Layaknya pesantren yang lain, lokasi pesantren yang kami kunjungi ini juga jauh dari pusat perkotaan. Pemandangan alam yang masih cukup segar dengan hamparan hijau yang masih menawan. Beberapa penduduknya masih setia dengan kaki sebagai alat transportasi utama, walaupun sesekali bunyi bising mobil dan sepeda motor sedikit mengganggu.
Ratusan santri dan undangan telah menyemuti lokasi kegiatan yang digelar di salah satu pesantren di Banyumas. Paparan dan presentasi berapi-api dari setiap narasumber cukup menggetarkan telinga dan menggugah semangat. Tibalah waktu diskusi. Beberapa penanya telah menyampaikan pertanyaan dan pernyataan menarik tentang tema seputar pencegahan paham radikal terorisme dan ancamannya terhadap NKRI.
Dari sudut belakang, anak muda dengan pakaian kebanggaannya mengacungkan tangan. Dengan nada yang cukup keras tapi nampak tulus pemuda ini bertanya dengan nada menodong” tolong tunjukkan kami kelompok atau organisasi yang saat ini menjadi ancaman negara ini, agar kami tahu mana kelompok yang akan kami lawan”. Ia melanjutkan “ terus terang kami sedih ketika dunia pendidikan mengajarkan haram memberikan hormat kepada bendera kita tercinta”.
Pernyataan pemuda, anak pesantren dari pelosok ini, sangat menggetarkan kami. Rasanya sudah cukup lama telinga ini tidak mendengar pekikan bernuansa nasionalisme yang begitu heroik dan tulus yang keluar dari suara anak muda. Kalaupun ada kita sering melihatnya dalam kegiatan dan acara formal nan rutin. Entah itu acara upara Pengibaran Bendera atau momen menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Namun, saat ini kita tidak cukup hanya melihat nasionalisme formal dan rutin. Kalau pun itu sangat penting, tetapi rasanya pengibaran bendera dan lantunan lagu Indonesia Raya terasa hambar dan kering makna. Apa yang hilang? Semangat tulus cinta negara dan bangsa ini telah mulai keropos bahkan mulai sedikit demi sedikit memudar.
Kita hanya mengibarkan bendera, tetapi belum mengibarkan semangat nasionalisme. Kita baru sekedar menyanyikan lagu tetapi belum menghayati lagu sebagai ekspresi kecintaan terhadap negara. Entah berapa kali pemuda pesantren tadi melakukan upacara bendera. Bagi kami itu tidak terlalu penting. Entah berapa kalimat yang ia hafal dari lagu Kebangsaan kita. Itu pun bagi kami tidak menjadi subtantif. Namun, ketika erosi nasionalisme mulai menggerogoti seluruh lapisan masyarakat itu yang menjadi sangat krusial.
Mari sejenak mengambil hikmah. Kenapa Timur Tengah melalui momentum Arab Springs menjadi bola panas yang menggelinding menciptakan konflik yang menyusuri hampir seluruh negara-negara kawasan gurun pasir tersebut. Apakah skenario Barat? Apakah rekayasa geo-politik ekonomi?
Kami tidak sedang ingin menjadi pengamat yang fasih mengumbar teori konspirasi. Apa yang secara kasat mata terlihat bahwa tidak ada identitas nasional yang bisa menjadi pilar konsensus bersama dalam menyelesaikan persoalan kenegaraan. Konflik Sunni-Syiah meruncing karena dunia Arab gagal dalam memformulasikan Islam dalam rajutan nasionalisme. Islam tidak bisa ditanamkan secara subur dalam balutan semangat tanah air. Ketika konflik sekterian muncul, masing-masing berdiri di sudut identitas politik dan kepentingan kelompoknya.
Nasionalisme Pesantren
Apa yang ingin saya katakan di sini adalah sebuah kegusaran sekaligus peringatan besar bagi bangsa ini. Ketika nasionalisme itu mulai memudar, ketika itu pula seluruh warga negara ini tidak merasa mempunyai identitas nasional bersama. Ketika identitas nasional sudah mencair, sekterianisme, fanatisme, dan primordialisme kelompok akan menjadi penyakit menular yang mampu menimbulkan konflik sosial. Tentu saja kita tidak ingin melihat replika konflik Timur Tengah itu dipajang di bumi nusantara.
Pelajaran dari perjalanan ke pelosok pesantren mengajarkan saya banyak hal terutama tentang nasionalisme. Kecintaan yang tidak semu, tidak kaku dan tidak dibuat-buat. Nasionalisme yang tidak butuh acara formal dan rutin tetapi menukik dalam setiap nafas dan tindakan. Kenapa nasionalisme seperti itu bisa tertanam dan terwarisi dalam setiap generasi di pesantren?
Kata kuncinya sebenarnya cukup mudah. Pesantren telah selesai dan sukses merumuskan suatu formula rumit tentang hubungan agama dan negara, Islam dan Pancasila, Kecintaan Islam dan Kecintaan Tanah Air! Sejarah telah mencatat rumusan Indonesia sebagai dar al-salam (negara damai) bukan dar al harb (negara perang) telah selesai diamini masyarakat pesantren di Banjarmasin. Resolusi Jihad membela negara telah mereka ekspresikan dalam perjuangan di Surabaya. Dan semangat Islam sebagai ruh Pancasila telah disepakati dalam momentum para pengasuh pesantren di Situbondo.
Anehnya, sejarah panjang dunia pesantren dalam perjuangan negara itu tak satu pun terbukukan dalam mata pelajaran di pesantren apalagi di sekolah umum. Di dunia pesantren, tidak pernah akan ditemukan suatu penataran kecintaan negara. Tetapi ketika santri ditanya kenapa mereka mencintai negara ini, jawaban lugasnya adalah “hubbul wathan minal iman”, mencintai tanah air adalah sebagian dari iman.
Apa yang ingin saya tegaskan di sini bahwa pesantren telah berhasil mewariskan nasionalisme tidak dengan cara formal. Namun, kecintaan terhadap negara ditransmisikan sebagai nilai yang utuh dan tulus yang terintegrasi dalam manifesto Islam dan cinta tanah air. Nilai-nilai itu begitu lembut masuk dan terinternalisasi dalam alam bawah sadar setiap santri dari generasi ke generasi.
Lalu apakah mencintai tanah air adalah haram dan bid’ah? Saya ingin menutup tulisan ini dengan satu kalimat bagaimana Nabi Muhammad mengekspresikan kecintaannya terhadap tanah air di mana beliau dilahirkan. “Makkah, kamu adalah tanahku yang saya cintai, tidak akan ada seseorang yang dapat mengusirku darimu, dan saya tidak akan pernah tinggal di tanah lain selain dirimu” (HR Ahmad, Thirmidzi dan Ibnu Majah).
Oleh : Abdul Malik