Kyai di Persimpangan Zaman

Kyai di Persimpangan Zaman

- in Narasi
5
0
Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Saat ini kita dihadapkan pada kondisi yang serba instan. Mendapatkan ilmu adalah hal instan. Mendapatkan gelar ustadz juga bisa didapat dengan instan. Apakah kita masih butuh kiyai? Melihat peran-peran kiyai di masa lalu bisa didapat dan diakses dengan mudah di masa sekarang. Jika validasi atau fatwa, bisa kita dapatkan dari sebuah utas di twitter atau threads. Motivasi, juga bisa kita dapatkan dari quotes di tiktok. Masihkah figur kiyai memiliki tempat di tengah badai modernitas yang luas?

Peran Kiyai di Permukaan

Sejak awal, kiyai bukanlah corong teks dan ilmu pengetahuan. Mereka adalah agen yang oleh Clifford Geertz disebut cultural broker, penghubung teks suci dan teks lokal. Mereka berdiri di antara wahyu dan budaya, langit dan bumi, sakral dan profan. Mereka memungkinkan menerjemahkan bahasa langit dengan ke dalam dialek bumi, bahasa wahyu ke bahasa lokal. Oleh karena itu mereka dengan pesantrennya menjadi poros keagamaan. Masalahnya adalah kini, Tiktok seringkali lebih didengar ketimbang apa yang bisa didapat di langgar.

Ada istilah tiga otoritas yang ditawarkan Max Weber: tradisional, karismatik dan rasional-legal. Kiyai dalam konteks tradisional adalah figur yang karismatik dan pewaris otoritas berbasis kebiasaan. Mereka dihormati bukan karena jabatan formal, namun karena kesalehan, pengetahuan dan kemampuan spritual. Namun sekarang masyarakat menuntut otoritas yang argumentatif, bukan dogmatis. Perubahan ini menuntut kiyai bukan hanya untuk dipercaya, tetapi juga dipertanggungjawabkan secara intelektual.

Untuk menjawab hal itu, sebagian kiyai memperluas peran mereka sebagai intektual publik. Mereka melakukan pergerakan progresif. Sebenarnya, tuntutan untuk bisa memberikan penjelasan yang argumentatif sudah muncul sejak dulu kala, namun tidak semerata sekarang. Beberapa kiyai yang melakukan hal-hal progresif seperti ini adalah KH. Sahal Mahfudz, KH. Ali Maksum, KH. Abdur Rahman Wahid, KH. Ahmad Dahlan dan masih banyak lagi. Mereka telah berfikir melampaui zamannya.

Peran Kiyai Sebenarnya

Namun peran kiyai sebenarnya bukan hanya berada pada wilayah akademik dan spritual. Mereka adalah aktor sosial yang strategis dalam mejaga stabilitas dan harmoni masyarakat. Berkaca pada peristiwa masa lalu. Saat kabilah Qurays berselisih tentang siapa yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad setelah Ka’bah direnovasi. Saat itu, pedang nyaris terhunus dan darah siap tumpah. Namun di tengah kebuntuan itu, pemuda yang bernama Muhammad yang nantinya akan menjadi Nabi terkakhir membawa solusi genial. Beliau membentangkan sorbannya dan meletakkan batu di tengahnya, walaupun ia dipercaya sebagai orang yang berhak meletakkanya, ia meminta para pemimpin kabilah Qurays tetap berperan dan mengambil bagian dalam kehormatan itu. Ia memadamkan potensi konflik menjadi momen persatuan.

Ini adalah blue print dari peran sebenarnya dari Kiyai untuk masyarakat. Menjadi juru damai, mediator yang otoritasnya tidak berupa jabatan, melainkan integritas moral dan kearifan yang diakui semua pihak. Bukan hanya teori, mereka terjun langsung ke lapangan. Saat negara gagap dan aparat kehilangan kepercayaan, seringkali kyailah yang turun tangan, mendinginkan suasana di Poso, menenangkan massa di Ambon, atau menjadi jembatan dalam sengketa agraria. Konsep wasathiyah (moderasi) yang mereka usung bukanlah jargon kosong, melainkan praktik sosial yang diwariskan dari kebijaksanaan profetik semacam itu. Hal semacam ini ditutupi dan digantikan oleh peran media sosial semata.

Kiyai Bukan Produsen Robot

Di saat sistem pendidikan nasional semakin terobsesi dengan target teknokratik dan skor PISA, pesantren yang diasuh para kyai justru menawarkan sesuatu yang nyaris punah: pendidikan sebagai proses humanisasi. Di surau dan bilik-bilik sederhana itulah, adab ditempatkan di atas ilmu, empati diajarkan melalui laku, dan solidaritas dipupuk dalam keseharian.

Namun, walaupun begitu, pesantren bukanlah semata pendidikan dogmatis. Santri juga diajarkan untuk kritis namun tetap arif dan bijaksana. Kita bisa melihatnya di sebuah forum bahtsul masail. Para santri tidak hanya diam, ia berani bersuara lantang dan kritis namun tetap sopan. Pesantren bukan hanya mencetak individu yang tidak hanya hafal dalil, tetapi juga mampu “merasakan” denyut nadi masyarakatnya. Mereka harusnya tidak mudah tersulut provokasi karena telah terbiasa hidup dalam perbedaan pendapat (ikhtilaf) antar-mazhab sejak di bangku ngaji.

Di era digitalisasi ini, peran kiyai yang bersifat akademik tengah bersaing dengan doktrin-doktrin kaku anti perdamaian dan kemanusiaan. Kita perlu menyebarkan ilmu-ilmu kiyai yang mendamaikan bahkan bisa mencegah percikan api perselisihan. Karena beberapa kiyai terlalu sibuk berperan langsung di masyarakat bukan di dunia maya. Maka kita bisa berperan dengan menyebarkan semangatnya kiyai di dunia digital.

Facebook Comments