Hardiknas Dan Revitalisasi Pendidikan Anti-Radikalisme

Hardiknas Dan Revitalisasi Pendidikan Anti-Radikalisme

- in Narasi
1071
0
Hardiknas Dan Revitalisasi Pendidikan Anti-Radikalisme

Insan pendidikan baru saja memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei 2021. Hardiknas memberikan pembelajaran dan pijakan penting bahwa sektor pendidikan menjadi kunci kemerdekaan dan akan selalu dibutuhkan ke depan demi kemajuan bangsa. Sayangnya hingga detik ini pendidikan nasional masih dipersimpangan jalan dengan kebijakan tambal sulam, tarik ukur, dan bongkar pasang.

Pendidi­kan menjadi salah satu media guna meng­antisipasi tindak kekerasan sejak dini. Khusus umat Islam sekarang sedang melak­sana­kan ibadah puasa Ramadan. Ra­ma­dan merupakan bulan pendidikan. Ra­ma­dan sebagai bulan pendidikan mesti dioptimalkan guna revitalisasi sek­tor pendidikan dalam segala lini. Subs­tansi pendidikan yang penting di­ta­nam­kan salah satunya adalah doktrinasi anti-radikalisme sejak dini. Kunci optimalisasi doktrinasi adalah revitalisasi pendidikan. Kualitas pendidikan mesti dijamin secara baik dan terjangkau luas.

Filosofi dan Teologi

Filosofi Ki Hadjar Dewantara yang fenomenal adalah “Ing ngarso sung tulodo” (di depan memberi teladan), “Ing madyo mangun karso” (di tengah membangkitkan kehendak), “tut wuri handayani” (di belakang memberi dorongan). Filosofi tersebut hingga kini digunakan sebagai semboyan dalam dunia pendidikan Indonesia.

Definisi pendidikan menurut menurut UU No. 20 tahun 2003 adalah usaha sa­dar dan terencana untuk mewujudkan sua­sana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengem­bang­kan potensi dirinya untuk memiliki kekua­tan spiritual keagamaaan, pe­ngendalian diri, kepribadian, kecer­da­san, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bang­sa, dan negara.

Islam sangat memperhatikan sektor pen­didikan. Ayat Alquran pertama yang turun adalah iqra’ (bacalah) menyiratkan pentingnya membaca dengan ilmu. Belajar juga diwajibkan sejak lahir hing­ga liang lahat. Imam Al-Ghazali me­nyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Semakin bertambah ilmu yang dimiliki akan semakin baik akhlak dan budi pekertinya. Sayyid Quth dalam bu­kunya Ma’allim fi Ath-Thariq, men­je­laskan bahwa kehebatan generasi sa­habat bukan karena adanya Rasulullah, te­tapi terletak pada semangat mereka un­tuk belajar kemudian berupaya me­nga­malkannya secara maksimal.

Pendidikan dalam konsep Islam terdiri dari beberapa ruang lingkup. Antara lain pen­didikan keimanan, pen­didikan akh­lak, pendidikan intelek­tual, pendidikan fisik, dan pendidikan psikis. Al Syaibani (da­lam Juniarari, 2011) menjelaskan tu­juan pendidikan me­­nurut Islam. Pertama, tu­juan yang ber­kaitan dengan individu. Mencakup perubahan yang berupa pe­nge­tahuan, tingkah laku masyarakat, ting­kah laku jasmani dan rohani dan ke­mampuan-kemampuan yang harus di­miliki untuk hidup di dunia dan di akhi­rat.

Kedua, tujuan yang berkaitan dengan masyarakat. Mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan ma­sya­ra­kat, memperkaya pengalaman ma­syarakat. Ketiga, tujuan profesional yang ber­kaitan dengan pendidikan dan pe­nga­jaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.

Strategi Revitalisasi

Segudang permasalahan klasik masih terus menghinggapi pendidikan Indonesia. Seluruh insan pendidikan penting melakukan refleksi selama perjalanan bulan Ramadan ini dalam rangka revitalisasi pendidikan di Indonesia.

Pertama, apapun yang terjadi pendidi­kan harus tetap berlangsung dan men­jang­kau semua anak negeri. Pasal 31 (1) UUD 1945 hasil amandemen IV mene­gas­kan bahwa se­tiap warga negara berhak men­dapatkan pen­didikan. Tidak ada alasan bagi pemerintah membiarkan satu anak saja yang tidak bisa sekolah. Politik anggaran sudah diberikan de­ngan alokasi 20 persen dari APBN. Opti­malisasi ber­basis keadilan dan kualitas pen­ting di­upa­yakan dalam memanfaatkan ang­ga­ran besar ini.

Kedua, dukungan politik pendidikan yang konsisten dan sistematis. Selama ini ada ang­gapan setiap berganti ke­pe­mim­­pinan, ma­ka akan berganti kebijakan pen­didikan. Esta­fet keberlanjutan antar re­zim belum terlihat baik. Untuk itu mesti di­­susun peta jalan jang­ka panjang, me­ne­ngah, dan pendek terkait sektor pen­di­di­kan. Ketiga, mengembangkan pen­di­di­kan alternatif atau pendidikan luar se­ko­lah yang terjangkau. Faktanya banyak anak yang susah terjangkau dan tidak se­dikit wilayah yang belum berdiri se­kolah formal.

Keempat, memberikan perhatian lebih bagi tenaga pengajar dan fasilitas. Pemberian sertifikasi layak diapresiasi namun mesti di­evaluasi berkala agar optimal dan tidak justru kontra produktif. Sertifikasi guru pada bebe­rapa kasus ditengarai memunculkan gaya hidup baru guru menjadi konsumtif dan menu­runkan konsentrasi mengajarnya. Berikutnya fasilitas sekolah penting mengikuti perkem­bangan teknologi terkini. Tantangannya sela­in masalah pemenuhan berbasis kebutuhan juga mendapatkan godaan terkait korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyata­kan selama periode 2003 sampai 2013 terda­pat 296 kasus korupsi di bidang pendidikan dengan kerugian negara sekitar Rp. 619 mi­li­ar. Kondisi terparah terjadi pada 2011 di mana pendidikan masuk sebagai sektor ter­korup.

Pendidikan adalah kunci mencapai kema­juan pembangunan dan daya saing bangsa di kancah global. Banyak tokoh telah memberi­kan inspirasi bagi pengambil kebijakan dan pelaku pendidikan. Hal yang paling penting ba­gaimana menyebarkan inspirasi sebagai energi positif pengembangan pendidikan.

Dunia pendidikan mesti mampu mencetak tokoh, kader, dan pegiat pendidikan handal demi pendidikan yang kualitas dan berke­adilan. Kehadiran jutaan guru menjadi modal yang mesti dioptimalkan kualitasnya. Peme­rintah wajib memperhatikan kesejahteraan guru demi kebangkitan kualitas pendidikan.

Facebook Comments