Menyingkap Fenomena “Family Terrorism” di Indonesia

Menyingkap Fenomena “Family Terrorism” di Indonesia

- in Narasi
1677
0
Menyingkap Fenomena “Family Terrorism” di Indonesia

Dalam penyidikan Polisi terungkap bahwa pelaku peledakan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral ialah sepasang suami-istri. Keduanya diketahui menikah tujuh bulan lalu. Mencengangkan lagi, sang istri ternyata tengah hamil empat bulan. Peristiwa teror yang dilakukan oleh satu keluarga ini bukan kali pertama terjadi. Pada tahun 2018 lalu, pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya juga dilakukan oleh satu keluarga terdiri atas ayah, ibu dan dua orang anak.

Dalam kajian terorisme, fenomena ini disebut sebagai family terrorism, atau terorisme yang dilakukan oleh satu keluarga. Jika ditarik lagi ke awal munculnya fenomena terorisme di Indonesia, praktik family terrorism ini sebenarnya sudah dimulai sejak era Bom Bali 1 yang diotaki oleh empat teroris, yakni Amrozi, Mukhlas, Ali Imron dan Imam Samudera. Seperti diketahui, Amrozi, Ali Imron dan Mukhlas merupakan tiga saudara kandung.

Fenomena family terrorism ini menunjukkan bahwa penyebaran paham radikal-terorisme bisa melalui kluster keluarga. Dan, hal itu terbilang lumrah. Jika seseorang terpapar paham dan gerakan radikal-terorisme, maka kemungkinan besar ia akan mempengaruhi anggota keluarga lainnya untuk melakukan hal yang sama. Anggota keluarga itu bisa jadi saudara kandung, istri, maupun anak.

Belakangan, family terrorism yang melibatkan keluarga inti (istri dan anak) kian marak terjadi di Indonesia. Modus yang terbilang anyar ini mengadopsi dari ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) yang juga menjadikan perempuan dan anak-anak sebagai kombatan perang. Dalam kasus ISIS, banyak perempuan dan anak-anak di(ter)paksa menjadi kombatan oleh suami atau ayah mereka.

Perempuan (istri) dan anak-anak seperti kita tahu cenderung menempati posisi yang inferior dalam struktur keluarga. Laki-laki (suami atau ayah) yang identik sebagai kepala keluarga dianggap memiliki otoritas penuh dan mendominasi pengambilan keputusan. Maka, ketika laki-laki sebagai kepala keluarga terlibat jaringan teror, kemungkinan untuk melibatkan perempuan dan anak-anak cenderung sangat besar. Fenomena inilah yang harus disikapi serius oleh pemerintah dan masyarakat

Fenomena family terrorism membuktikan bahwa paham radikal-terorisme cenderung sangat mudah menyebar di kalangan keluarga. Konsekuensinya, pencegahan dan pemberantasan terorisme pun mau tidak mau harus berbasis pada keluarga dan lingkungan. Keluarga sebagai unit paling kecil dari masyarakat harus membangun sistem deteksi dini untuk mencegah paparan paham ekstremisme dan radikalisme beragama.

Di sini, konsep ketahanan keluarga (family resilience) menjadi sangat urgen. Keluarga harus membentengi diri dari paham dan gerakan radikal-terorisme seketat mungkin. Maka dari itu, program pencegahan radikalisme-terorisme harus melibatkan keluarga dan lingkungan masyarakat sebagai garda terdepannya. Pendidikan anti-terorisme dengan demikian harus menjangkau seluruh kelompok masyarakat, termasuk perempuan dan anak-anak.

Bagaimana Peran Perempuan dalam Mencegah Terorisme?

Dalam konteks inilah, peran perempuan (istri) dalam pencegahan terorisme di level keluarga sangat diperlukan. Dalam unit keluarga, perempuan yang kerapkali lebih banyak berada di ranah domestik memiliki peran yang signifikan dalam mencegah merebaknya fenomena family terrorism. Untuk itu, perempuan harus melakukan setidaknya empat langkah.

Pertama, memberdayakan diri baik secara finansial (ekonomi) dan sosial. Riset menunjukkan bahwa perempuan yang mandiri (bekerja dan memiliki penghasilan sendiri) serta memiliki pergaulan yang luas nisbi lebih bisa menjaga diri dari paparan paham radikal-terorisme. Sebaliknya, perempuan yang tidak mandiri (dependent) cenderung mudah mengikuti arus tarikan radikal-terorisme, apalagi jika dihasut oleh orang terdekat (suami).

Kedua, perempuan harus memiliki dan senantiasa mengembangkan pemikiran kritis (critical thought). Berpikir kritis ialah tameng dari ideologi radikal-terorisme yang kerap menjajakan janji manis yang irasional dan utopis. Ketiga, menguasasi literasi media, yakni kemampuan dalam memilih dan memilah informasi. Di tengah era keberlimpahan informasi ini, perempuan idealnya memiliki mekanisme pertahanan agar tidak terjebak dalam arus hoaks dan kebencian yang tersebar di dunia maya.

Keempat, perempuan idealnya menjadi agen moderasi beragama, minimal di lingkup domestik (keluarga). Seorang penyair Hafiz Ibrahim berujar, “al ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq”. Artinya, perempuan ialah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan generasi bangsa yang baik”. Di lingkup keluarga, ibu ialah teladan anak dalam beragama dan bernegara. Maka, penting bagi seorang ibu untuk berpandangan moderat.

Secara umum, fenomena family terrorism bisa dicegah dengan mengintensifkan sistem deteksi dini ekstremisme dan terorisme di level keluarga dan lingkungan. Unit keluarga inti dan masyarakat di level RT atau RW harus memiliki kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam mengidentifikasi setiap gejala yang mengarah pada paham atau gerakan radikal-terrorism. Di saat yang sama, keluarga juga harus menjadi agen bagi edukasi dan moderasi keagamaan.

Cara pandang dan praktik keberagamaan yang toleran, inklusif dan pluralis idealnya sudah ditanamkan sejak dini. Dan keluarga merupakan institusi terpenting dalam menanamkan spirit moderasi beragama itu kepada anak-anak sebagai calon generasi penerus bangsa. Keberhasilan keluarga dalam menanamkan spirit moderasi keberagamaan akan menjadi modal penting mewujudkan kehidupan berbangsa yang harmonis dan damai.

Facebook Comments