Densus 88 Antiteror Polri pada Senin (14/8/2023) melakukan penangkapan terhadap tersangka teroris berinisial DE. Tersangka ternyata merupakan pegawai PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang sudah lama bergabung dalam jaringan ISIS di Indonesia. Dalam penggeledahan dan penyitaan barang bukti, DE memiliki berbagai macam senjata dan perlengkapan lainnya.
Dari keterangan yang disampaikan pihak kepolisian, DE merupakan propagandis yang aktif menyebarkan doktrin dan ajaran ISIS di media sosial dan berbagai kanal social messanger. Bahkan, DE sudah berencana untuk melakukan aksi serangan ke Mako Brimob Kelapa Dua setelah beberapa kali melakukan latihan.
Apa yang menarik dari kasus ini? DE bukan dari kalangan tidak mampu atau dengan latar belakang kelas bawah. Secara pendidikan dan pendapatan sebagai pegawai BUMN tentu bukanlah kalangan bawah. Tetapi, terorisme ternyata bukan karena sederhana motif ekonomi atau ketidakadilan kelas.
Dulu aksi terorisme dipahami sebagai gejolak kalangan kelas bawah sebagai reaksi atas kondisi kemiskinan dan taraf pendidikan yang rendah. Kelompok ini dinyatakan sebagai kelompok sangat rentan terpapar dan terjaring dalam gerakan terorisme. Beberapa pakar pun dengan tegas mengatakan akar terorisme adalah kemiskinan. Selama kemiskinan tidak diberantas, terorisme akan selalu ada.
Belakangan orang dan para pakar menyadari bahwa persoalan terorisme bukan sesederhana itu. Ada faktor yang cukup kompleks yang melatari seseorang terpapar, terjerat dan terjaring dalam jaringan dan aksi terorisme. Munculnya pelaku terorisme dari kalangan kelas menengah menjadi alasan utama runtuhnya akar terorisme karena kemiskinan. Citra pelaku teror adalah orang dengan status sosial miskin, tidak terdidik dan pengangguran menjadi terbantahkan.
Kelas menengah merujuk pada status sosial di mana individu dan kelompok dari lapisan sosial ekonomi yang mencukupi dan taraf Pendidikan yang tinggi. Max Weber misalnya memandang kelas menengah sebagai kelompok yang memiliki tingkat pendapatan dan status sosial yang lebih tinggi dari pada pekerja manual, tetapi tidak memiliki kekuatan dan kendali yang dimiliki oleh pemilik modal. Kelas menengah sering merujuk pada pekerja professional, manajerial dan teknis yang memiliki kontrol terbatas atas produksi.
Secara sederhana, kelas menengah sebagai kelompok sosial yang berada di anatra kelas pekera dan kelas atas dengan pendapatan, Pendidikan dan pekerjaan yang lebih tinggi dari kelas bawah. Taraf kehidupan ekonomi yang cukup disertai dengan tingkat Pendidikan yang tinggi menjadi corak dari kalangan ini.
Faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan merupakan teori lama yang dikembangkan dalam melihat fenomena terorisme di Indonesia. Namun, yang luput dari pengamatan itu adalah akar ideologi yang mempengaruhi seseorang dari lapisan dan golongan manapun untuk terketuk untuk bergabung dalam jaringan dan aksi teror. Karena itulah, pelaku teror bisa jadi dari kalangan bawah, kalangan menengah atau pun kalangan atas sekalipun.
Pelaku Terorisme Kelas Menengah
Selain DE, ada beberapa contoh pelaku terorisme dari kalangan terdidik dan kelas menengah. Masih ingatkah dengan eks PNS Kementerian Keuangan insial Triyoni Utomo Abdul Sakti (40) yang dideportasi oleh otoritas keamanan Turki dengan tujuan awal bergabung ke ISIS. Ia sendiri sempat dicalonkan sebagai Kepala Sub Bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak Non Sumber Daya Alam di Badan Kebijakan Fiskal Kemenkue dengan pangkat terakhir IIIC. Secara Pendidikan Triyono adalah lulusan S2 Universitas Adelaide, Australia.
