Di tengah maraknya isu sektarian yang mengatasnamakan agama dan kelompok tertentu, kita patut menggali sejarah masyarakat Indonesia yang memiliki keberagaman yang tinggi. Radikalisme agama tidak bisa dianggap sepele karena pemahaman tersebut dapat berujung pada terorisme. Klaim kebenaran sepihak menunjukkan ketidakpahaman akan Islam yang memiliki nilai-nilai universial dan partikular.
Perbedaan agama, suku, dan budaya bukan halangan kita untuk bersikap rukun dan menghormati orang lain. Kalau semua orang dapat menangkap dimensi universal dari ajaran agamanya, tidak akan ada lagi kekerasan atas nama agama. Namun, kita justru sedang menghadapi zaman ketika agama, terutama Islam, disesaki dengan “penafsir-penafsir prematur” yang menjadikan ayat dan hadits hanya untuk pembenaran tindakan mereka.
Sejak zaman dahulu, para penyebar agama dan bapak bangsa menjadikan keberagaman Indonesia sebagai potensi untuk merekatkan kerukunan, persatuan, dan saling menghormati antar-kelompok. Ditetapkannya Pancasila dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah puncak religioisme yang menghimpun seluruh perbedaan untuk melebur menjadi Indonesia.
Bukti sejarah yang menarik adalah ketika Walisongo yang menyebarkan Islam tidak serta menghilangkan agama dan kebudayaan masyarakat Nusantara yang telah berkembang dengan baik. Ada batas tegas antara tradisi yang boleh diperbarui dengan ajaran agama yang universal. Justru yang terjadi adalah dialog dan akulturasi kebudayaan. Selametan, Sekatenan, sedekah bumi, dan masih banyak lagi adalah contoh perpaduan dua budaya yang merekatkan kerukunan masyarakat. Di masa sekarang, Banser dan Ansor yang menjaga gereja merupakan contoh terindah kerukunan itu.
Apalagi pemerintah menetapkan bahwa hari besar keagamaan sebagai hari libur nasional. Apa artinya? Agar masyarakat, tanpa membedakan agama, turut menghormati dan merayakan hari besar keagamaan tersebut. Hari besar keagamaan dapat menjadi penguat kerukunan umat di Indonesia.
Keberagamaan atau kemajemukan Indonesia adalah fitrah dan anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia. Ketika di belahan dunia lain, keberagaman melahirkan pertentangan dan perasaan ingin menang sendiri, di Indonesia justru sebaliknya. Perbedaan di Indonesia memotivasi warganya dan pemimpin bangsanya untuk duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Pluralisme menjadi lantasan etis untuk mengakui keberagaman tersebut.
Di dalam Nahdlatul Ulama (NU) sangat mashur tiga jenis persaudaraan (ukhuwah), yakni ukhuwah insaniyah/basyariyah (persaudaraan kemanusiaan), ukhuwah wathoniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah islamiyah (persaudaraan keislaman). Ini memberi kesadaran penuh bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi. Ada ikatan-ikatan yang menjadikan manusia tidak bisa lepas dari manusia lain, dan harus saling menghormati, bersimpati, dan berempati.
Ketiga persaudaraan itu harus berjalan bersamaan. Pertama, persaudaraan kemanusiaan adalah menganggap semua manusia sama posisi dan derajatnya. Tidak boleh ada satu manusia menyakiti manusia lain. Kedua, persaudaraan kebangsaan adalah menganggap dan meyakini bahwa semua penduduk Indonesia adalah saudara, tanpa membedakan identitas primordial dan kelompok. Ketiga, persaudaraan keislaman tipe persaudaraan eksklusif antar-umat Islam saja, dengan menjadikan sesama muslim sebagai saudara.
Kita boleh berbeda agama, tapi kalau bicara tentang Indonesia, kita adalah sama-sama penduduk Indonesia. Yang memiliki dan kewajiban sama dengan suadara kita yang berbeda agama. Dikotomi mayoritas dan minoritas tidak relevan lagi. Kita boleh berbeda bangsa, tapi kalau sudah bicara tentang masyarakat global, kita adalah sama-sama manusia.
Rasulullah Saw. menjelaskan dalam haditsnya, tidak sempurna iman seseorang sehingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri. Artinya, iman seseorang belum sempurna jika belum mencintai saudaranya sesama manusia. Di sinilah pentingnya kita merajut pluralisme untuk menguatkan soliditas dan persatuan Indonesia.