Berkisah tentang Hiccup, remaja Viking yang tinggal di pulau Berk, tempat di mana bangsa Viking dan naga saling bermusuhan selama berabad-abad, Dreamworks kembali sukses dengan film How to Train Your Dragon (selanjutnya disingkat; HTTYD) yang kali ini di-remake versi live-action.
Disutradarai oleh Dean DeBlois, orang yang sama di balik trilogi animasinya, versi live-action ini setia pada tulang punggung cerita aslinya. Kita kembali bertemu Hiccup, putra Kepala Suku Stoick the Vast, yang kecerdasan dan kreativitasnya justru membuatnya terasing. Ia dianggap “gagal” memenuhi standar keberanian Viking.
Titik baliknya tiba ketika ia bertemu Toothless, seekor naga jenis Night Fury—naga paling misterius dan ditakuti. Saat ada kesempatan, alih-alih membunuh sang naga seperti yang diharapkan masyarakat, ia justru menjalin persahabatan yang “tak biasa” dengan Toothless.
Salah satu pondasi cerita yang membuat plot film ini kuat adalah soal permusuhan berabad-abad antara manusia dan naga. Bangsa Viking ingin memusnahkan naga karena mereka merasa terancam oleh naga. Sang Kepala Suku bahkan berambisi untuk ekspansi dan menaklukan sarang naga utama yang belum diketahui di mana.
Menurut mereka, naga adalah “hama” yang wajib dimusnahkan karena mengganggu hajat hidup masyarakat di pulau Berk. Salah satu kredo yang terpatri dalam benak bangsa Viking adalah “naga harus dibunuh! Jika tidak, maka naga yang akan membunuh manusia”.
Doktrin ini melahirkan tradisi turun temurun berupa “latihan membunuh naga” bagi remaja yang akan menjadi prajurit bangsa Viking. Plot ini dihadirkan sejak awal film dan menjadi basis konflik yang kuat untuk plot selanjutnya.
Doktrin ini diperkuat oleh klaim antroposentris bahwa “tanah Berk adalah milik bangsa Viking”—sebuah arogansi yang mengabaikan fakta bahwa nagalah penghuni asli teritori tersebut. Status quo ini begitu kokoh hingga setiap suara yang menentangnya dianggap sebagai pengkhianatan terhadap bangsa Viking.
Kondisi masyarakat Berk yang terkungkung dalam doktrin tunggal dan absolut itu adalah cerminan sempurna dari sebuah masyarakat “jahiliyah” yang diliputi kebodohan akibat fanatisme dan keengganan untuk mengenal ‘yang lain’.
Tak disangka, antitesis dari semua itu justru lahir dari Hiccup, sang putra mahkota. Melalui persahabatannya dengan Toothless, ia membongkar akar dari kebencian tersebut. Meminjam tesis Edward Said, bangsa Viking melakukan “othering” terhadap naga, menciptakan stereotip absolut karena mereka tidak pernah mencoba memahami “liyan”.
Hiccup sadar, ayahnya dan kaumnya membenci naga bukan karena mereka jahat, tapi karena mereka tidak pernah benar-benar mengenalnya. Stigma “naga adalah pembunuh” yang melekat pada Hiccup runtuh justru ketika ia bertemu dengan naga yang dianggap “paling mematikan” di jagad universe-nya How to Train Your Dragon, yaitu Night Fury.
Hiccup tidak sendiri. Ia berjuang bersama Astrid, seorang prajurit perempuan Viking yang akhirnya berpihak kepadanya. Interaksi yang lebih dalam dengan Toothless mengantar Hiccup dan Astrid pada fakta bahwa akar “serangan” para naga ke Berk bukanlah tindakan agresi, melainkan keterpaksaan. Para naga itu dieksploitasi oleh predator alfa yang jauh lebih besar di sarang mereka. Fakta ini meruntuhkan seluruh justifikasi perang kaum Viking.
Dalam film HTTYD, Hiccup dan Astrid merupakan representasi anak muda sebagai katalisator perdamaian dan resolusi konflik. Keduanya secara tidak langsung dihadapkan oleh para pejabat tinggi Viking yang dipenuhi orang tua yang kolot dan keras kepala.
Keduanya menawarkan sintesis norma baru bagi kaum Viking bahwa harmoni sosial lahir dari kesediaan setiap individu untuk menghargai eksistensi sang liyan, bukan menaklukkannya. Hiccup muncul dengan pandangan baru bahwa naga tidak berbahaya. Yang “membunuh” adalah egosentris manusia atas teritorinya.
Naga adalah bagian dari ekosistem alam. Justru manusia lah yang memulai konflik dengan membunuh naga-naga ini. Mereka tidak hanya belajar cara melatih naga, tetapi juga cara membangun masyarakat yang baru. Hiccup pelan-pelan mendekonstruksi norma-norma lama Viking, dan ia berhasil.
Melalui Hiccup dan Astrid, bangsa Viking mulai memperbaiki diri. Jika masyarakat Viking sebelumnya adalah representasi dari eksklusivitas komunal yang hegemonik, maka tatanan baru pasca “hijrah” ini adalah cerminan dari sebuah “khoiru ummah”.
Tentu gagasan “khoiru ummah” ini tidak serta merta menginduk secara tekstual Al-Qur’an, tetapi sebuah tatanan masyarakat yang beradab, adil, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Menurut Nurcholish Madjid, jalan untuk mencapai cita-cita tersebut adalah dengan membangun sebuah tatanan sosial yang adil, terbuka, dan demokratis. Ia menyebutnya dengan masyarakat madani.
Masyarakat ini yang dibangun bukan atas dasar superioritas satu kelompok (Viking über alles), melainkan di atas sebuah kontrak sosial yang setara dalam hak dan kewajiban. Dalam pengertian ini, Viking berhasil “berhijrah”. Hijrah dari paradigma jahiliyah menuju bangsa yang beradab.
Di sisi lain, terdapat sebuah dalil sosial bahwa tidak akan ada “hijrah kolektif” tanpa didahului oleh “hijrah personal”. Transformasi sebuah bangsa harus selalu berawal dari keberanian individu—atau entitas sosial terkecil—untuk melepaskan ego dan membuka diri pada kebenaran yang lain.
Katarsis ini dimulai dari sang kepala suku, Stoick the Vast. Jantung emosional film ini berdetak dalam dinamika antara Stoick dan anaknya, Hiccup. Stoick adalah cerminan dari status quo itu sendiri: seorang pemimpin dan ayah yang mencintai putranya, namun cintanya terkondisikan oleh ekspektasi kaku tentang bagaimana seorang “Viking sejati” seharusnya bersikap.
Hijrahnya terbukti sahih ketika dia melepaskan ego dan doktrin untuk akhirnya melihat bahwa keberanian putranya tidak terletak pada otot, melainkan pada empati dan welas asih.
Wal akhir, How to Train Your Dragon ingin mengatakan bahwa menjadi “bangsa yang unggul” (khairu ummah) bukanlah tentang menaklukkan, melainkan tentang kearifan merangkul. Berk yang baru, yang hidup harmonis dengan naga, jelas jauh lebih beradab daripada Berk yang lama.
Ini membuktikan bahwa kebesaran sebuah masyarakat tidak diukur dari seberapa perkasa ia memusnahkan musuh-musuhnya, tetapi dari seberapa besar kapasitasnya untuk mengubah musuh menjadi sahabat. Itulah esensi dari hijrah peradaban.