Agenda Natal Bersama Kementerian Agama 2025 menuai polemik di tengah masyarakat. Agenda itu dianggap sebagai sinkretisme agama bahkan penggadaian akidah oleh sebagian kalangan.
Agenda Natal Bersama juga dianggap sebagai kampanye terselubung paham pluralisme agama. Mudah ditebak, tudingan itu muncul dari kelompok konservatif. Kaum yang menganggap pluralisme agama sebagai ancaman.
Pertanyaannya, mengapa mereka begitu curiga dengan pluralisme? Salah satu faktor utamanya adalah mereka gagal paham terhadap definisi pluralisme itu sendiri. Kaum konservatif kadung mendefinisikan pluralisme sebagai paham yang menganggap semua agama itu sama dan benar. Di titik ini, kaum konservatif gagal membedakan antara pluralisme dan relativisme.
Pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama alias tanpa perbedaan. Pluralisme justru menganggap semua agama memiliki perbedaan dan nilai kebenarannya masing-masing, namun perbedaan itu tidak menjadi halangan untuk saling memahami dan bekerjasama. Pluralisme adalah paham yang merayakan perbedaan agama dan membangun spirit saling mengenal, saling memahami, dan saling bekerjasama.
Pluralisme beda dengan relativisme yang mengajarkan prinsip bahwa tidak ada kebenaran yang hakiki, semua konsep kebenaran di dunia hanyalah semu belaka, termasuk kebenaran yang dibawa agama-agama. Dalam relativisme, manusia diajak untuk meragukan kebenaran agama sendiri dan agama orang lain.
Sebaliknya, dalam pluralisme tidak demikian. Dalam pluralisme, setiap umat beragama hadis meyakini bahwa ajaran agamanya yang paling benar dan suci. Namun, keyakinan itu tidak lantas dijadikan alat untuk menghakimi keyakinan umat agama lain.
Kerancuan pemahaman inilah yang membuat kelompok konservatif cenderung anti dengan paham pluralisme. Pluralisme dianggap sebagai ancaman bagi akidah atau keimanan. Padahal, paham pluralisme itu tidak ada kaitannya dengan keimanan.
Pluralisme mengakui kesucian ajaran setiap agama dan mengakui bahwa setiap agama memiliki ajaran keimanan masing-masing. Paham pluralisme hanya mengajak umat beragama saling mengenal dan bekerjasama untuk merawat harmoni.
Pluralisme menjadi paradigma yang relevan dikembangkan di Indonesia yang multikultur dan multireliji. Kegiatan Natal Bersama Kemenag adalah bagian dari membangun kultur pluralisme, dimana umat beragama berbagi ruang publik untuk merayakan hari besar keagamaan.
Selama ini, Hari Besar Keislaman selalu diprioritaskan oleh negara. Momen Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi, Isra Miraj, sampai Tahun Baru Hijriah, selalu difasilitasi oleh negara. Sampai-sampai muncul selentingan agar Kementrian Agama diubah saja menjadi Kementerian Islam.
Kementerian Agama berusaha mengubah citra negatif itu dengan memfasilitasi perayaan Hari Besar agama minoritas, yakni Kristen. Natal bersama adalah wujud kehadiran negara di tengah kemajemukan beragama. Natal bersama adalah wujud komitmen pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan keagamaan tanpa melihat status mayoritas atau minoritas.
Momen Natal Bersama idealnya menjadi ruang refleksi bangsa. Natal identik dengan pesan damai dan kebersamaan. Dua hal yang belakangan ini menjadi barang mahal di negeri ini. Dari luar, bangsa ini memang damai, adem ayem, dan seolah nyaris tidak adalah masalah dalam relasi sosial. Namun, jika dilihat lebih detil, bangsa ini menyimpan banyak problem terkiat relasi sosial.
Dendam, caci-maki, dan kebencian yang dilatari fanatisme ideologi agama masih mendominasi relasi sosial kita. Kebersamaan yang menjadi genetika bangsa pun tampaknya mulai luntur. Tergerus oleh nalar individualisme dan pragmatisme. Maka, Natal Bersama idealnya dipahami sebagai sebuah seruan untuk menghadirkan kembali kuktur damai dan koeksistensi di tengah umat beragama dan bangsa pada umumnya.
Natal Bersama idealnya dipahami sebagai sebuah ritus kebangsaan yang mempertemukan komunitas lintas iman, lintas agama dan lintas aliran dalam satu spirit; perdamaian dan kebersamaan.
Pluralisme idelanya juga tidak dipahami sebagai sebuah ancaman. Sebaliknya, pluralisme adalah kunci untuk merawat kemajemukan agama. Di tengah bangsa yang multireligius seperti Indonesia, setiap umat beragama wajib dilindungi haknya untuk mengekspresikan keimanan dan peribadatannya tanpa takut diintervensi oleh negara atau kelompok sipil.
Maka, kehadiran negara dalam wujud regulasi menjadi penting dalam hal ini. Regulasi hukum untuk melindungi hak dan kebebasan beragama warganegara menjadi mutlak. Namun, tidak kalah penting dari itu adalah komitmen umat beragama untuk berbagi ruang publik bersama tanpa mengedepankan nalar mayoritanisme.
Terselenggaranya Natal Bersama kiranya menjadi bukti bagaimana umat Islam Indonesia sebenarnya merupakan kelompok moderat inklusif. Kelompok yang mau berbagi ruang publik dalam kegiatan keagamaan tanpa mengedepankan sentimen kecurigaan apalagi kebencian.
Maka, sudah sepatunya polemik soal Natal Bersama ini disudahi. Di tengah kondisi bangsa yang dilanda duka akibat bencana dimana-mana seharusnya umat beragama lebih menjunjung sikap toleran. Polemik soal Natal Bersama yang dibingkai dalam narasi sinkretisme atau gadai akidah hanya akan menambah kegaduhan di tengah masyarakat.
