Belakangan ini, lini masa media sosial ramai dengan perbincangan terkait keputusan Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama bagi pegawainya. Sebagian pihak menyambutnya dengan kecurigaan yang besar, bahkan mengaitkannya dengan tuduhan-tuduhan berat, seperti sinkretisme, penyamaan agama, dan ancaman terhadap akidah umat Islam. Sebuah wacana yang sejatinya mengundang perdebatan serius tentang arti dan kedudukan toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia, negara yang sejak awal kemerdekaan telah memilih Pancasila sebagai dasar negara yang mengedepankan kerukunan antarumat beragama.
Namun, apakah tuduhan tersebut benar adanya, ataukah sebuah reaksi berlebihan terhadap sebuah langkah yang sejatinya bertujuan untuk memperkuat rasa persaudaraan di antara sesama pegawai yang beragam latar belakang agama? Dalam memahami isu ini, penting untuk melihatnya dari perspektif yang lebih luas, berdasarkan pada prinsip-prinsip agama yang mengajarkan kasih sayang, kedamaian, dan penghargaan terhadap keberagaman.
Toleransi dalam Agama dan Ajaran Universal Tuhan
Agama-agama besar di dunia, termasuk Islam, Kristen, Hindu, dan Budha, mengajarkan tentang pentingnya saling menghormati dan hidup berdampingan dengan damai. Misalnya dalam ajaran Islam, kitab suci Al-Qur’an secara tegas mengatur bagaimana umat Islam harus berinteraksi dengan pemeluk agama lain, dengan penuh kasih sayang dan tanpa ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah: 256). Sifat kasih sayang Tuhan yang tak terbatas kepada seluruh ciptaan-Nya, sebagaimana termaktub dalam ajaran agama-agama besar, menunjukkan bahwa umat manusia, yang terbuat dari berbagai macam latar belakang agama dan budaya, seharusnya saling menghargai.
Jika Tuhan Yang Maha Pengasih saja melimpahkan kasih-Nya kepada seluruh makhluk tanpa terkecuali, lantas mengapa sebagai umat-Nya kita memilih untuk bersikap sebaliknya? Mengapa kita tidak mampu meneladani sifat-Nya yang penuh kasih dan justru memilih menjadi hakim yang pemarah dan pendendam? Ini adalah pertanyaan yang sangat penting dalam konteks kehidupan beragama yang penuh tantangan saat ini.
Indonesia sebagai negara dengan keberagaman agama yang luar biasa memiliki dasar yang kuat dalam mewujudkan toleransi, yaitu Pancasila, khususnya sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Sila ini menegaskan bahwa meskipun umat beragama di Indonesia berbeda-beda, mereka tetap diikat oleh prinsip yang sama, yaitu pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, perayaan Natal bersama di lingkungan Kementerian Agama, yang diperuntukkan bagi seluruh pegawai tanpa memandang agama, bukanlah sebuah upaya untuk menyamakan agama-agama atau menggoyahkan akidah seseorang. Sebaliknya, ini adalah bentuk penghormatan terhadap hak setiap individu untuk merayakan perayaan keagamaan mereka, sekaligus memperlihatkan sikap saling menghormati antar umat beragama.
Keputusan Kementerian Agama untuk mengadakan perayaan Natal bersama seharusnya dilihat sebagai bentuk inklusivitas dan solidaritas antar umat beragama, bukan sebagai ancaman terhadap integritas agama tertentu. Hal ini juga sejalan dengan semangat Bhineka Tunggal Ika, yang mengajarkan bahwa meskipun berbeda-beda, kita tetap satu, yaitu bangsa Indonesia.
Kasih Sayang sebagai Esensi Iman
Iman yang kita peluk adalah iman yang seharusnya mengarah pada pemahaman akan kasih sayang universal, yang mengajarkan kita untuk mencintai sesama tanpa memandang latar belakang agama, suku, ataupun ras. Sebagai umat beragama, kita tidak hanya dituntut untuk menjaga hubungan yang baik dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama manusia, tanpa kecuali. Iman itu ibarat akar pohon yang semakin kokoh apabila ditanam dengan benar.
Jika akarnya kuat, maka dahan-dahan yang tumbuh dari pohon tersebut akan lebih besar dan memberi manfaat bagi banyak orang. Buah dari pohon tersebut bukan hanya dapat dinikmati oleh pemeluk agama tertentu saja, melainkan oleh semua orang yang berada di sekitarnya.
Dalam perayaan Natal bersama bukanlah ancaman terhadap akidah, melainkan sebuah wujud nyata dari semangat kasih sayang yang menjadi esensi dari agama itu sendiri. Sama seperti kita saling memberi manfaat dengan sesama, sebuah acara perayaan yang melibatkan semua pegawai, tanpa memandang agama, adalah sebuah manifestasi dari sikap saling menghargai dan berbagi kebahagiaan.
Sebagai umat beragama, kita seharusnya berusaha untuk meneladani sifat Tuhan Yang Maha Pengasih. Toleransi beragama tidak berarti menanggalkan keyakinan kita, tetapi mengajarkan kita untuk saling menghargai dan hidup berdampingan dengan damai. Oleh karena itu, perayaan Natal bersama di Kementerian Agama seharusnya dipandang sebagai langkah positif untuk mempererat tali persaudaraan dan menunjukkan bahwa keberagaman bukanlah penghalang, melainkan sebuah kekayaan yang harus dijaga bersama.
Seperti yang diajarkan oleh agama-agama besar, kasih sayang adalah esensi dari kehidupan beragama yang hakiki. Sebagai bangsa yang hidup dalam keragaman, kita harus mampu menciptakan harmoni dengan saling menghargai, tanpa menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk saling mencaci. Dengan menumbuhkan akar kasih sayang yang kokoh, kita dapat memetik buah kedamaian dan kerukunan yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia.
