Memviralkan Semangat Moderasi ala Pesantren di Media Sosial; Tantangan Jihad Santri di Era Virtual

Memviralkan Semangat Moderasi ala Pesantren di Media Sosial; Tantangan Jihad Santri di Era Virtual

- in Narasi
6
0

Di era ketika jari-jemari menggantikan langkah kaki, dan gawai kecil mampu menggerakkan opini dunia, ruang digital telah menjadi medan baru bagi perjuangan umat. Di tengah derasnya arus informasi, narasi keagamaan sering dikaburkan oleh kelompok ekstrem yang gemar memelintir teks, menyebar kebencian, serta menanamkan doktrin intoleransi.

Pesantren, yang selama ini menjadi garda depan penjaga Islam moderat, tidak lagi bisa bertahan hanya di bilik-bilik langgar. Spirit moderasi harus melompat keluar dari pagar pesantren dan menjelma menjadi konten viral yang menembus timeline masyarakat global.

Pesantren sejak lama menanamkan nilai tawassuth (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (adil). Nilai-nilai ini bukan sekadar doktrin, tetapi dihidupi dalam keseharian: santri belajar menghormati perbedaan pendapat melalui bahtsul masail, berdiskusi tanpa merasa paling benar, bahkan dihidupi melalui budaya hormat terhadap kiai, guru, dan sesama. Islam versi pesantren adalah Islam yang teduh dan penuh kasih.

Namun persoalannya hari ini, nilai mulia tersebut sering tenggelam oleh narasi keras yang dikemas lebih provokatif oleh kelompok intoleran melalui media sosial. Mereka pandai membuat konten pendek yang memicu emosi, memanfaatkan algoritma digital yang menyukai hal-hal kontroversial. Akibatnya, banyak anak muda tanpa bekal literasi agama yang kuat mudah tercerabut dari akar tradisi keislaman moderat, lalu hanyut dalam ideologi destruktif.

Karena itu, dengan ini Santri harus pandai mengambil posisi. Jihad santri di era digital bukan lagi mengangkat senjata atau turun ke medan perang fisik, melainkan memenangkan pertarungan narasi. Santri harus terbiasa mengemas nilai moderasi menjadi pesan yang ringan, menarik, dan mudah dibagikan. Di TikTok, semangat keberagamaan ramah bisa dihadirkan melalui cuplikan ceramah kiai yang penuh humor dan kebijaksanaan dan kearifan.

Di Instagram, nilai tawassuth dapat disampaikan dalam bentuk carousel berisi kutipan kitab kuning tentang pentingnya menghormati perbedaan. Di YouTube, santri bisa membuat podcast yang membongkar kesesatan narasi radikal tanpa mencaci, tetapi dengan hujjah yang kuat dan bahasa yang manusiawi. Bahkan di X atau Facebook, santri dapat menjadi influencer kebaikan yang cerdas menyelipkan nilai keislaman rahmatan lil ‘alamin.

Tentu, mengemas konten keagamaan tidak semudah mengutip kitab. Moderasi ala pesantren harus dikemas dengan estetika visual yang mengikuti selera generasi Z dan Alfa yang hidup dalam dunia serba cepat, instan, dan visual. Karena itu, santri harus melek digital sekaligus kreatif. Memahami algoritma, menguasai teknik storytelling, mahir menggunakan aplikasi editing, dan peka terhadap tren viral menjadi bagian dari jihad baru.

Namun perjalanan ini tidak lepas dari tantangan. Dunia virtual bukan hanya sarana dakwah, tetapi juga arena perundungan digital, ujaran kebencian, dan hoaks yang siap menyerang kapan saja. Bahkan mungkin tidak sedikit yang akan diserang oleh kelompok radikal yang merasa terganggu. Oleh karena itu, santri digital bukan hanya harus membekali diri dengan kemampuan kreatif, tetapi juga ketahanan mental, adab digital, serta keberanian menghadapi resistensi dengan bijak, tanpa harus membalas kebencian dengan kebencian.

Dunia sedang menunggu wajah Islam yang senyumannya menenangkan, bukan yang wajahnya murka dan penuh amarah. Pesantren adalah rumah dari wajah itu, dan santri adalah duta yang akan membawanya terbang ke jagat digital. Inilah saatnya semangat moderasi pesantren tidak hanya dirayakan, tetapi dipublikasikan dan diviralkan. Selamat Hari Santri—saatnya santri mengabarkan Islam rahmah hingga ke ujung jaringan internet dunia.

Facebook Comments