Spirit Kartini bagi Perempuan Masa Kini; Pilar Pendidikan Anti-Radikalisme dalam Keluarga

Spirit Kartini bagi Perempuan Masa Kini; Pilar Pendidikan Anti-Radikalisme dalam Keluarga

- in Narasi
1427
0
Spirit Kartini bagi Perempuan Masa Kini; Pilar Pendidikan Anti-Radikalisme dalam Keluarga

Kita tentu heran dan kaget ketika mendengar keterlibatan perempuan dalam aksi teroris yang dilakukan oleh Zakiah Aini dalam aksinya di Mabes Polri yang disebutLone WolfTerrorism. Namun, ini menunjukkan bahwa perempuan punya potensi kekuatan yang sepadan dengan laki-laki baik berbuat buruk ataupun baik. Bahkan idealnya perempuan sebagai ibu yang merupakan sekolah pertama sudah seharusnya menjadi pilar menanamkan pendidikan anti-radikalisme sejak dini di dalam keluarga.

Berbicara soal perempuan, dalam sejarah nasional tentu kita kenal sosok Raden Ajeng Kartini. Sosok perempuan fenomenal yang terkenal sebagai pejuang emansipasi wanita, terutama dalam hal pendidikan. Kartini merupakan salah satu representasi perempuan yang peduli dan berjuang demi pendidikan. Mengingat saat itu sosok perempuan tidak dianjurkan untuk sekolah tinggi, sehingga banyak perempuan yang tidak sekolah.

Sebenarnya, RA. Kartini bukanlah perempuan Indonesia yang pertama kali mendobrak tradisi diskriminasi gender. Sebelum Kartini, sudah ada beberapa perempuan pemberani yang berusaha mendobrak tradisi tersebut. Hanya saja jalan mereka tidaklah sesukses Kartini. Mereka tidak mempunyai kekuatan, jabatan, pengetahuan, dan skill diplomatis. Mereka hanya memiliki perasaan yang seketika saja terbunuh oleh keadaan. Karenanya, baru seorang Kartinilah yang usahanya mulai punya dampak. Paling tidak, Kartini telah membangkitkan jiwa emansipasi perempuan di negeri ini untuk berjuang terus mengenyam pendidikan.

Masa Kartini telah berlalu cukup lama dan setiap tanggal 21 April kita rajin memperingatinya. Namun, peringatan belumlah cukup untuk mendobrak tradisi diskriminasi gender yang sudah terlanjur berurat akar di masyarakat negeri ini. Subordinasi gender tetap masih marak terjadi, terutama di daerah pedesaan, di mana perempuan dianggap manusia kelas dua setelah laki-laki. Oleh karena itu, melalui momentum hari Kartini inilah, rasanya kita perlu mengambil beberapa pelajaran berharga untuk diinternalisasikan di dalam kehidupan saat ini.

Kartini tidak mengajarkan perempuan untuk lari dari fungsi biologisnya dan perananya di dalam keluarga. Melainkan mengajarkan untuk lebih berharga dan mensyukuri fungsi tersebut. Oleh karena itu, salah jika atas nama emansipasi, lalu perempuan sibuk mengejar karier dan mengabaikan keluarganya. Bagi Kartini perempuan yang berpandangan luas dan cerdas akan lebih mampu membangun keluarga, di antaranya pendidikan anti-radikalisme.

Memang perempuan sekarang ini telah diberi kebebasan untuk mengenyam pendidikan, turut berpolitik, dan memilih jalan hidupnya. Namun, masalah gender dewasa ini tetaplah hadir yang tidak lagi dalam bentuk pembatasan, akan tetapi dalam modus lain seperti image dan pandangan masyarakat tentang perempuan. Apalagi, pasca kejadian teror di Mabes Polri yang melibatkan perempuan. Ini tentunya merupakan contoh buruk kesetaraan gender bidang kejahatan. Padahal seharusnya perempuan malah menjadi bagian penting penanaman pendidikan anti-radikalisme dalam keluarga.

Oleh karena itu, perempuan juga diharapkan mampu mengontrol dirinya. Dalam artian ketika diberi kebebasan. Perempuan hendaknya tidak lupa dengan fungsinya, baik secara biologis maupun sosialnya. Seperti halnya fungsi ibu melahirkan dan menyusui yang merupakan fungsi biologis dan hanya mampu dilakukan oleh perempuan. Begitu juga fungsi sosialnya, seperti menjaga kehormatan atau nama baik serta memperhatikan kesejahteraan keluarganya. Selain fungsi biologis dan sosial, fungsi lainnya juga harus dilakukan secara berimbang di antara laki-laki dan perempuan, sehingga keberadaaan perempuan tidak lagi didiskriminasikan.

Itu semua merupakan tugas serta tanggung jawab kita sebagai insan yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Kita semua harus sadar dan memuliakan posisi perempuan, dimulai dari lingkungan masyarakat terkecil yaitu keluarga dengan menjadikan perempuan sebagai figur yang dihormati peranannya, bukan malah menjadi pelampiasan emosi ataupun kekerasan.

Kalau kesadaran kolektif ini benar-benar dibumikan dalam keluarga maka niscaya akan berdampak positif pada proses pendidikan anak melalui pola pengasuhan yang baik, termasuk dalam hal penguatan pendidikan anti-radikalisme dalam keluarga. Langkah pendidikan keluarga anti-radikalisme ini tentunya akan berguna untuk tahap pendidikan selanjutnya ke arah yang lebih baik. Sudah saatnya perempuan-perempuan masa kini meneladani sosok Kartini, yakni dalam hal peranannya sebagai pilar pendidikan keluarga, termasuk penguat pendidikan anti radikalisme dalam keluarga.

Facebook Comments