Alissa Wahid : Keluarga melalui Peran Perempuan Menjadi Basis Penting Dalam Menanamkan Pendidikan Anti Kekerasan

Alissa Wahid : Keluarga melalui Peran Perempuan Menjadi Basis Penting Dalam Menanamkan Pendidikan Anti Kekerasan

- in Wawancara
327
0
Alissa Wahid : Keluarga melalui Peran Perempuan Menjadi Basis Penting Dalam Menanamkan Pendidikan Anti Kekerasan

Sebagai perempuan, kita harus memulai dari diri sendiri. Kita tidak menunggu lingkungan kita atau masyarakat kita untuk memberikan ruang kepada kita. Kita yang harus memulai dengan menjadi lebih berdaya. Kita jadi pembelajar, kita selalu tumbuh sebagai perempuan yang punya potensi dan punya karakter” Alissa Wahid

Beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan kekerasan yang dilakukan remaja terhadap yang lain. Kekerasan yang dilakukan anak dan remaja tidak bisa dipungkiri memiliki akar dari Pendidikan di tengah keluarga terutama peran perempuan. Kali ini tim Pusat Media Damai (PMD) mewawancarai Direktur Nasional GusDurian Network Indonesia (GNI) yang juga Aktivis Pemerhati Isu Perempuan dan Anak, Alissa Wahid.

PMD : Bagaimana peran masyarakat secara luas dalam mempersiapkan kaum perempuan sebagai institusi Pendidikan pertama di tengah keluarga?

Alissa: Peran masyarakat mempersiapkan perempuan yang pertama bahwa kesadaran tanggung jawab untuk melakukan pendidikan itu sebetulnya bukan hanya pada perempuan, tapi bukan hanya pada ibu, tapi juga pada bapak. Itu harus dilakukan bersama-sama. Walaupun memang pada realitanya saat ini di Indonesia, itu beban pendidikan anak lebih banyak diberikan kepada ibu. Karena bapak lebih dituntut untuk bekerja mencari nafkah. Sehingga bahkan ketika ibu mencari nafkah pun, masyarakat menganggap bahwa tetap beban untuk melakukan pendidikan anak pada perempuan.

Nah, kalau masyarakatnya mengharapkan seperti itu, maka seharusnya masyarakat juga memberikan ruang yang besar kepada perempuan untuk belajar bagaimana menjadi pendidik, terutama bagi anak-anaknya.

Nah, kemudian yang kedua, terkait sikap masyarakat sendiri terhadap perempuan seperti apa? Apakah masih ada sikap-sikap yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan? Kalau masih banyak kekerasan terhadap perempuan, yang kita tahu sekarang ini, kekerasan di dalam rumah tangga, maupun kekerasan di tempat kerja, itu kan banyak ya. Dosen kepada mahasiswi, guru kepada murid, atasan kepada bawahan, di jalan raya, di tempat-tempat umum, itu kan banyak perempuan yang jadi korban kekerasan.

Akibatnya apa? Akibatnya perempuan itu kemudian juga tahunya kekerasan. Jadi kalau dia melihat ibunya mengalami kekerasan di dalam rumah, seorang anak perempuan tahunya caranya dengan kekerasan, sehingga nanti ketika dia punya anak, dia nyubit anaknya. Contohnya seperti itu. Apakah juga di dalam sekolah misalnya sebagai bagian dari masyarakat, itu anak-anak perempuan diberikan afirmasi tidak untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi?

Sekarang ini masih banyak perempuan yang berhenti di SMP, sudah tidak melanjutkan menamatkan SMA, terutama di daerah pedesaan. Kenapa perempuan pendidikannya lebih rendah? Karena ternyata perempuan nanti cuma jadi ibu, tidak perlu ilmu yang tinggi karena tidak untuk bekerja, beda dengan laki-laki. Dia butuh ilmu karena dia harus bekerja.

Ketika seperti ini, kita coba bayangkan, bagaimana kalau ibu kita itu lulusan SMP? Berarti pendidikannya kurang. Kalau pendidikannya kurang, dia belajar untuk mengelola kehidupannya. Akhirnya dengan cara-cara yang setahunya. Setahunya gimana? Tahunya memukul anak untuk disiplin. Tahunya ngomel, tahunya marah. Anaknya semakin tidak disiplin karena memang tidak pernah efektif marah-marah. Memukul tidak pernah efektif. Malah justru membuat anak-anaknya melakukan kekerasan juga.

PMD : Jadi harus kontribusi masyarakat juga dalam memberdayakan peran perempuan?

