Hari Kamis, tanggal 19 Mei 2018 kita resmi akan memasuki bulan Ramadan tahun 1439 H. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, bulan Ramadan tahun ini terlihat istimewa karena tidak ada perbedaan dalam penentuan awal Ramadan. Baik Ormas Islam maupun pemerintah yang sering mengalami perbedaan penentuan awal Ramadan, keduanya sama-sama menetapkan tanggal tersebut sebagai permulaan diwajibkannya umat Islam untuk berpuasa. Hal ini memberikan iklim positif betapa meski berbeda pun, kita masih bisa bersatu. Tentu saja, bersatunya awal Ramadan ini diharapkan menghembuskan iklim positif pada hubungan kemanusiaan dalam relasi kebangsaan Indonesia.
Perlu dipahami, puasa merupakan ibadah yang menjadi sarana umat Islam untuk menyempurnakan ketakwaannya. Maka, puasa bukan hanya menahan rasa lapar sejak sebelum waktu subuh hingga waktu maghrib. Lebih dari itu, puasa bertujuan akan melatih manusia secara fisik untuk menekan hawa nafsu. Sehingga, dengan berpuasa, kualitas kemanusiaan manusia akan semakin meningkat. Ia tidak hanya memiliki hubungan baik kepada Tuhan, tapi juga kepada sesama. Inilah puasa sebagai perintah wajib untuk menunjang ketakwaan manusia (Q.S. al-Baqoroh 183).
Imam Ghazali dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin mengkategorikan orang berpuasa pada tiga tingkatan di antaranya, puasanya orang awam (shaumul ‘am), puasanya orang khusus (shaumul khash) dan puasanya orang super khusus (shaumul khawashil khawash). Pada tingkat pertama, puasa hanya sebatas menahan nafsu makan, minum dan berhubungan badan. Tingkat kedua, selain menahan dari nafsu perut dan kelamin, juga berusaha mencegah mata, mulut, tangan, kaki dan anggota tubuh yang lain dari perbuatan maksiat. Tingkat ketiga, puasanya hati dari segala pikiran dan kesenangan duniawi yang dapat memalingkan manusia dari Allah. Ketiga kategori ini merupakan sebuah tangga bertingkat, maka dalam menjalan puasa perlu ada kenaikan tingkat.
Dari sini, dapat dipahami bahwa sejatinya puasa merupakan perpaduan dari latihan disiplin fisik, disiplin moral dan disiplin spritual (Achmad, 2018). Disiplin fisik, akan melakukan pembiasaan sedimikian rupa dari segi pengaturan waktu maupun pola makan dan minum. Disiplin moral, ketika manusia ditahan secara kesuluruhan anggota tubuh dari perbuatan tercela. Sedangkan disiplin spritual, akan terbiasa dengan anjuran ibadah dalam bulan ramadan seperti, membaca al Quran, salat sunnah, infak, zakat dan sedekah.
Dari sini, jelas bahwa ketika seorang berpuasa, ia harus menghindarkan diri dari melakukan perbuatan tercela sehingga membatalkan pahala puasa, termasuk ujaran kebencian. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Puasa itu adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengucapkan ucapan kotor, dan jangan pula bertindak bodoh, jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa,” (HR. Al Bukhari 1904).
Fakta-fakta tersebut memberikan pemahaman bahwa puasa sebenarnya mengajarkan arti toleransi. Dia dituntut untuk tidak berpikir negatif, menjaga lisan, tidak menyakiti orang lain, menghargai hubungan kemanusiaan karena itu dapat membuat ibadah yang sedang dijalankan menjadi sia-sia. Lebih-lebih setelah beberapa waktu lalu terjadi tindakan intoleran aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya (13/5) beberapa waktu lalu, yang dilakukan oleh oknum beragama Islam, yakni keluarga Dita Oepiarto. Ini seharusnya menjadi pelajaran, bahwa sesungguhnya umat Islam sendiri masih kurang memahami bahwa Islam sendiri itu mengajari toleransi.
Lewat perintah puasa, Allah mengajarkan kepada kita bahwa kita harus toleran, dan hindari segala perbuatan yang memicu kerusakan dan pertikaian, seperti dengki, caci maki, serta ucapan-ucapan buruk bernada bohong & kebencian. Karena apabila dilakukan, puasa itu akan menjadi sia-sia.
Lagipula, dilihat dari sudut pandang manapun, Islam merupakan agama yang menentang pertikaian dan permusuhan, serta menjunjung tinggi perdamaian. Tak ayal, Mohammad Abu Nimer dalam tulisannya berjudulConflict Resolution Approaches: Western and Middle Lessons and Possibilities(American Journals of Economics and Sociology; 1996) pernah menuliskan bahwa Islam sebagai agama dan tradisi penuh dengan ajaran dan berbagai kemungkinan penerapan resolusi konflik yang damai.
Fakta sejarah dan budaya masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad diutus juga menunjukkan hal tersebut. Ketika Nabi Muhammad datang ke Madinah, awal mula yang dilakukan adalah pembangunan masjid dan memupuk nilai-nilai persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Lalu, kemudian, Nabi Muhammad melakukan upaya rekonsiliasi konflik antara masyarakat Islam, Yahudi, dan Nasrani dengan pembuatan konsensus Piagam Madinah. Artinya, sejak awal mula Nabi Muhammad di utus membawa misi Islam, nilai-nilai seperti persaudaraan, kesetiaan, dan penghormatan sangat sudah ditekankan dalam hidup berdampingan, meski berbeda suku, ras, dan kelompok.
Oleh karenanya, dalam momentum Ramadan yang merupakan ritual tahunan bagi umat Islam untuk senantiasa meningkatkan kadar ketakwaan dan keimanan, upaya mendakwahkan pentingnya pesan toleran dan damai yang terkandung dalam ajaran Islam harus terus digalakkan. Hal ini agar masyarakat berlaku toleran dan damai, serta tidak ada lagi aksi-aksi yang melegalkan kekerasan dan ujaran kebencian karena klaim pemahaman ajaran agama yang keliru.
Di sisi lain, momentum Ramadan ini juga bisa menjadi sarana tepat dalam upaya melakukan deradikalisasi pola pikir masyarakat yang semakin disesaki dengan doktrin-doktrin ekstrimis yang sedang berkembang saat ini. Bahwa persatuan NKRI, jauh lebih penting daripada tumpah darah. Kita berbeda, untuk bersatu, saling mengasihi dan saling melengkapi, bukan untuk saling membenci satu sama lain. Wallahu a’lam.