4 Ciri Pesantren yang Berpotensi Radikal

4 Ciri Pesantren yang Berpotensi Radikal

- in Kebangsaan
3137
0

Dari 27.000 pesantren resmi yang ada di seluruh Indonesia, hanya sebagian kecil saja yang dianggap sebagai pesantren yang bepotensi radikal, temuan BNPT bahkan hanya mentok di angka 19. Jika dilihat dari sisi persentasi, jumlahnya adalah 0,007%, terlihat kecil memang, namun tentu tidak bisa dianggap enteng. Dari jumlah yang sangat kecil ini, semestinya masyarakat tidak perlu terlalu risau dan khawatir, karena hampir semua pesantren yang ada di tanah air masih berjalan sesuai dengan relnya. Masyarakat hanya dituntut untuk memperhatikan pesantren mana yang dianggap mengajarkan radikal guna menghindarkan anak-anaknya dari ajaran radikalisme.

Pesantren secara umum memiliki peran yang sudah tidak diragukan lagi, khususnya dalam menciptakan kader-kader da’i dan generasi muda yang bertaqwa, alim dan mandiri. Bahkan alumni pesantren telah menunjukkan kepiawainnya dalam menghadapi era persaingan ekonomi saat ini, sehingga tidak mengherankan jika saat ini banyak dijumpai alumni pesantren yang bukan saja menjadi pengusaha, tetapi ia juga sebagai da’i dan dosen di beberapa Universtas bergengsi. Bahkan tidak sedikit alumni pesantren yang terjun di dunia politik.

Demikian pula, Pesantren itu sendiri telah menunjukkan bahwa sesungguhnya pesantren bukan saja fokus pada pendidikan agama saja, tetapi lebih jauh dari itu, pesantren juga berfungsi sebagai badan usaha, karenanya tidak mengherankan jika dimana-mana pesantren memiliki aset dan berbagai jenis usaha lainnya sehingga ia dapat terus tumbuh dan berkembang pesat sebagaimana institusi pendidikan lainnya yang lebih maju. Artinya, pesantren tidak mengandalkan uang SPP dari para santri yang memang tidak seberapa jumlahnya, pesantren dapat menghidupi dirinya sendiri.

Dalam sejarahnya, pesantren telah begitu menyatu dengan masyarakat sekitarnya, sehingga segala tetek bengek pesantren akan diketahui oleh masyarakat luas. Kabar tentang adanya pesantren yang ‘kecolongan’ oleh radikalisme tentu mengejutkan, meski –seperti saya ungkap sebelumnya— tidak perlu disikapi secara berlebihan. Sebagai bagian intgral dari pesantren, masyarakat dapat bersama-sama melindungi pesantren dari bahaya radikalisme. Modal utama untuk melakukan hal itu ialah dengan mengetahui ciri-ciri pesantren radikal, sehingga dengannya masyarakat dapat segera menentukan sikap.

Berikut adalah 4 ciri pesantren yang berpotensi radikal:

  1. Metode Pengajaran Eksklusif dan Anti Kritik

Islam merupakan agama yang sempurna dan tidak meninggalkan satu pun persoalan tanpa solusi. Alquran dan Hadist adalah dua sumber hukum utamanya, meski sayangnya selama ini sering kali keduanya tidak dipahami secara menyeluruh, akibatnya seseorang tidak mampu mengaktualisasikan ajaran-ajaran kedua sumber tersebut dengan baik. Bahkan yang lebih parah, interpretasi-interpretasi sempit telah menggiring beberapa saudara kita untuk hanya terfokus pada satu mazhab saja, akibatnya seorang santri bukan saja fanatik pada satu pendapat tetapi juga tidak memiliki wawasan yang luas karena mereka diajarkan menghindari perbedaan pendapat dan terfokus pada satu pendapat saja. Metoda seperti ini dengan mudah membuat santri mengikuti sistim doktrin dan tanpa daya kritis yang baik.

  1. Guru/Ustadz/ah Memiliki Pemikiran Ekslusif dan Tertutup Pada Mazhab Lain

Sistem penerimaan guru di pesantren tidaklah seperti sistem penerimaan pegawai di beberapa instansi atau perguruan tinggi umum. Sistim perekrutan guru di pesantren umumnya dilakukan secara insidential saja, artinya jika seseorang memiliki pengetahuan agama atau ijazah, bisa saja langsung diterima sebagai guru tanpa melalui test atau ujian kelayakan di pesantren. Beberapa pesantren masih menggunakan sistem ini. hal ini tentu sering kali membuka celah bagi guru yang memiliki orientasi tersendiri untuk masuk dan menebar pemikiran sempitnya. Di sinilah guru-guru dengan latar belakang pemikiran yang eksklusif melakukan doktrinisasi, sehingga tidak jarang terjadi perbedaan pendapat antara guru yang mengajar dengan pimpinan pondok karena perbedaan cara pandang termasuk perbedaan materi pengajaran.

  1. Kurikulum Pengajaran Tidak Memuat Nasionalisme dan Wawasan Kebangsaan

Pesantren yang cenderung radikal biasanya mengabaikan pendidikan yang terkait dengan nasionalisme dan wawasan kebangsaan, mereka hanya fokus pada pendidikan agama saja. Masih sangat beruntung jika pendidikan agama yang ditanamkan benar-benar sesuai dengan tujuan dan makna-makna Alquran dan Hadist, namun permasalahan biasanya muncul ketika pengajaran yang diberlakukan di sebuah pesantren tidak memberikan ruang bagi santrinya untuk juga belajar dan mencintai tanah air ini.

Pesantren yang mengikuti Kurikulum Kementerian Agama atau Kementerian Pendidikan Nasional sudah barang tentu jauh dari pemikiran radikal karena pelajaran yang diterima sudah meliputi wawasan nasional dan kebangsaan. Kalaupun ada di antara alumni pesantrennya yang kemudian radikal, maka pemikiran tersebut diperoleh di tempat lain.

  1. Independensi Pesantren Dalam Mengurus Dirinya

Sebagaimana yang diketahui bahwa pesantren lahir dari inisiatif seseorang atau sebuah yayasan, termasuk juga hasil dari swadaya masyarakat. Karena itu, sering kali pesantren yang menganggap dirinya memiliki kemampuan materi tidak ingin diatur oleh pemerintah terkait dengan kurikulum yang digunakan dan cenderung menggunakan kurikulum sendiri.

Pesantren yang memiliki corak seperti ini tentu bergantung pada pimpinannya atau pemiliknya, artinya pemiliklah yang menentukan orientasi pendidikan dalam pesantren tersebut. Jika pemimpinnya memiliki latar belakang pemikiran yang fanatik dan eksklusif, maka otomatis pemikiran yang berkembang di kalangan santri juga mengarah kepada pemikiran radikal, fanatik dan eksklusif.

Empat point di atas hanyalah sebagian dari berbagai indikasi lain terhadap radikalisme, meski demikian, tidak semua pesantren dengan corak di atas selalu mengajarkan radikalisme, karena tidak sedikit pesantren yang mandiri dan memiliki kurikulum tersendiri justru menjadi pesantren idola karena selain mampu menciptakan alumni-alumni yang bukan akuntable dan capable, tetapi juga cerdas dan memahami lingkungan di sekitarnya.

Wallahu a’lam

Facebook Comments