Sekolah Damai; Mewujudkan Ekosistem Pendidikan yang Steril Intoleransi dan Radikalisasi

Sekolah Damai; Mewujudkan Ekosistem Pendidikan yang Steril Intoleransi dan Radikalisasi

- in Narasi
471
0
Sekolah Damai; Mewujudkan Ekosistem Pendidikan yang Steril Intoleransi dan Radikalisasi

Menteri Pendidikan Nadiem Makarim pernah menyatakan bahwa ada tiga dosa pendidikan. Yakni perundungan (bullying), kekerasan seksual, dan Intoleransi. Pernyataan itu tentu bukan wujud frustasi, melainkan cerminan dari realitas yang terjadi. Kasus perundungan di sekolah nyaris menjadi cerita klise yang terus berulang dalam pendidikan kita.

Begitu juga kekerasan seksual yang harus diakui masih menjadi problem serius dunia pendidikan kita. Terakhir, persoalan intoleransi yang seolah tidak pernah sepi dari dunia pendidikan kita. Termutakhir, muncul kasus di SMPN 1 Sidodadi, Lamongan Jawa Timur.

Seorang guru Bahasa Inggris membotaki rambut depan sejumlah murid hanya karena tidak mengenakan dalaman jilbab atau ciput. Kasus ini berakhir damai, dan sang guru mendapatkan hukuman administratif. Meski demikian, hal itu tidak menyelesaikan akar persoalan maraknya Intoleransi di lembaga pendidikan kita.

Selain praktik Intoleransi, dunia pendidikan kita juga diwarnai oleh fenomena radikalisasi. Sejumlah riset menunjukkan bahwa banyak anak-anak dan remaja usia SD hingga SMA yang mengalami perubahan pandangan keagamaan dan kebangsaan. Dari yang tadinya terbuka pada perbedaan dan setia pada ideologi bangsa, menjadi pribadi yang eksklusif, dan anti pada konsensus kebangsaan (NKRI, Pancasila, UUD 1945).

Bagaimana Proses Radikalisasi di Dunia Pendidikan?

Proses radikalisasi di kalangan pelajar sekolah terjadi melalui beragam cara dan pintu masuk. Ada pelajar yang mengalami radikalisasi dari komunitas pertemanan, keluarga, kegiatan keagamaan di sekolah seperti rohis, melalui gurunya di sekolah, maupun mengalami self-radicalization alias swa-radikalisasi akibat terpapar propaganda di media sosial.

Tentu menjadi ironis jika lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tumpuan dalam mencetak generasi berkualitas justru dicemari oleh fenomena intoleransi dan radikalisasi. Pendidikan adalah kunci kemajuan sebuah bangsa.

Apalagi dalam konteks Indonesia kita akan menghadapi ledakan bonus demografi. Kunci keberhasilan kita memetik surplus warganegara berusia produktif adalah mempersiapkan sumber daya manusia sejak sekarang. Generasi berkualitas tidak hanya cakap secara intelektual, namun juga memiliki kecerdasan sosial, dan yang terpenting steril dari paparan paham intoleran-radikal.

Dalam konteks inilah urgen kiranya mengelaborasi gagasan sekolah damai sebagaimana dipromosikan oleh sejumlah elemen. Sekolah damai pada dasarnya adalah sekolah yang seluruh kegiatan akademik dan non akademiknya diarahkan atau berorientasi pada menciptakan kesadaran peserta didik tentang pentingnya komitmen anti-kekerasan dalam menyelesaikan persoalan dan membangun budaya damai, baik internal maupun eksternal.

Budaya damai secara internal maksudnya terciptanya suasana harmonis di dalam lingkungan pendidikan sekolah dengan mengembangkan sikap saling menghargai antar kelompok atau individu yang berbeda. Sedangkan budaya damai eksternal maksudnya adalah bahwa anak didik diharapkan mampu menjadi duta damai ketika berada di luar lingkungan sekolahnya.

Sinergi Mewujudkan Sekolah Damai

Upaya mewujudkan sekolah damai ini tentu harus didukung oleh sejumlah hal pokok. Antara lain, pertama kurikulum yang didesain untuk membentuk karakter siswa yang cinta damai dan anti kekerasan. Kurikulum pendidikan idealnya tidak hanya berorientasi pada capaian akademik semata, namun juga fokus pada pembentukan moral dan etika peserta didik.

Kedua, guru-guru yang tidak hanya kompeten, namun juga memiliki kesadaran untuk membimbing siswa dengan penuh kasih sayang. Ini artinya, guru harus menjadi suri tauladan bagi siswa-siswanya dalam hal moral dan etika.

Ketiga, metode pembelajaran yang mendorong siswa berpikir terbuka terhadap perbedaan pandangan. Metode pembelajaran berbasis diskusi dan dialog harus dikembangkan untuk memastikan anak didik terbiasa menyelesaikan perbedaan pandangan melalui komunikasi dan dialog bukan cara kekerasan.

Terakhir, adanya sistem yang memungkinkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan diantara peserta didik yang berbeda identitas baik suku, agama, etnis, warna kulit, dan sejenisnya. Sekolah harus menjadi ruang publik yang menjamin kesehatan dan steril dari praktik diskriminasi apalagi intoleransi.

Di titik ini, penting bagi pihak sekolah untuk mendorong siswa berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan kolaboratif lintas golongan. Dengan begitu, siswa akan menghayati makna multikulturalisme yang sesungguhnya.

Program sekolah damai idealnya tidak hanya menjadi wacana, namun diwujudkan dalam kebijakan nyata. Terlebih belakangan kita melihat bagaimana institusi pendidikan menjadi target utama penyebaran narasi intoleran dan radikal. Upaya menyasar institusi pendidikan sebagai target kampanye radikalisme tentu bukan sebuah kebetulan. Hal itu merupakan bagian dari rencana besar kelompok radikal.

Ketika kelompok radikal berhasil mengakuisisi lembaga pendidikan, maka jalan untuk mengkudeta kekuasaan itu akan terbuka lebar.

Mewujudkan sekolah damai yang steril intoleransi dan radikalisasi tentu tidak bisa dilakukan satu satu pihak saja. Diperlukan sinergi dan kolaborasi antar pihak. Mulai dari pemerintah (pusat dan daerah), sekolah, guru, orang tua murid, murid, dan stakeholder terkait seperti organisasi keagamaan maupun kemasyarakatan.

Facebook Comments