Istilah deradikalisasi masih cukup kontroversial dan tentu saja terbuka untuk selalu diperdebatkan secara ilmiah. Ketidaktahuan secara esensial tentang program deradikalisasi menyebabkan keraguan, sinisme, bahkan tidak ingin tahu sama sekali. Akibat ketidakingintahuan tersebut, kadang muncul kritik tidak tepat sasaran dan tidak subtansial dengan bumbu-bumbu isu proyek yang tidak jelas kebenarannya atau gosip pesanan asing yang renyah digunjingkan. Tidak jarang apabila beberapa kalangan masih galau bahkan sinis dengan istilah deradikalisasi.
Entah ketidaksepakatan itu karena istilah deradikalisasi berasal dari serapan bahasa asing sehingga ia menjadi seolah proyek pesanan negara asing. Namun, agak lucu juga kemudian memunculkan istilah “moderasi” sebagai antitesa yang sama-sama serapan dari istilah asing. Agak salah kaprah jika mengatakan moderasi sebagai antitesa dari deradikalisasi. Moderasi adalah salah satu inti dari deradikalisasi yakni upaya menanggalkan kekerasan dengan cara memoderasi pandangan sehingga lebih terbuka, toleran, dan damai (Blueprint Deradikalisasi, BNPT, 2013).
Mungkin saja, agak menebak, deradikalisasi ditolak karena muncul dari Barat. Saya ingin mengambil contoh praktek deradikalisasi yang non-Barat. Kesuksesan deradikalisasi muncul di beberapa negara di Timur Tengah. Yaman sering dianggap sebagai pionir dalam program deradikalisasi. Negara ini mulai menjalankan program deradikalisasi pada tahun 2002 dengan membentuk Komite untuk Dialog (Committee for Dialogue). Pelopor program ini adalah Hamoud al-Hittar, yang beranggapan bahwa “Jika anda mempelajari terorisme di dunia, Anda akan melihat bahwa ada teori intelektual di belakangnya. Dan segala bentuk ide intelektual juga bisa dikalahkan oleh intelektual.
Berbeda dengan Yaman, Arab Saudi mendesain model program deradikalisasi yang lebih komprehensif dibanding dengan membentuk PRAC (Prevention, Rehabilitation and After Care). Komite ini dijalankan oleh suatu lembaga Lajnah al-Munashahah (Komite Penasihat). Munashahah adalah memberikan nasihat dan berdialog dengan para narapidana kasus terorisme di penjara. Dan di Mesir, deradikalisasi lebih menyasar pada organisasi. Konsep dialog teologis dilakukan dengan tujuan meruntuhkan persepsi teroris yang salah dan melakukan konstruksi ulang ideologi yang mendasari tindakan radikal dengan cara memfasilitasi pertemuan antara para tokoh JI Mesir dengan ulama-ulama Al-Azhar. Hasilnya, inisiatif untuk menghentikan aksi kekerasan pun muncul di kalangan para pemimpin JI Mesir. Inisiatif ini dikenal dengan istilah al-mubadarah liwaqfil unfi (proposal atau maklumat penghentian aksi kekerasan) (Agus SB, Deradikalisasi Nusantara, 2015).
Apa yang harus ditegaskan dalam menjernihkan kontroversi program deradikalisasi adalah tentang obyek sasarannya. Hal ini yang sering disalahpahami sehingga muncul istilah serampangan “deradikalisasi pesantren, deradikalisasi perguruan tinggi, deradikalisasi masjid” dan lain-lain. Sasaran program deradikalisasi adalah perorangan atau kelompok yang sudah terpapar dan terpengaruh paham radikal terorisme baik perorangan maupun kelompok.
Kelompok atau perorangan radikal itu bermacam bentuknya. Ada yang radikal yang mengabsahkan kekerasan sebagai satu-satunya jalan keluar. Kelompok ini bukan hanya terlihat pada aksi kekerasannya, tetapi secara ideologis melegitimasi kekerasan sebagai cara perubahan baik kekerasan kepada masyarakat sipil atau aparat. Kelompok inilah yang sering disebut sebagai radikal terorisme atau ekstrimis. Ada kelompok radikal lainnya yang tanpa mengabsahkan kekerasan (Omar Shour: The De-radicalization of Jihadists, 2009). Sasaran deradikalisasi dalam hal ini adalah kelompok radikal kekerasan (violent radicals) yang tidak hanya tindakan, tetapi secara ideologis melegitimasi kekerasan umumnya menggunakan pengabsahan ajaran keagamaan.
Karena itulah, sangat salah kaprah jika mengatakan deradikalisasi merupakan proses de-islamisasi. Narasi ini menjadi kencang ditiupkan oleh segelintir kalangan yang menuding akan ada deradikalisasi pesantren, deradikalisasi masjid, deradikalisasi lembaga pendidikan dan lainnya. Obyek material program deradikalisasi adalah mereka yang sudah terpengaruh paham atau terpapar paham radikal terorisme. Karena itulah, sasaran program ini adalah para narapidana terorisme di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Atau deradikalisasi bisa di luar Lapas dengan membina mantan narapidana teroris, keluarga teroris dan jaringannya. Dalam pengertian itulah, tidak ada sasaran deradikalisasi yang menyasar masyarakat yang belum terpapar paham semisal deradikalisasi guru, pelajar, ulama dan lainnya.
