dirinya sebagai orang yang paling benar, paling muslim, paling saleh, paling mukmin dan juga paling selamat. Mereka lupa bahwa keselamatan yang sejati tidak ditunjukkan dengan klaim-klaim Wahabi tersebut, melainkan dengan cara beragama yang ikhlas, tulus dan tunduk sepenuhnya pada Allah Swt (Hasirudin, 2011).

Bagi masyarakat Indonesia, yang mana mereka hidup berdampingan dengan keragaman budaya, tradisi dan nilai, ajaran Wahabi ini bertentangan nilai-nilai yang dianut dan dijunjung tinggi. Benturan nilai-nilai dalam ajaran Wahabi yang terus mengkafirkan, menyalahkan, dan menyesatkan sesama, dengan ajaran leluhur yang menghendaki keharmonisan inilah yang selanjutnya menciptakan friksi. Memecah persatuan kebangsaan yang telah berdiri kokoh. Yang selama ini diperjuangkan oleh para Founding Fathers melalui konsepsi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Sejarah Kekerasan Wahabi

Sejarah mencatat, sejak wahabisme lahir, ia sangat lekat dengan tradisi kekerasan. Bersama Dinasti Saud, kaum wahabi berusaha menundukkan suku-suku di Jazirah Arab di bawah bendera Wahabi/Saudi. Menyamun, menyerang, dan menjarah suku tetangga adalah praktik yang luas dilakukan suku-suku Badui di Jazirah Arab sepanjang sejarahnya. Setiap suku yang belum masuk wahabi diberi dua tawaran jelas: masuk wahabi atau diperangi sebagai orang-orang musyrik dan kafir (Syaikh Idahram, 2011: 119).

Gerakan wahabi telah melakukan keganasan dan kekejaman di kota Karbala (1216 H/1802 M) dengan pembunuhan masal yang tidak mengenal batas perikemanusiaan. Pada tahun 1803 M, kaum wahabi juga telah menyerang dan memberangus kota Thaif. Muhammad Muhsin al-Amin mennyebut, mereka bahkan turut menyembelih bayi yang masih di pangkuan ibunya dan wanita-wanita hamil, sehingga tiada seorang pun yang terlepas dari kekejaman wahabi (Idahram, 2011: 77).

Ibnu Bisyr dalam kitabnya Unwan al-Majd fi Tarikh Najd juga menguraikan, pada bulan Muharram 1220 H/1805 M, wahabi di Makkah membunuh ribuan umat islam yang sedang menunaikan ibadah haji. Pada tahun 1341 H/1921 M, tentara wahabi membantai seribu orang lebih rombongan jamaah haji asal Yaman yang sedang menuju Makkah tanpa sebab yang jelas. Tahun 1408 H/1986 M, mereka juga menyerang jamaah haji asal Iran. Peristiwa itu menewaskan 329 orang dan ribuan lainnya luka-luka (Idahram, 2011: 99-100). Kaum wahabi juga melakukan pembakaran terhadap perpustakaan-perpustakaan Islam, seperti Perpustakaan Arab (Maktabah Arabiyah) di Makkah al-Mukarramah.

Bersih-Bersih Wahabi dari Mimbar Agama Kita

Dalam tradisi fikih Islam, dikenal sebuah konsepsi: dar’ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih (menghindari keburukan itu harus lebih didahulukan daripada mendatangkan kebaikan). Oleh karena ajaran-ajaran Wahabi jelas sangat keras dan ekstrimis, serta memecah-belah umat, terlepas dari kemungkinan-kemungkinan adanya kebaikan dalam ajaran tersebut, ajaran ini memenuhi kriteria untuk sama sekali tidak mendapatkan ruang untuk berkembang, terutama melalui mimbar keagamaan yang notabene corong utama syiar Islam.

Bagaimana kita akan beragama, ditentukan dengan ceramah yang selalu didengungkan di mimbar keagamamaan. Maka itu, mimbar agama harus bersih dari penceramah dan khotib yang mengajarkan Islam secara keras dan ekstrimis. Suka mengkafirkan. Tidak menerima perbedaan sebagai fitrah NKRI.

Ini karena membiarkan narasi ceramah wahabi tetap hidup, sama halnya dengan membiarkan bom waktu yang akan meledakkan persatuan NKRI. Maka itu, pengurus lembaga pendidikan Islam, ta’mir masjid dan musholla harus menstop pemberian ruang untuk ceramah-ceramah yang berhaulan Islam intoleran dan penuh narasi kebencian. Wallahu a’lam.

Facebook Comments