Dari perempuanlah generasi kehidupan dilahirkan. Dan, melalui perempuan pulalah anak-anak dibesarkan, dididik, dan dibentuk menjadi manusia yang manusia. Mulai dari karakter, kecenderungan, orientasi sosial, dan jati diri anak. Perempuan adalah keluarga bagi anak dalam keluarga itu sendiri. Dalam pengertian keluarga secara umum, memang harus diakui ada peran ayah, kakek, nenek, dan sanak saudara yang juga ikut menyumbang pembentukan karakter, kecenderungan, orientasi sosial dan jati diri anak di kala dewasa.
Namun, diakui atau tidak, peranan mereka dalam pembentukan karakter dan pola pikir anak relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan peran perempuan (ibu) yang sejak awal, mengandung, melahirkan, dan mengasuhnya dengan belain kasih sayang. Itu sebabnya, perempuan tak terelakan dikatakan sebagai al ummu madrasatul ula (Ibu [perempuan] adalah sekolah pertama bagi anak) yang mengajarkan anak tentang banyak hal.
Sebab, perempuan (ibu) memang merupakan lembaga pertama yang dijadikan anak untuk belajar banyak hal dalam proses tumbuh kembangnya. Gambaran singkat ini menunjukkan bahwa perempuan sebenarnya memiliki posisi yang sangat strategis untuk menjadi agen anti-radikalisme dan terorisme anak yang belakangan ini kerap kali terjadi.
Hasil survei yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan bawa 21 persen siswa menyatakan Pancasila sudah tidak lagi relevan digunakan bangsa karena 84,8 persen siswa yang menjadi responden survei LIPI lebih setuju dengan penerapan syariat Islam. Selain itu 52,3 persen siswa setuju kekerasan untuk solidaritas agama dan 14,2 persen membenarkan aksi pemboman yang dilakukan kalangan radikal (LIPI, 2016).
Sejalan dengan hal itu, hasil survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga menemukan 85 persen generasi Z dan milenial rentan terpapar radikalisme-terorisme (BNPT, 2022). Radikalisasi anak yang belakangan ini semakin menjamur dan mengkhawatirkan itu disebabkan setidaknya oleh dua faktor utama.
Pertama, media sosial (medsos) melalui sejumlah konten dan narasi radikal di sejumlah kanal medsos seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Telegram. Kedua, sekolah atau lembaga pendidikan umum yang dimotori oleh sejumlah oknum guru atau pendidik beraliran radikal yang mengajarkan radikalisme dan intoleransi kepada para peserta didik.
Saatnya Perempuan Menjadi Agen Anti-Radikalisme Anak
Radikalisasi anak yang kian mengkhawatirkan dan mengancam anak itu jelas adalah problem serius. Saat ini, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui jumlah penduduk Indonesia didominasi oleh generasi Z dan milenial. Generasi Z mencapai 75,49 juta jiwa atau setara dengan 27,94 persen dari total populasi berjumlah 270,2 juta jiwa. Sementara itu generasi milenial mencapai 69,90 juta jiwa atau 25,87 persen (BPS,2020).
Generasi Z adalah penduduk yang lahir pada kurun waktu 1997-2012, sementara generasi milenial yang lahir periode 1981-1996.Mereka (generasi Z dan milenial yang dominan secara populasi) adalah aset masa depan bangsa. Yang diundaknya lah masa depan bangsa dititipkan dan dipertaruhkan. Karena itu, keberadaannya mesti diselamatkan dari virus radikalisme yang ke depan, diprediksi akan semakin marak dilakukan.
Radikalisme adalah paham yang mengajarkan kekerasan atas nama agama. Oleh sebab itu, membiarkan virus radikalisme tertanam dalam diri anak-anak kita, itu sama halnya dengan membiarkan bangsa ini berada dalam ancaman serius atau bahkan ambang kehancuran. Perempuan, keluarga dalam keluarga bagi anak, harus juga berperan aktif dengan memanfaatkan posisi strateginya untuk menjadi agen anti-radikalisme anak.