Di tengah pluralitas agama yang menjadi ciri khas Indonesia, gagasan “agama cinta” sering terdengar sebagai semboyan yang indah namun sulit diwujudkan. Padahal, jika dipahami dengan tepat, agama cinta bukan konsep abstrak yang hanya cocok dipidatokan, melainkan sebuah cara hidup yang berakar pada nilai paling mendasar dalam ajaran Islam yang relevan.
Karena itu, ketika kabar mengenai rencana Kementerian Agama menggelar perayaan Natal bersama bagi para pegawai beragama Kristen muncul dan dibalas dengan tuduhan sinkretisme hingga gadai akidah, kita seperti diingatkan bahwa sebagian cara beragama kita masih berjalan dengan logika hitam-putih, spirit agama cinta masih jauh panggang dari api.
Padahal, mengaplikasikan agama cinta di masyarakat yang majemuk tidak harus dimulai dari hal-hal besar, melainkan dari penataan cara pandang. Agama cinta menuntut kita untuk melihat orang lain bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai sesama ciptaan Tuhan yang sama-sama mencari makna hidup melalui jalan masing-masing.
Ketika pluralitas dipahami sebagai ancaman terhadap identitas, kita terdorong untuk membuat tembok-tembok ketakutan; tetapi ketika pluralitas dilihat sebagai kepelbagaian karunia Tuhan, maka kita terdorong untuk menebarkan kebaikan tanpa harus mengikis keyakinan pribadi. Tuhan tidak pernah meminta manusia menjadi seragam, yang diminta adalah menjadi manusia yang benar. Yang tidak menimbulkan kerusakan dan perpecahan.
Salah satu kesalahpahaman yang sering muncul adalah menyamakan penghormatan terhadap pemeluk agama lain dengan sinkretisme. Padahal, ulama-ulama terdahulu telah mengajarkan cara membedakan secara jernih antara akidah dan muamalah. Akidah bersifat absolut, tidak bercampur, tidak dinegosiasikan. Namun wilayah muamalah, seperti hubungan sosial, kerja sama kemanusiaan, urusan pelayanan publik, bersifat fleksibel dan inklusif.
Ketika negara memberi ruang bagi setiap pegawai untuk merayakan hari besarnya, hal itu bukan perintah untuk mencampur akidah, melainkan wujud kehadiran negara untuk menghormati warga setara tanpa membeda-bedakan. Inilah contoh implementasi agama cinta dalam konteks bernegara: keteguhan akidah tidak menjadi alasan untuk menghalangi penghormatan terhadap hak orang lain.
Agama cinta bukan pula romantisme kosong. Ia menuntut kedalaman iman. Iman diibaratkan akar yang menghunjam kuat ke dalam tanah; semakin dalam, semakin kokoh pohonnya, semakin manis buahnya. Pohon yang berbuah manis memberi manfaat bagi siapa saja, tanpa bertanya apa agama orang yang berteduh di bawahnya. Maka, seseorang yang imannya matang justru lebih mudah menunjukkan kelapangan hati. Orang yang mudah tersinggung oleh perbedaan biasanya bukan karena terlalu kuat beragama, tetapi justru karena rapuh di dalam. Akar imannya belum menghujam; yang tampak baru ranting-ranting kasar.
Untuk mengaplikasikan agama cinta dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu membumikan sifat Rahman dan Rahim yang setiap hari kita sebut dalam doa. Rahman berarti kasih yang melingkupi semua makhluk, tanpa syarat. Rahim berarti kasih yang mendalam, penuh kedekatan.
Dua sifat itu seharusnya tidak berhenti sebagai lafaz, tetapi hadir dalam perilaku, bersikap lembut, tidak mudah menghakimi, menolong tanpa memandang identitas, serta menjaga ucapan agar tidak melukai. Jika kita benar-benar mengambil ruh dari dua sifat ini, maka relasi sosial menjadi lebih hangat, perbedaan tidak lagi menjadi pemicu ketegangan, dan agama tampil sebagai kekuatan pemulihan, bukan sumber kekerasan mental maupun verbal.
Momentum seperti perayaan Natal adalah ruang penting untuk menampilkan keindahan agama cinta dalam bingkai kebangsaan. Toleransi bukan berarti melegitimasi ajaran orang lain, bukan pula ikut dalam ibadahnya. Toleransi berarti memberi ruang bagi orang lain untuk menjalankan ibadahnya dengan damai, sebagaimana kita ingin diperlakukan.
Di Indonesia, toleransi memiliki dimensi keindonesiaan sendiri: sikap saling menghormati sebagai saudara sebangsa. Karena itu, ketika umat agama lain merayakan hari besar, kita tidak diminta mengubah keyakinan, tetapi cukup menghadirkan sikap baik, mengucapkan selamat dalam konteks sosial, atau setidaknya tidak membuat narasi yang memecah belah. Itulah penerapan praktis agama cinta dalam kehidupan berbangsa.
Dalam skala lebih luas, agama cinta juga bisa menjadi landasan penting untuk membangun masyarakat madani. Masyarakat yang menghargai perbedaan, menjunjung hukum, mengutamakan dialog ketimbang konfrontasi, serta merawat ruang publik yang aman bagi semua. Generasi milenial dan Gen Z yang hidup di era disrupsi digital membutuhkan pendekatan keberagamaan yang menyejukkan, bukan yang menakut-nakuti. Ketika agama tampil sebagai ruang damai, bukan ruang penghakiman, mereka akan lebih mudah mendekat; tetapi ketika agama tampil sebagai pagar hitam-putih yang kaku, mereka justru menjauh.
Tuhan tidak meminta kita menjadi hakim bagi sesama, melainkan menjadi rahmat bagi alam semesta. Jika Tuhan sendiri melimpahkan kasih-Nya tanpa kecuali, mengapa kita masih memilih cara beragama yang penuh curiga, marah, dan dendam? Agama cinta hadir untuk mengingatkan bahwa jalan menuju Tuhan tidak pernah dibangun dari kebencian, melainkan dari cinta yang mengalir tanpa memilih-milih kepada siapa ia diberikan.
