Tradisi Suran dan Titik Terendah dari Hijrah

Tradisi Suran dan Titik Terendah dari Hijrah

- in Kebangsaan
2
0
Tradisi Suran dan Titik Terendah dari Hijrah

Apa yang tampak baik, dan secara sekilas seperti hal yang dianjurkan, terkadang adalah hal yang akan berdampak buruk atau tak baik.

Contoh paling kentara dari pemahaman itu adalah agama. Di antara berbagai dimensi yang dimiliki manusia, dimensi religiositas adalah dimensi yang paling dalam ketika menggigit, hingga rasanya, ironisnya, ada yang kurang ketika seumpamanya gigitan itu dilepaskan.

Pada tahap itulah orang kemudian dihadapkan pada satu bentuk hijab teragung yang sekilas seperti sebuah kebaikan ataupun kemuliaan. Dan pada tahap ini pula orang kemudian dihijrahkan pada sebentuk pemahaman bahwa logika agama dan logika Tuhan adalah tak mesti sebangun.

Contoh yang paling bagus tentu saja adalah pertanyaan reflektif popular, kenapa meskipun kebaikan sudah terwujudkan, keburukan atau hal-hal yang dipandang tak sebagaimana dalam bayangan tetap saja mendera.

Muharam, atau saya lebih suka menyebutnya sebagai “Sura,” adalah salah satu masa yang dianggap istimewa bagi umat Islam. Di situlah tahun baru Islam atau yang disebut tahun hijriyah bermula.

Tentu saja keistimewaan itu adalah karena terjadinya peristiwa hijrah yang identik dengan jargon moral perubahan dengan segala penafsirannya yang ada, dari yang rendah segala status dan kondisinya sampai yang luhur segala status dan kondisinya.

Namun, sangat menarik ketika bulan Muharam dengan segala pernak-perniknya yang ada itu mampir di tanah Jawa, dengan menjelma sebagai bulan Sura, yang secara sekilas dekat dengan pemaknaan kaum syi’ah: keprihatinan.

Ketika tahun baru selalu saja diasosiasikan dengan pestapora dan sukaria, orang-orang kejawen dan orang-orang syi’ah justru mengekspresikannya dengan suasana keprihatinan: tirakat bagi orang-orang kejawen dan berkabung bagi orang-orang syi’ah.

Tentu saja, meskipun sama-sama berkonotasi prihatin, namun tirakat dan berkabung merupakan dua hal yang dapat dibedakan. Tirakat bagi kalangan kejawen lebih mendekati esensi dari idulfitri, kesucian atau kefitrahan, yang jelas berbeda dengan suasana perkabungan yang dilakukan oleh kalangan syi’ah yang lebih berorientasi ke belakang atau masa silam.

Maka, tentu saja peristiwa hijrah yang menjadikan Muharam serasa istimewa mendapatkan pemaknaan yang berbeda pula.

Bagi kalangan kejawen, hijrah itu adalah sebentuk laku yang lebih bersifat individual daripada sosial. Ia bukanlah semata persoalan dari merokok menjadi tak merokok, tak berhijab menjadi berhijab, kurang beragama menjadi beragama, masyarakat yang kurang beradab menjadi beradab, atau hal-hal yang secara sosial dapat kentara atau dapat diukur.

Ketika orang berprihatin dengan jalan tirakat, tentu saja orientasi waktu yang dilangsungkan adalah pada masa depan. Dan tirakat, yang lazim dilakukan oleh orang-orang kejawen pada bulan Sura, entah dengan tujuan apa, secara medis adalah berarti tak memanjakan jasmani yang ironisnya, secara spiritual, justru membangkitkan atau bahkan mengagungkan ruhani.

Dan aktifitas itulah yang bagi orang-orang kejawen setara dengan apa yang dikandung oleh makna hijrah dari Mekah ke Madinah secara hakiki. Ibarat keadaan air yang beriak dan bergelombang, hijrahnya orang-orang kejawen adalah membuat tenangnya keadaan air itu (menebing rasa).

Bukankah kejahiliyahan pada dasarnya adalah ekses dari kondisi air atau aliran kesadaran individual yang beriak? Dan bukankah kondisi sosial pada dasarnya lebih ditentukan oleh—atau lebih tepatnya dapat disikapi dengan—kondisi kesadaran individual?

Itulah kenapa dalam studi Qur’an terdapat pembagian ayat antara ayat-ayat Mekah dan ayat-ayat Madinah yang memiliki karakteristik yang berbeda, sebagaimana kondisi air yang masih beriak dengan kondisi air yang sudah tenang (meneb).

Facebook Comments