Gosip berikutnya yang agak kencang adalah deradikalisasi merupakan pendangkalan agama. Nah ini persoalan krusial yang harus diluruskan. Deradikalisasi sejatinya adalah ingin menghapus kedangkalan agama. Kedangkalan agamalah yang menyebabkan seseorang mudah terserang virus radikalisme. Prof. Dr. Nasaruddin Umar dengan cukup jelas menyatakan bahwa deradikalisasi bukan berarti sebuah upaya menghadirkan pemahaman dan wawasan baru, apalagi sebagai pendangkalan pemahaman keagamaan (Islam), melainkan sebagai upaya mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman yang benar tentang agama dan wawasan bernegara (Deradikalisasi Pemahaman Qur’an dan Hadist, 2014).
Dalam pengertian itulah, tokoh agama dan ulama dengan kapasitas keilmuan agama yang matang terlibat dalam memberikan pemahaman keagamaan yang utuh. Pelibatan ulama sangat penting sebagaimana deradikalisasi di Mesir dan Yaman. Ulama dan organisasi moderat merupakan mitra strategis dalam program deradikalisasi agar mampu memberikan pemahaman keagamaan yang utuh tidak parsial terhadap mereka yang menjadi korban ideologi kekerasan. Deradikalisasi di sini adalah ingin menanggalkan paham dan ideologi kekerasan dengan memberikan pemahaman yang moderat.
Kesuksesan deradikalisasi juga bermacam-macam. Tidak bisa kita mengatakan deradikalisasi telah gagal total. Ada beberapa tingkatan dalam melihat output yang dihasilkan. Pertama, deradikalisasi ideologis (ideological deradiacalization), yakni seseorang menanggalkan ideologi kekerasan, tetapi secara perialku masih tidak menerima terhadap model demokrasi, keterbukaan dan lainnya. Kedua, deradikalisasi perilaku (behavioral deradicalization), dalam hal ini seseorang bisa saja terbuka untuk berkomunikasi, tetapi secara ideologis ia masih memegang teguh ajaran kekerasan. Ketiga, deradikalisasi organisasi (organizational deradicalization) yang menyasar pada pemimpin kelompok dan dapat mempengaruhi pengikutnya. Kesuksesan deradikalisasi ini sebagaimana terlihat dalam kasus deradikalisasi di Mesir.
Dari tiga level di atas ada beberapa model deradikalisasi. Deradikalisasi yang komprehensif (comprehensive deradicalization) merupakan deradikalisasi yang dapat mencapai perubahan menyeluruh dalam tiga level; ideologis, perilaku dan organisasi. Kedua, deradikalisasi subtantif (substantive deradicalization) merupakan deradikalisasi yang mencapai target perubahan ideologis dan perilaku tetapi tidak menyentuh pada organisasi karena faksi dan konfilk internal dalam kelompok radikal yang tidak mampu menyentuh pada organisasi secara keseluruhan. Ketiga, deradikalisasi pragmatis, yakni deradikalisasi yang berhasil merubah perilaku dan organisasi tetapi tidak mampu merubah ideologi, seperti kasus di Aljazair (Omar Ashour, 2009).
Di Indonesia, model deradikalisasi yang dilakukan mengarah pada deradikalisasi secara komprehensif. Karena itulah, apa yang dikembang dari deradikalisasi ini tidak hanya menyasar pada perorangan, narapidana di dalam Lapas, tetapi juga di luar Lapas yang meliputi mantan narapidana teroris, keluarga, dan jaringannya. Deradikalisasi yang komprehensif di sini dapat pula diartikan sebagai proses menyeluruh yang menyentuh seluruh aspek yang mendorong seseorang menjadi radikal.
Deradikalisasi bukan sekedar faktor keagamaan. Seorang mantan narapidana teroris secara ideologis bisa saja telah meninggalkan paham kekerasan, tetapi secara sikap ketika ia menghirup udara kebebasan ada persoalan ekonomi, isolasi sosial, kegundahan psikis dan faktor lainnya yang mendorong mereka berpeluang kembali berperilaku keras. Karena itulah, pembinaan kewirausahaan, pendampingan resosialisasi, dan pembinaan keluarga menjadi elemen penting dalam deradikalisasi.
Jika dikatakan deradikalisasi merupakan proyek, tentu saja deradikalisasi adalah proyek merubah seseorang yang keras dengan multiple factor yang melatarinya. Proyek ini harus dilakukan secara bersama-sama dengan berbagai perspektif dan melibatkan instansi pemerintah terkait, organisasi kemasyarakat dan masyarakat secara umum (Blueprint Deradikalisasi, BNPT, 2013). Karena itulah, seluruh komponen bangsa harus terpanggil dalam proyek bersama ini. Proyek deradikalisasi adalah proyek jangka panjang untuk menciptakan Indonesia yang damai dengan memutus mata rantai ideologi kekerasan agar tidak tumbuh subur di negeri yang kita cintai ini.