Cerita lainnya yang pernah mengejutkan datang dari Mantan Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam), Dwi Djoko Wiwoho. Jabatannya bukan kelas biasa, tetapi pejabat teras di BP Batam.
Jika contoh di atas hanya kasus bergabung dalam jaringan terorisme, contoh lainnya adalah pelaku aksi terorisme yang datang dari kalangan yang bukan ekonomi rendah. Bom yang mengagetkan kota Surabaya dan Indonesia pada umumnya, dilakukan oleh sekeluarga dari kalangan menengah. Rumahnya yang berada di kompleks Wisma Indah, Wonorejo Surabaya, bukan perumahan sederhana.
Tentu banyak contoh-contoh lain dari pelaku teror yang saat ini tidak sederhana dikatakan dengan taraf pendidikan dan ekonomi rendah. Kalangan terdidik dari lulusan kampus ternama banyak yang terjerat dalam jaringan dan aksi teror. Beberapa pegawai BUMN, akademisi dan PNS tidak sedikit yang bergabung dalam jaringan terorisme.
Membaca Penyebab
Apa penyebabnya? Murnikah persoalan ekonomi, kemiskinan dan ketidakadilan? Tentu persoalan kemiskinan dan Pendidikan rendah tidak serta merta dihapuskan dari faktor pendorong terorisme. Tetapi, menyatakan faktor ekonomi dan kemiskinan sebagai akar tentu terbantahkan.
Dalam fenomena terorisme kelas menengah ada beberapa fase yang harus dipahami. Pertama, fase krisis identitas. Kehidupan yang cukup dengan rutinitas yang membosankan menyebabkan kekeringan spiritualitas. Kepercayaan lama yang dianggap menjemukan. Mereka ingin lahir kembali dengan menjalankan nilai-nilai ajaran agama dengan menarik diri dari kebiasaan lama dan kehidupan lingkungannya yang tidak sesuai dalam cara berpikirnya.
Perasaan inilah yang mempertemukan mereka dengan ajaran dan doktrin kelompok terorisme seperti ISIS, misalnya, yang secara tegas memberikan jawaban. Inilah fase kedua, kehidupan yang terlahir kembali. Kelompok ini mampu memberikan tawaran alternatif dari cara hidup baru, semisal dalam naungan khilafah, sesuai tuntunan dan tujuan agama. Persoalan di lingkungan bobrok berdasarkan nilai-nilai keagamaan harus ditinggalkan dan dirubah melalui perjuangan.
Fase ketiga selanjutnya mereka diarahkan untuk menemukan musuh. Kehidupan yang mereka jalani saat ini adalah imbas dari pengendali sistem yang bercorak kapitalis, sistem kafir, thagut dan narasi lainnya. Membangun persepsi musuh menumbuhkan militansi dan menyolidkan kelompok.
Fase selanjutnya, heroisme mulai muncul. Perubahan untuk mencapai kehidupan yang diimpikan harus melalui perjuangan. Pergantian sistem adalah sebagai jawaban. Dan perjuangan untuk mengganti sistem harus dimulai dengan menyerang dan menggetarkan musuh.
Fenomena kerapuhan dan kejenuhan keberagamaan di kalangan kelas menengah memang banyak ditangkap oleh kelompok radikal. Menjadi relijius mendadak dan intans sebagai jalan hidup yang lebih menjanjikan. Hidup berkelompok dengan orang memiliki cara pandang yang sama. Mendonasikan kekayaan kepada hal yang dianggap amal perjuangan.
Kerapuhan dan krisis spiritualitas inilah yang menjadi pintu awal dari krisis identitas kalangan kelas menengah dengan kehidupan yang mencukupi, tetapi merasa kering aspek keagamaan. Kelompok radikal mampu memberikan alternatif narasi yang menjanjikan dan lebih tegas tentang sebuah impian hidup dunia dan akhirat.
Tidak mengherankan para korban dan sasaran kelompok radikal terorisme kelas menengah adalah para pekerja professional dengan Pendidikan tinggi baik di lingkungan pemerintahan dan swasta. Mereka yang dianggap sudah selesai dengan persoalan duniawi dengan memfokuskan pada kegelisahan keagamaan.