Betul, kalau masyarakat mengharapkan perempuan itu bisa lebih besar perannya sebagai ibu, maka masyarakat juga harus mengambil kontribusinya untuk membangun lingkungan yang mendukung perempuan itu bisa berproses menjadi ibu yang lebih baik. Dorongan untuk anak perempuan menikah lebih cepat misalnya. Sekarang ini semakin menguat karena banyak orang tua takut anaknya hamil sebelum menikah misalnya. Jadi alih-alih mengajarkan anak perempuannya supaya mampu menjaga dirinya dan tidak aktif secara seksual yang terjadi kemudian adalah dinikahkan saja. Padahal menikah di usia muda itu pasti menimbulkan mudharat yang lebih besar dan lebih pasti.

Kalau anak perempuan menikahnya umur 17 tahun, dia pasti akan masuk ke pernikahan dalam kondisi dia belum cukup matang. Kalau belum cukup matang, ya berarti banyak percekcokan, belum cukup bekal ilmu, berarti nanti terserah ke dunia kerjanya bagaimana yang terjadi kemudian adalah kemiskinan. Belum bisa mengelola kehamilan karena nggak tahu caranya, akhirnya stunting anaknya, lha ya muter aja gitu. Jadi mendorong perempuan punya pendidikan yang lebih tinggi, walaupun nantinya perempuan kemudian memilih untuk jadi ibu rumahnya, pendidikan yang lebih tinggi itu nggak akan terbuang tercuma saat itu.

Kemudian yang kedua, mendorong perempuan juga untuk mendapatkan ruang-ruang aktualisasi sehingga kemudian potensi dirinya juga keluar. Perempuan dan laki-laki yang potensi dirinya itu keluar, mereka akan lebih matang dalam kehidupannya.

Lalu ketiga yaitu mengajarkan kecakapan hidup kepada perempuan. Dan itu dilatihkan di mana saja sebetulnya, di dunia pendidikan, ketika mereka di sekolah, atau di rumahnya sekarang ini, atau di lingkungan masyarakat. Kalau kecakapan hidupnya baik, perempuannya akan lebih baik juga, lebih matang, lebih tahu bagaimana membangun hubungan, dan lebih tahu bagaimana mendidik anak.

PMD : Dalam mendidik anak ini, perempuan ini kira-kira punya peranan khusus enggak ya, kalau untuk menanamkan paham yang toleran terhadap anak-anaknya, atau mungkin justru ini dari bapaknya?

Alissa : Sebetulnya dua-duanya ya, baik bapak maupun ibu akan memberikan dampak yang besar tentang bagaimana pandangan terhadap orang lain. Dan itu dimulai dari dalam rumah, tidak bagaimana dia dengan tetangga, atau bagaimana dia dengan temannya itu tidak. Tapi dari dalam rumah itu bisa. Contohnya begini, toleransi itu dasarnya apa sih, adil dan menghormati orang lain. Itu toleransi. Yang pasti dua itu ya, adil dan menghormati orang lain begitu.

Ketika orang itu toleran, itu dia bersikap adil, ketika dia bersikap adil kepada orang lain, kemudian bisa melihat orang lain itu punya haknya. Itu dimulai dari dalam rumah, misalnya kalau kakak adik. Kakak adik ketika punya mainan, dia tidak akan memonopoli, karena dia tahu adiknya juga punya hak atas mainan tersebut. Itu adil, kemudian adil itu misalnya sebagai anak dia punya tugas di rumah. Misalnya kalau anaknya masih balita, setelah main, dia membersihkan sendiri, memasukkan mainannya. Itu adil kepada orang tua, itu contoh adil.

Kemudian respect, kalau respect itu menghormati orang lain, dimulai dari respect kepada orang tua. Kemudian respect juga kepada kakak adiknya, atau penghuni rumah yang lain, misalnya mbaknya, mbak asisten rumah tangga. Kalau yang asisten rumah tangga, misalnya bagaimana kita menghormati, misalnya mbak harus istirahat, jangan diganggu dulu. Misalnya ibu bisa mengajarkan itu. Itu contoh yang paling mudah dari dalam rumah. Misalnya nanti kalau sudah remaja, misalnya kamarnya sendiri-sendiri. Maka anak ini harus belajar untuk masuk ke kamar adiknya, atau masuk ke kamar kakaknya, atau masuk ke kamar ibunya. Itu harus mengetuk pintu terlebih dahulu. Mau mengambil makanan kakaknya atau adiknya, itu minta izin. Pokoknya gitu-gitu. Itu adalah cara kita mengajarkan respect.

