Ada sebuah hadist yang cukup populer di kalangan umat Islam. Yakni hadist tentang kembali ke Madinah. Redaksi hadist itu berbunyi, “sesungguhnya, iman itu akan kembali ke Madinah, seperti ular akan kembali ke sarangnya. Para ulama atau ahli hadist menafsirkan hadist ini dengan beragam pendekatan.
Ada ulama atau ahli hadist yang menafsirkan hadist ini secara sederhana. Yakni bahwa umat Islam yang menjalankan umroh atau haji pasti akan kembali ke Madinah. Namun, ada pula sebagian ulama yang menafsirkannya secara lebih filosofis. Yakni bahwa iman Islam akan kembali menguat dan bangkit di Madinah, setalah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan mengalami krisis atau pelemahan di sana-sini.
Penafsiran ini belakangan mengalami semacam radikalisasi oleh kelompok ekstremis. Penafsiran bahwa Islam akan kembali ke Madinah setelah dunia Islam mengalami krisis dimaknai sebagai seruan untuk mendirikan negara Islam seperti Rasulullah mendirikan Madinah. Penafsiran yang demikian ini gencar disebarluaskan oleh kelompok radikal ekstrem untuk membenarkan agenda politik mereka, yakni mendirikan negara atau kekhalifahan Islam.
Frasa kembali ke Madinah dimaknai secara politis ideologis oleh kaum radikal. Penafsiran yang seperti ini bukan hanya menyalahi kaidah tafsir, namun juga berpotensi menimbulkan kebingungan, bahkan kekacauan di tengah umat Islam. Penafsiran yang melenceng itu rawan menimbulkan gerakan destruktif. Apalagi di tengah krisis dunia Islam dan global saat ini.
Dalam konteks kekinian, hadist tentang kembali ke Madinah idealnya dipahami secara konstruktif. Kita harus jeli memahami Madinah sebagai komunitas atau kota yang dibangun oleh Rasulullah. Apakah Madinah itu sejenis kota atau komunitas yang inklusif dan pluralis, ataukah berbentuk institusi politik berbentuk kerajaan atau kekhalifahan?
Jika melihat catatan sejarah, tampak jelas bahwa Madinah itu bukan negara atau kerajaan Islam. Madinah adalah semacam city-state atau polis yang dihuni oleh komunitas besar dengan beragam latar belakang suku dan agama yang berbeda.
Madinah tidak diatur berdasar hukum Islam saja, namun diatur melalui konsensus bersama yang disebut Piagam Madinah. Piagam Madinah bukan aturan yang dipaksakan oleh Rasulullah ke penghuni Madinah. Sebaliknya, Piagam Madinah dirumuskan bersama sebagai pakta integritas yang disepakati seluruh entitas yang saat itu hidup di Madinah.
Jika melihat fakta sejarah tersebut, tafsir bahwa kembali ke Madinah adalah mendirikan negara atau khilafah Islamiyyah kiranya tidak tepat.
Madinah dengan Piagam Madinah-nya justru menyimbolkan prinsip universalitas kemanusiaan yang melampaui sekat agama dan kesukuan. Maka, hadist kembali ke Madinah idealnya diartikan sebagai upaya mengadaptasi model tatanan sosial dan politik yang diterapkan di Madinah semasa Nabi Muhammad. Yaitu Madinah yang egaliter dan demokratis.
Di tengah krisis dunia Islam dan global yang saat ini terjadi, prinsip universalitas kemanusiaan ala Madinah itu relevan untuk diadaptasi dan dikembangkan ulang. Saat ini, dunia Islam dan global tengah ada dalam situasi yang dipenuhi ketenangan.
Di dunia Islam, antar-negara muslim saja tidak lagi saling percaya. Sedangkan di lingkup global, kontestasi berebut dominasi ekonomi dan politik di panggung dunia membuat sejumlah negara terlibat konflik bahkan peperangan.
Pelajaran penting dari Madinah semasa Rasulullah adalah prinsip kesetaraan dan perdamaian yang menjadi prinsip fondasi membangun relasi sosial. Maka, hijrah kembali ke Madinah adalah mengadaptasi sistem sosial politik ala Madinah yang egaliter dan demokratis.
Di era sekarang, ketika sebagian besar umat Islam hidup di bawah sistem negara bangsa (nation state), prinsip universalitas kemanusiaan ala Madinah menjadi prinsip yang urgen dan relevan untuk diadaptasi.
Model negara bangsa menghendaki sebuah tatanan sosial dimana setiap individu memiliki kedudukan yang sejajar. Tidak ada lagi pembedaan warganegara berdasar identitas agama. Hal ini beda dengan zaman kekhalifahan Islam Abad Pertengahan yang mengklasifikasikan individu sesuai agamanya, yakni warganegara muslim di urutan pertama, lalu kafir dzimmi di urutan kedua, lalu kafir harbi ditempatkan di urutan paling bawah, dan wajib diperangi.
Di Madinah, klasifikasi individu berbasis agama itu tidak ada. Setiap individu memiliki kedudukan yang sejajar, baik secara martabat maupun hak dasarnya. Prinsip universalitas kemanusiaan itu kiranya mampu menjadi solusi atas problematika yang dihadapi dunia Islam dan global saat ini.
Relasi tidak harmonis di antara negara-negara muslim saat ini bisa diurai manakala masing-masing pihak meninggalkan sentimen fanatisme yang telah menjadi semacam cultural DNA bangsa Arab. Fanatisme seolah telah mendarah-daging dalam kehidupan masyarakat Arab atau Timur Tengah pada umumnya. Fanatisme itulah yang berusaha dihapus oleh Nabi Muhammad.
Dalam sebuah hadistnya, Rasulullah bahkan menyebut bahwa orang Arab tidak punya keistimewaan yang membuatnya memiliki kedudukan lebih tinggi ketimbang orang Ajam (bangsa non-Arab). Hadist ini menyiratkan pesan penghapusan terhadap sentimen fanatisme rasial.
Konflik global juga bisa diredam apabila negara-negara super-power lebih mengedepankan kepentingan kolektif, ketimbang ego dan pragmatisme golongan. Umat Islam dan warga dunia harus hijrah, kembali ke Madinah, dalam artian kembali ke prinsip dasar kemanusiaan yang universal, yang mengakui kesetaraan dan menjunjung perdamaian.