Apakah Normal Membiasakan Anak Hidup dalam Lingkungan Homogen?

Apakah Normal Membiasakan Anak Hidup dalam Lingkungan Homogen?

- in Narasi
16
0
Apakah Normal Membiasakan Anak Hidup dalam Lingkungan Homogen?

Apakah wajar orang tua khawatir jika anak hidup dalam lingkungan yang heterogen? Di satu sisi, membiarkan anak hidup di lingkungan mono-identitas rentan mempengaruhi pandangan hidup mereka soal identitas yang lain.

Tetapi di sisi lain, orang tua mungkin resah identitas anak akan terombang-ambing jika hidup dalam lingkungan yang heterogen.

Dilema ini terasa begitu nyata bagi banyak orang tua di Indonesia. Kekhawatiran akan identitas anak yang luntur atau terpengaruh hal-hal negatif saat bergaul dengan lingkungan yang beragam adalah sebuah kegelisahan yang valid.

Namun, jika ditelaah lebih dalam, pertanyaan yang perlu kita ajukan mungkin bukanlah, “bagaimana aman anak hidup dalam lingkungan yang heterogen?”, melainkan “apa risiko sesungguhnya jika anak tidak pernah kita kenalkan pada keberagaman?”. Kedua pertanyaan di atas memiliki konsekuensi jawaban yang berbeda.

Seringkali, sebuah pertanyaan polos dari mulut si kecil bisa menjadi alarm paling efektif bagi kita. Saat seorang anak bertanya, “bu, dia orang Hindu. Bolehkah aku berteman dengan dia?”.

Itu bukanlah pertanda kebencian. Sebaliknya, itu adalah sebuah cermin yang menunjukkan dunia yang ia kenal. Pertanyaan tersebut kemungkinan besar tidak akan pernah muncul jika anak tumbuh dalam lingkungan yang secara alami sudah beragam.

Pertanyaan itu adalah simptom, sebuah penanda bahwa anak hidup dalam “gelembung sosial” yang homogen, di mana perbedaan menjadi sesuatu yang asing dan perlu dipertanyakan. Inilah risiko pertama dari lingkungan mono-identitas: ia menciptakan jarak dan menjadikan keberagaman sebagai anomali, bukan keniscayaan.

Risiko ini bisa semakin berbahaya di zaman teknologi yang edan ini. Ketika pengalaman anak di dunia nyata begitu seragam, kekosongan interaksi itu akan diisi oleh konten dari gawai yang mereka konsumsi setiap hari. Tanpa filter dan penjelasan yang memadai dari orang tua, anak menjadi sangat rentan terhadap informasi yang kurang tepat.

Salah satu karakteristik fundamental anak adalah kecenderungan mereka untuk mudah mengingat dan menganggap informasi yang pertama kali masuk ke otaknya sebagai sebuah kebenaran dan pedoman bertindak.

Bayangkan jika informasi pertama yang mereka dapatkan adalah tentang pembubaran ibadah komunitas agama lain yang dianggap “berbahaya” atau stereotipe tentang “yang berbeda”. Maka, echo chamber di dunia nyata akan semakin solid karena dilegitimasi oleh ruang gema yang sama di ruang digital.

Melihat risiko ini, solusinya bukanlah dengan mengisolasi anak, melainkan orang tua perlu secara aktif mencarikan pengalaman positif tentang keberagaman sejak dini.

Psikolog Ernest Harms, dalam teorinya tentang perkembangan pengalaman beragama pada anak, memberikan kita peta jalan yang sangat berguna. Ia mengidentifikasi “the fairy-tale stage” (tahap dongeng) yang berlangsung antara usia 3 hingga 6 tahun. Pada fase ini, konsep anak tentang Tuhan dan agama lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, bukan oleh logika yang kaku. Ini adalah momen emas, jendela kesempatan yang paling subur untuk menanamkan benih-benih cara pandang yang inklusif.

Bagaimana caranya? Melalui cerita. Orang tua dapat menstimulus sisi kognitif dan emosional anak dengan kisah-kisah yang menyejukkan. Ceritakan dengan bahasa yang sederhana bagaimana Nabi Muhammad menjalin persahabatan yang hangat dengan Raja Habsyah dari Ethiopia, seorang pemimpin Kristen yang adil dan bijaksana.

Kisahkan bagaimana Nabi begitu menyayangi pamannya, Abu Thalib, yang hingga akhir hayatnya memilih untuk tidak memeluk Islam dan tetap pada agama nenek moyangnya. Cerita-cerita ini menanamkan sebuah pemahaman di alam bawah sadar anak bahwa inti dari keimanan adalah keluhuran budi pekerti, dan bahwa kasih sayang serta pertemanan dapat melintasi batas-batas keyakinan.

Ketika fondasi yang kokoh ini telah ditanam pada usia dini, anak akan lebih siap memasuki fase berikutnya, yaitu the realistic stage (tahap realistis), yang dimulai sekitar usia 7 tahun.

Di tahap ini, anak mulai mengonsepkan agamanya berdasarkan kenyataan dan bimbingan dari lingkungannya. Ia akan mulai mengorelasikan nilai-nilai yang diajarkan di rumah dengan interaksi sosial mereka di luar. Tentu, ia mungkin akan menemukan realitas yang berbeda dari cerita-cerita indah yang didengarnya.

Namun, bekal dari “tahap dongeng” akan menjadi kompas moralnya, membantunya untuk tidak “gagap” saat menghadapi perbedaan.

Dengan bekal ini, kegelisahan orang tua bahwa identitas anak akan “terombang-ambing” di lingkungan heterogen menjadi tidak relevan. Justru sebaliknya, identitasnya akan semakin kuat karena dibangun di atas pemahaman, bukan ketakutan; di atas pengalaman, bukan isolasi.

Walakhir, membiasakan anak hidup dalam lingkungan homogen mungkin terasa lebih “safe zone” dalam jangka pendek, namun sejatinya orang tua sedang menunda sebuah pelajaran penting tentang kehidupan.

Kita tidak sedang melindungi mereka, melainkan menumbuhkan kerapuhan di dalam diri mereka. Tugas orang tua bukanlah membangun sekat dalam diri anak, tetapi menanamkan akar yang kuat agar anak mampu menyadari bahwa keberagaman bukanlah ancaman.

Facebook Comments