Nah, kalau kita sikapnya adil, kemudian kita menghormati. Nanti kita jadi toleran. Tapi kalau orang nggak punya sikap adil dan menghormati, susah, Mas, mau toleran. Mau toleran, di mananya? Jadi toleransi kemudian jadi nggak punya basis gitu ya. Maksud saya, nggak punya basis itu gini. Dia dipaksa menerima kehadiran orang lain atau pihak lain tanpa dia tahu gitu. Dan tanpa punya batasan. Apakah kalau misalkan kakak memukul adiknya, lalu adiknya harus toleran gitu? Kan nggak gitu.

PMD : Jadi, toleransi itu ada basisnya ya, bukan dengan alasan toleran berarti kita membiarkan praktek kekerasan?

Misalnya nih, kalau kita bicara radikalisme atau kalau kita bicara misalnya gerakan anti NKRI. Ya itu nggak bisa ditoleransi mas. Itu tidak bisa ditoleransi. Atau kekerasan terorisme, itu nggak bisa ditoleransi. Nggak bisa kemudian, katanya toleran. Ya kenapa nggak bisa menerima, ada orang lain punya aspirasi. Apa namanya, aspirasi tidak suka hidup dengan orang yang berbeda kelompok. Kan kita mayoritas, nggak bisa gitu. Itu sesuatu yang tidak bisa ditoleransi. Kenapa? Karena melanggar menghargai pihak lain dan melanggar sikap adil.

Nah jadi kita mengajarkan dari dalam rumah, itu sangat bisa. Sehingga nanti ketika dia mulai sekolah, dia mulai berteman dengan anak-anak lain. Dia terbiasa untuk beri sikap adil dan menghormati orang lain. Nanti ketika dia besar, dia lebih mampu melihat perbedaan. Karena kecil dia udah biasa lihat beda antara saya dengan kakak saya dan kami sama-sama punya anak. Beda antara ibu, itu contoh dari ibu dan ayah misalnya.

Saya ingat banget ya, ini pengalaman pribadi ya. Saya dulu mau ikut camping, terus nggak boleh sama ibu. Nggak boleh sama ibu, karena camping laki-laki perempuan bareng gitu. Lalu kemudian saya ngadu ke bapak, ke Gus Dur. Saya kan berharapnya dibelain gitu ya. Gus Dur waktu itu menjawabnya gini, lah ibu bilang apa, ibu bilang nggak boleh. Nah urusan pendidikan kalian, ibu tuh komandannya. Jadi kalau ibu bilang nggak boleh, bapak ikut ibu. Nah di situ saya belajar banget bagaimana kemudian orang ketika menghormati, orang lain itu utuh gitu loh ya. Nggak pakai acara, kok pendapatku beda, jadi aku harus. Nggak ada gitu. Karena sudah kesepakatan beliau berdua, kalau urusan pendidikan anak, ya akan menjadi jendralnya itu ibu. Jadi bapak akan mengikuti ibu.

Itu saya pengalaman pribadi, dan itu sangat membekas ya bagi saya. Bagaimana kemudian, bagaimana berlaku adil, bagaimana bersikap menghormati ibu, dan bagaimana kesetaraan antara ibu dan bapak. Nah, tidak saling menegasikan. Kalau si ibu itu sudah mengambil keputusan untuk anaknya, misalnya ke supermarket nih bareng-bareng, bapak ibu sama anak-anaknya. Ibu udah bilang, nanti gak boleh ya beli permen gitu misalnya. Lalu kemudian, atau gak boleh beli es krim gitu. Lalu si anaknya merengek-rengek, minta es krim. Lalu bapaknya bilang, udah gak apa-apa, udah gak apa-apa, beli aja gitu. Itu tuh menegasikan ibu. Itu tidak menghormati ibu.

PMD : Jadi secara tidak langsung mentalitas anak yang dikorbankan?

Alissa: Betul. Apalagi kalau kuasa-kuasaan ya mas. Saya kan kepala rumah tangga, kamu harus menurut ngomongnya di depan anak-anak. Nah itu udah relasi kuasa itu. Relasi kuasa itu kemarin seperti si Mario itu kan dia relasi kuasa. Karena dia yakin bahwa bapaknya akan bisa menyelesaikan semuanya. Bahkan itu yang dia sampaikan ke temannya. Nanti diurus bapakku. Dia pakai relasi kuasa. Ketika dia melakukan penyiksaan, dia pakai relasi kuasa. Karena dia merasa sebagai anak orang yang lebih berkuasa. Kemudian menghajar rakyat jelata dalam pandangannya. Karena dia tidak tahu siapa keluarga David. Sehingga kemudian diperlakukan sebagai orang kebanyakan. Rakyat kecil. Itu relasi kuasa.

