Desember selalu memiliki aroma yang khas. Ada bau tanah basah sisa hujan sore hari, aroma liburan yang dinanti-nanti, hingga semarak lampu warna-warni yang mulai menghiasi sudut-sudut kota menjelang Natal dan Tahun Baru. Di momen seperti inilah, ritme sosial kita sering kali diuji. Di antara hiruk-pikuk perayaan saudara-saudara kita yang beragama Nasrani dan pergantian tahun masehi, kita diajak untuk menengok kembali ke dalam diri: sejauh mana kita telah “membumikan” sifat Tuhan yang setiap hari kita lafalkan?
Setiap kali kita memulai sesuatu, kita menyebut Bismillahirrahmanirrahim. “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Dua sifat ini, Ar-Rahman dan Ar-Rahim, bukan sekadar pembuka mantra, melainkan manifesto kehidupan.
Para ulama sering menggambarkan Ar-Rahman sebagai kasih sayang Tuhan yang universal, yang melingkupi segala sesuatu di dunia ini tanpa pandang bulu. Bayangkan matahari. Apakah matahari memilih hanya menyinari rumah orang yang rajin beribadah dan membiarkan rumah seorang pendosa dalam kegelapan? Tidak. Matahari menyinari siapa saja. Hujan membasahi ladang milik orang mukmin maupun non-mukmin. Itulah Rahman. Kasih sayang yang luas, inklusif, dan tidak diskriminatif.
Sementara Ar-Rahim adalah kasih sayang yang lebih spesifik dan mendalam, yang menyentuh hati. Namun, untuk konteks kehidupan sosial dan bernegara, kita perlu belajar banyak dari sifat Ar-Rahman.
Menjelang akhir tahun, narasi tentang toleransi sering kali timbul tenggelam, kadang terseret arus perdebatan teologis yang kaku. Padahal, toleransi bukanlah tentang menggadaikan akidah atau ikut campur dalam ritual ibadah agama lain. Toleransi adalah seni hidup berdampingan. Ia adalah kemampuan untuk membiarkan “orang lain” menjadi “orang lain” dengan rasa aman dan nyaman.
Mengapa ini penting? Lihatlah dunia hari ini. Kita hidup di era di mana kebencian bisa viral lebih cepat daripada kebaikan. Konflik horizontal atas nama agama masih menjadi luka di berbagai belahan bumi. Namun, di sisi lain, kita juga melihat harapan.
Ingatlah kisah nyata yang menyentuh hati tentang bagaimana komunitas Muslim di berbagai daerah di Indonesia turut menjaga keamanan gereja saat Misa Natal, atau sebaliknya, saudara-saudara Kristen yang menyediakan tempat parkir bagi jamaah Salat Idul Fitri. Ini bukan sekadar seremonial; ini adalah bukti bahwa kemanusiaan bisa melampaui sekat-sekat dogmatis. Ketika kita bersikap baik kepada tetangga yang sedang merayakan Natal, kita sedang mempraktikkan sifat Rahman. Kita sedang memberi “matahari” dan “hujan” kebaikan kepada sesama manusia.
Jika kita merasa paling benar sendiri hingga bersikap sinis terhadap mereka yang berbeda, mungkin kita lupa menengok sejarah manusia paling mulia, Nabi Muhammad SAW. Beliau bukan hanya pemimpin umat Islam, beliau adalah rahmat bagi semesta alam (Rahmatan lil ‘Alamin).
Ada sebuah riwayat yang sangat menggetarkan hati tentang bagaimana Nabi memandang manusia lain di luar Islam.
Suatu ketika, sebuah iring-iringan jenazah lewat di hadapan Nabi Muhammad SAW. Nabi pun segera berdiri sebagai tanda penghormatan. Salah satu sahabat bertanya dengan nada heran, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu adalah jenazah orang Yahudi.”
Mendengar itu, Nabi tidak lantas duduk kembali atau membuang muka. Beliau justru menjawab dengan kalimat yang menembus batas-batas primordial: “Alaisat nafsan?” (Bukankah ia juga manusia/jiwa?) (HR. Bukhari dan Muslim).
Jawaban pendek itu sarat makna. Nabi tidak melihat label agamanya terlebih dahulu, melainkan melihat Sang Pencipta. Bahwa jenazah itu adalah jiwa ciptaan Tuhan yang layak dihormati. Jika kepada jenazah orang Yahudi saja Nabi hormat, bagaimana mungkin kita yang mengaku umatnya justru bersikap kasar kepada tetangga kita yang masih hidup hanya karena mereka merayakan hari besarnya?
Contoh lain dari toleransi Nabi adalah ketika beliau menerima delegasi Kristen dari Najran di Madinah. Beliau tidak hanya menyambut mereka dengan dialog yang santun, bahkan dalam beberapa riwayat sejarah (seperti dicatat oleh Ibnu Ishaq), Nabi mengizinkan mereka melakukan kebaktian di dalam kompleks Masjid Nabawi menghadap ke arah timur. Nabi memberikan ruang, rasa aman, dan perlindungan. Beliau menunjukkan bahwa masjid bukan hanya tempat sujud, tapi juga pusat peradaban yang memanusiakan manusia.
Beragama seharusnya membuat kita semakin mencintai manusia, bukan membencinya. Semakin dekat kita kepada Tuhan Yang Maha Pengasih (Ar-Rahman), seharusnya semakin pengasih pula perilaku kita kepada makhluk-Nya. Tidak perlu perdebatan panjang yang menguras energi. Cukup satu senyuman tulus, bantuan kecil saat tetangga kerepotan, atau sapaan hangat yang menyejukkan.
Mari kita bumikan sifat Rahman dan Rahim. Jadilah manusia yang kehadirannya mendamaikan, yang lisannya menyejukkan, dan yang sikapnya membuat orang lain merasa aman. Karena pada akhirnya, puncak dari keberagamaan adalah akhlak yang mulia.
Selamat merefleksikan akhir tahun. Semoga damai menyertai kita semua.
