Jika kita membandingkan era 80an dan era millineal sekarang ini tentu sangat jauh berbeda, khususnya pada aspek kecepatan informasi yang begitu dahysat seperti saat ini. Dalam hitungan detik kejadian di belahan dunia dapat memberikan pengaruh pada lingkungan sekitar kita.
Meskipun ada perbedaan mencolok dalam hal komunikasi pada tahun 80an dengan era millineal sekarang ini. Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa pola perlawanan kelompok radikal terorisme tidak jauh berbeda. Artinya slogan kelompok teroris darah dibayar dengan darah tetap eksis sampai saat ini dan tidak pernah mengalami perubahan.
Sejak tahun 80an hingga saat ini aksi-aksi terorisme yang terjadi di beberapa negara muslim, khususnya di Timur Tengah, tidak terlepas dari motif bentuk balas dendam atas tindakan Israel dan sekutunya terkait masalah Palestina. Di Mesir misalnya pada tahun 80an dan 90an bisa dikatakan bahwa hampir semua aksi teroris baik yang ditujukan kepada tokoh-tokoh nasional maupun terhadap instalasi-instalasi Barat di Timur Tengah dan Afrika Utara tidak terlepas dari motif aksi balas dendam atas kebijakan dan politik Israel dan sekutunya di kawasan itu.
Al Jihad Al Islami di Palestina dan Jamaah Islamiyah di Mesir, misalnya, yang sering bertanggungjawab atas beberapa aksi terorisme di kawasan itu seperti peledakan bom di kedutaan asing dan instalasi-instalasi Barat atau pembajakan pesawat komersial dan penyanderaan orang asing atau wisatawan seringkali berujung pada sebuah bargaining dan tuntutan yang dikaitkan dengan kasus-kasus yang terjadi di Palestina. Demikian pula beberapa aksi terorisme di Indonesia pada awal-awal tahun 2000an juga bermotif sebagai aksi balas dendam baik atas nama Palestina seperti bom Bali atau atas nama Filipina Selatan seperti bom bunuh diri di kediamaan Duta Besar Filipina di Jakarta beberapa tahun lalu.
Ketika kita kembali lagi mengamati sejumlah aksi terorisme pasca melemahnya ISIS di Suriah dan Irak dalam dua tahun terakhir, mulai dari Eropa hingga Asia bahkan di sekitar tanah Suci di Saudi Arabia juga terkesan bahwa tindakan terrorisme tersebut terjadi sebagai bentuk balas dendam dan solidaritas atas apa yang menimpa kombatan-kombatan ISIS di Irak dan Suriah. Bahkan aksi tersebut seakan-akan memberikan peringatan kepada setiap komunitas bahwa mereka ada di mana-mana dan setiap melakukan apapun demi organisasinya. Kelompok terorisme tidak berhenti di situ bahkan isu-isu seperti Rohingya beberapa tahun terakhir juga seringkali mendorong munculnya tindakan-tindakan anarkis di beberapa tempat termasuk di Indonesia.
Oleh karena itu, nampaknya agak naïf jika kita menolak pandangan sejumlah ilmuwan dan peneliti di beberapa negara termasuk di Indonesia yang menyimpulkan bahwa salah satu faktor munculnya aksi terorisme karena persoalan solidaritas. Motivasi solidaritas merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri. Anggaplah misalnya hasil penelitian yang pernah diungkapkan oleh INSEP pada tahun 2012 terhadap narapidana terorisme di mana menyebutkan bahwa sebanyak 45,5 % pelaku terorisme menyatakan termotivasi karena ideologi keagamaan, 20% karena motif solidaritas komunal, 12,7% karena goncangan mentalitas, 10,9% karena motif balas dendam, 9,1% karena situasional dan 1,8% karena motif separatisme.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa sejatinya perasaan solidaritas komunal yang diwujudkan dalam bentuk aksi destruktif berupa terorisme masih tinggi. Hal ini bukan pula menyatakan bahwa solidaritas terhadap penindasan tertentu seperti Palestina, Afganistan, Ambon, dan daerah konflik lainnya melahirkan terorisme. Namun, fakta menyebutkan bahwa wujud destruktif atau eksploitasi solidaritas yang keliru bisa melahirkan tindakan kekerasan bahkan teror.
Solidaritas merupakan sesuatu yang mutlak bagi setiap umat manusia. Bukan saja karena agama mengajarkan hal itu, tetapi solidaritas merupakan fitrah manusia sejak lahir yang selalu mendorong untuk saling membantu dan bahu-membahu dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi sesamanya. Apalagi jika hal itu terkait dengan masa depan sebuah bangsa dan negara.
Betul apa kata Ir. Soekarno, Presiden pertama Indonesia, terkait masalah Palestina bahwa Indonesia akan selalu berdiri bersama rakyat Palestina hingga memperoleh kemerdekaannya dan ini adalah amanah Undang-Undang Dasar 45 yang harus selalu dipegang oleh setiap bangsa dan warga Indonesia. Namun yang perlu dicatat bahwa solidaritas yang ditunjukkan dalam bentuk balas dendam terhadap orang lain di negeri sendiri seperti penyerangan terhadap gereja, pemboman terhadap instalasi asing di negeri kita dan penyerangan terhadap mereka yang beretnis serupa dengan lawan sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok-kelompok terorisme selama ini merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolerir apalagi jika mengatasnamakan agama atau membela saudara seagama.