Konflik antara Israel dan Palestina telah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu. Akar konflik itu kompleks. Mulai dari sengketa wilayah teritorial, sampai melebar ke isu agama. Jika ditinjau dari sisi geografis, konflik Palestina dan Israel merupakan konflik regional.
Namun demikian, dampak konflik itu nyatanya berpengaruh secara global. Hal itu terjadi karena banyak pihak yang berusaha mengeksploitasi konflik tersebut demi kepentingan golongan mereka sendiri. Dua di antara kelompok yang getol memanfaatkan isu Palestina untuk kepentingan politis dan ideologis mereka adalah Ikhwanul Muslimin (IM) dan Hizbut Tahrir (HT).
Dua kelompok itu memiliki andil signifikan dalam membentuk peta wacana konflik Palestina, dengan membangun narasi bahwa apa yang terjadi di sana adalah konflik antara agama (Islam dan Yahudi).
IM menjadi organisasi yang paling awal melakukan upaya radikalisasi terhadap isu Palestina ini. Hal ini bermula ketika IM membuka cabang di Palestina untuk pertama kalinya pada tahun 1946. Doktrin utama IM bertumpu pada prinsip al Islam huwa al hal, yang bermakna “Islam adalah solusi bagi seluruh persoalan di era modern, baik di ranah privat maupun publik”.
Ikhwanul Muslimin dan Cikal Bakal Terbentuknya Hamas
Padahal, kala itu di negara asalnya, yakni Mesir, IM sudah dicap sebagai organisasi radikal yang terlarang karena kerap mendalangi aksi kekerasan dan teror terhadap para tokoh yang berbeda pandangan.
Cabang IM di Palestina inilah yang lantas menjadi cikal bakal terbentuknya Hamas; faksi militer di Palestina yang dikenal ekstrem dan menjadikan pendekatan militeristik untuk melawan dominasi Israel.
Demikian pula dengan Hizbut Tahrir (HT). Organisasi ini resmi didirikan di Yerussalem, oleh Taqiyyudin an Nabhani. HT didirikan sebagai respons atas kekalahan koalisi negara-negara Arab dalam peperangan enam hari melawan Israel. Organisasi ini lantas berkembang di seluruh kota di Palestina.
Termasuk Gaza yang menjadi episentrum konflik antara Palestina dan Israel. Doktrin utama HT adalah agenda penegakan khilafah sebagai solusi atas problem umat Islam, termasuk problem imperialisme yang dihadapi warga Palestina.
Dalam keyakinan para anggota dan simpatisan HT, Palestina akan merdeka jika tegak. Maka, perjuangan kemerdekaan Palestina adalah perjuangan menegakkan khilafah Islamiyyah. Apa yang dilakukan IM dan HT dalam banyak hal sbeennya telah mendistorsi konflik Palestina dan Israel yang sebenarnya kompleks.
HT dan IM berusaha membangun narasi tunggal bahwa konflik Palestina-Israel adalah konflik agama Islam dan Yahudi. Mereka menafikan kenyataan adanya konflik kepentingan di internal Palestina sendiri. Mereka juga berusaha menutupi realitas sosial keagamaan di Palestina yang plural dan terdiri atas banyak agama.
Dampak dari pendangkalan esensi konflik itu adalah menguatnya gelombang radikalisasi agama di dunia Islam. Mulai dari kawasan Timur Tengah, bahkan hingga ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Konflik Regional Timur Tengah Jangan Ganggu Stabilitas Nasional
Harus diakui bahwa gejolak di Palestina telah mendorong tumbuh dan berkembangnya sel gerakan terorisme di tubuh Islam. Para propagandis organsiasi atau gerakan terorisme kerap menjadikan isu Palestina sebagai alat indoktrinasi paham radikal.
Secara konkret, video atau foto warga Palestina yang menjadi korban kekejian tentara Israel kerap dijadikan sebagai media menarik simpati dari umat yang menjadi target indoktrinasi atau rekrutmen.
Hal itu juga terjadi di Indonesia. Eksponen IM dan HT getol menunggangi isu Palestina untuk menyebarkan paham radikal dan khilafah. Dalam setiap aksi bela atau soldiritas Palestina, narasi khilafah itu selalu muncul.
Hal ini tentu mengkhawatirkan karena paham khilafah sudah jelas anti nasionalisme dan bertentangan dengan konstitusi kita. Dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa konflik regional yang terjadi di Palestina telah berdampak pada stabilitas nasional di Indonesia.
Lantas, bagaimana kita menyikapi fenomena ini? Hal penting yang wajib dilakukan adalah membangun kesadaran di kalangan umat Islam bahwa perjuangan Palestina tidak ada kaitannya dengan khilafahisme seperti didengungkan aktivis HT.
Konflik Palestina juga bukan semata dilatari isu agama seperti dinarasikan IM. Perjuangan rakyat Palestina dilandasi oleh spirit nasionalisme dan mempertahankan wilayah dari aneksasi bangsa asing. Rakyat Palestina sendiri menghendaki negara merdeka dan menjadi negara demokratis, bukan negara agama seperti dicita-citakan IM atau HT.
Arkian, bagi umat Islam di Indonesia penting untuk memposisikan isu Palestina ini dalam kerangka kemanusiaan, bukan keagamaan. Inisiatif yang dilakukan pemerintah dengan mendorong PBB mengakui negara Palestina adalah sebuah tindakan konkret yang patut diapresiasi.
Jalur diplomasi itu jauh lebih efektif dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina. Demikian pula, bantuan kemanusiaan berupa rumah sakit, obat-obatan, dan kebutuhan logistik lainnya yang rutin dikirim pemerintah Indonesia setiap terjadi eskalasi konflik di Palestina adalah wujud nyata solidaritas berbasis kemanusiaan.
Kita wajib memastikan isu regional Palestina ini tidak berdampak pada stabilitas nasional. Kita juga harus menjamin bahwa solidaritas Palestina tidak menjadi kedok untuk megindoktrinasi paham radikal ke tengah umat.