Memahami Konstruksi Otoritas Ulama Nusantara di Tengah Kontestasi Sunnah-Bid’ah

Memahami Konstruksi Otoritas Ulama Nusantara di Tengah Kontestasi Sunnah-Bid’ah

- in Pustaka
211
0
Memahami Konstruksi Otoritas Ulama Nusantara di Tengah Kontestasi Sunnah-Bid'ah

Judul Buku : What is Religious Authority; Menyemai Sunnah, Merangkai Jamaah

Penulis : Ismail Fajrie Alatas

Tahun terbit : 2024

Penerbit : Mizan

Tebal : 416 hlm

Kesucian bulan Ramadan tahun ini agak ternodai dengan munculnya narasi bidah yang dialamatkan pada sejumlah tradisi yang dilakukan umat Islam Indonesia di bulan puasa. Antara lain tudingan bidah yang menyasar pada peringatan Nuzulul Qur’an, kultum sebelum tarawih, bahkan aturan imsak.

Padahal, selama ini ekspresi keragaman seperti imsak, kultum tarawih, sampai peringatan Nuzulul Quran tersebut susah menjadi bagian tidak terpisahkan dari umat Islam Indonesia ketika menjalani Ramadan.

Barangkali, peringatan Nuzulul Quran, kultum sebelum tarawih, dan aturan Imsakiyah memang tidak dikenal di zaman Rasulullah dan sahabat. Namun, apakah serta merta semua ekspresi keagamaan itu layak dilabeli bidah bahkan sesat? Bukankah semua tradisi itu merupakan warisan para ulama Nusantara terdahulu?

Lagipula, bukankah para ulama terdahulu itu juga dikenal sebagai sosok-sosok yang paham ilmu agamanya, soleh prilakunya, dan bijak dalam menyikapi keragaman realita sosial dan busaya?

Di titik ini, bisa disimpulkan bahwa kelompok yang gencar melabeli tradisi Ramadan ala Nusantara sebagai bidah itu sebenarnya tidak memahami tentang bagaimana otoritas ulama Nusantara terdahulu dalam menjembatani antara Islam dan kebudayaan lokal. Dalam konteks inilah, buku berjudul What is Religiois Authority; Menyemai Sunnah, Merangkai Jamaah menjadi relevan untuk dielaborasi.

Buku yang ditulis oleh intelektual Islam, Ismail Fajrie Alatas ini secara detil membahas ihwal bagaimana para ulama Nusantara terdahulu membangun otoritasnya sehingga pemikiran dan ajarannya diikuti banyak orang bahkan bertahan hingga sekarang.

Buku ini dimulai dengan sebuah tesis yang menarik. Yakni bahwa Islam bukanlah agama yang sudah jadi, melainkan agama yang terus menjadi. Ajaran Islam memang bersumber dari muara yang sama, yakni Alquran dan Sunnah. Namun, ekspresi keislaman bisa pluralisrik tergantung pada otoritas yang mendakwahkan atau menyampaikannya.

Secara lebih spesifik, penulis yang kerap disapa Bib Aji itu menjelaskan bahwa dalam konteks Indonesia, para ulama mampu mengartikulasikan ajaran Islam yang berasal dari Arab dengan pendekatan lokalits.

Ia mencontohkan bagaimana seorang Habib Luthfi yang membangun otoritasnya dengan jalur tasawuf. Pengajian rutinan yang ia gelar di kediamannya di Pekalongan berhasil melahirkan sebuah ekosistem keragaman yang kuat dan solid.

Selain itu, Habib Luthfi juga membangun otoritasnya dengan menjalin afiliasi politik ke sejumlah elite. Startegi ini efektif untuk meneguhkan sosok Habib Luthfi sebagai salah satu ulama yang memiliki otoritas untuk memproduksi wacana keislaman dan diikuti oleh umat Islam.

Hal lain yang patut dihiglight dalam buku ini adalah pembahasan tentang bagaimana Sunnah (ucapan dan perilaku Nabi Muhammad) itu diekspresikan dengan beragam cara dan wujud. Di satu sisi, ajaran Islam itu memang universal, namun ekspresi keislaman akan selalu bersifat partikular alias menyesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

Di sini, Bib Aji seolah hendak mematahkan klaim kelompok konservatif yang meyakini tentang konsep kesatuan ummah. Bagi Bin Aji, konsep ummah yang merujuk pada kesamaan praktik dan ekspresi keagamaan umat Islam sebagai global itu adalah hal yang utopis bahkan tidak ada.

Buku ini menarik dan relevan dijadikan sebagai rujukan apalagi di tengah polemik tentang bidah dan sunnah yang saat ini mewarnai lanskap keberagaman kita. Narasi bidah dan sesat yang digaungkan oleh para penceramah beraliran salafi wahabi terhadap tradisi Ramadan di Indonesia tidak lain merupakan kegagalan dalam memahami bagaimana ekspresi keislaman itu adalah sesuatu yang plural, alih-alih tunggal.

Adanya tradisi peringatan Nuzulul Quran, kultum sebelum tarawih, atau aturan imsak adalah hasil ijtihad para ulama Nusantara terdahulu. Mereka, para penyebar Islam periode awal itu adalah sosok yang memiliki otoritas. Jika tidak punya otoritas, mustahil hasil ijtihadnya diakui dan dilestarikan sampai sekarang.

Menganggap tradisi Ramadan di Indonesia sebagai bidah dan sesat sama saja dengan menggugat otoritas ulama terdahulu. Atau dengan kata lain tidak mengakui konstruksi keilmuan dan kesalehan mereka.

Lesson learned yang paling relevan dari buku ini adalah pesan tentang membedakan antara universalitas dan partikularitas. Ajaran Islam itu satu dan bersifat universal. Namun, ekspresi keislaman selalu bersifat partikular karena dipengaruhi oleh unsur lokalitas.

Pesan penting lainnya adalah jangan terburu-buru melabeli ekspresi keagamaan yang belum terakomodasi oleh teks klasik sebagai bidah apalagi sesat. Tersebab, ekspresi keagamaan itu juga merupakan warisan ijtihad para ulama terdahulu yang memiliki artikulasi serta otoritas keilmuan yang tidak perlu diragukan.

Facebook Comments