Relasi kuasa itu terjadi di mana-mana. Dosen kepada mahasiswa, guru kepada murid. Orang tua murid kepada guru. Itu sering relasi kuasa sekarang ini. Dan relasi kuasa yang paling mudah ditemukan adalah bapak kepada ibu. Gak bisa. Harus ini, pukul istrinya misalnya. Itu relasi kuasa. Jadi tidak ada landasan keadilannya itu tadi.

PMD : Jadi, akar masalah semua isu kekerasan bahkan radikalisme menggunakan kekerasan sumbernya sebetulnya dari keluarga? Kalau dari keluarga bisa jadi tempat mendidik bisa juga jadi akar masalahnya?

Alissa : Sebetulnya, kadang-kadang banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa keluarga adalah akar tadi itu. Sekarang ini misalnya guru-guru saya, karena saya mengelola pendidikan anak usia dini di Yogyakarta. Sebetulnya playgroup TK nya besar. Kalau dari keluarga bisa jadi akar masalahnya sebetulnya. Tapi playgroup TK nya saja. Jadi guru saya banyak, ada sekitar 30-an orang. Mereka itu sering menyampaikan bahwa orang tua itu tuntutannya adalah, ya di sekolah dong anak saya diajarin pengembangan karakter. Kan anak saya lebih banyak di sekolah daripada di rumah.

Waktu saya dengan anak saya hanya sedikit misalnya begitu. Atau kan memang penanaman nilai itu dilakukan di sekolah. Tapi tidak bisa. Itu di sekolah memang ada tugas pengembangan karakter. Tetapi tetap yang punya ikatan paling besar. Terus kemudian akarnya tadi itu, akar kehidupan seorang manusia, ya di keluarganya. Makanya kan, ya dalam kasus Mario Dandy kita juga melihat itu kan. Karena ternyata kan tidak hanya anaknya, tapi keluarganya, orang tuanya itu cara mengelola hidupnya bermasalah. Dengan menggunakan cara-cara yang tidak baik. Nah itu kan akhirnya jadi akar kan kepada si Mario nya ini. Memang dimulainya dari keluarga.

PMD: Apa pesan mbak Alisa terkait menjadikan perempuan sebagai benteng membangun karakter anak anti kekerasan?

Alissa : Jadi sebagai perempuan, yang pertama kita harus memulai dari diri sendiri. Kita tidak menunggu lingkungan kita atau masyarakat kita untuk memberikan ruang kepada kita. Kita yang harus memulai dengan menjadi lebih berdaya. Kita jadi pembelajar, kita selalu tumbuh sebagai perempuan yang punya potensi dan punya karakter. Dari sikap tumbuh dan mau belajar terus menerus itu, kita bisa berproses menjadi perempuan yang satu, dia baik untuk dirinya sendiri. Lalu kemudian kedua, dia baik menjadi istri dan menjadi ibu bagi anak-anaknya. Kemudian yang ketiga, dia baik dalam masyarakatnya.

Jadi kalau dalam bahasa, saya mengambil bahasa Arab karena lebih mudah untuk menunjukkan bedanya, tidak hanya menjadi solihah, solihah itu orang baik, tapi menjadi muslihah. Menjadi orang yang membawa kebaikan. Jadi dia baik untuk dirinya sendiri. Itu tadi mengambangkan dirinya dan lain-lain, selalu tumbuh, selalu belajar, berkembang, jadi pribadi yang lebih matang, menjadi pribadi yang lebih baik. Lalu yang kedua, menjadi istri dan ibu yang baik di dalam keluarga karena tahu bahwa dia akan menanamkan nilai-nilai memperkuat keluarga. Kemudian yang ketiga, dia berkontribusi bagi masyarakat. Apa yang bisa dia lakukan untuk masyarakat untuk membantu kemaslahatan yang lebih besar dia lakukan. Itu yang pesan saya untuk perempuan.

Lalu untuk masyarakat seperti apa? Masyarakat harus juga memberikan dukungan, menciptakan ruang yang memungkinkan perempuan bisa berproses untuk menuju tadi itu. Tidak hanya menuntut, tapi juga memberikan ruang. Tidak hanya meminta perempuan, tetapi juga meminta laki-laki untuk mengambil porsinya. Sehingga bisa mendukung perempuan untuk menjadi perempuan yang lebih baik. Dan kemudian laki-laki juga menjadi laki-laki yang lebih baik.

Facebook Comments