Sublimasi Ramadan dan Nyepi untuk Kesejatian diri

Sublimasi Ramadan dan Nyepi untuk Kesejatian diri

- in Narasi
318
0
Sublimasi Ramadan dan Nyepi untuk Kesejatian diri

Saya selalu mengatakan bahwa, segala bentuk pijakan spiritual itu pasti memiliki (sublimasi). Sebab, segala bentuk nilai religiositas pada dasarnya tak pernah stagnan ke dalam wilayah transenden-imanen saja.

Seperti Ramadan dan Nyepi. Kita sebetulnya tak sekadar melihat perbedaan dalam ranah spiritualitas antara keduanya. Tetapi, kita bisa perlu melihat sublimasi nilai yang mendasar di dalamnya. Tentu perannya bagi peradaban sosial di tengah keragaman.

Tentu Saya sepakat bahwa dalam pelataran teologis, setiap agama memiliki prinsip keimanan yang berbeda. Akan tetapi, kalau kita renungkan, antara Ramadan dan Nyepi sebetulnya memiliki titik-temu yang korelatif dalam melahirkan (kesadaran beragama) inklusif tanpa paksaan dan tanpa merasa terbebani.

Misalnya dalam konteks Hari Raya Nyepi bagi umat Hindu. Mereka memiliki satu prinsip bahwa segala keburukan dalam diri sejatinya dapat dibersihkan dengan “keheningan” atau yang kita kenal meditasi. Ini adalah cara umat Hindu dalam menemukan kesejatian diri yang kokoh dan paripurna. Hingga melahirkan keseimbangan antar manusia dan alam.

Nyepi bagi umat Hindu adalah cara seseorang untuk bisa (mengendalikan dirinya). Umat Hindu memilih untuk berpuasa, tidak bepergian ke mana saja, tidak melakukan aktivitas apa-pun dan menjauhi segala keburukan yang bisa mengotori diri. Semua kegiatan spiritual dalam perayaan Hari Raya Nyepi sejatinya untuk menemukan kesadaran, kebenaran dan kesucian diri.

Sedangkan dalam konteks bulan suci Ramadan. Umat Islam selama 30 hari berturut-turut akan melaksanakan ibadah puasa. Diimbangi dengan melaksanakan shalat Tarawih, baca Al-Qur’an dan berbagi kebaikan serta melakukan segala bentuk ibadah lainnya.

Ramadan adalah cara umat Islam belajar menahan segala yang berkaitan dengan ego, hawa nafsu dan segala keburukan yang melekat dalam diri. Puasa akan melatih kita untuk “menahan diri”. Secara orientasi, puasa kita dapat membawa dampak baik dalam kehidupan sosial seperti bisa menjauhi segala bentuk kebencian/sentiment keagamaan karena ego kita yang merasa paling benar.

Seperti Apakah Titik-Temu Ramadan dan Nyepi dalam melahirkan Egalitarianisme Beragama?

Secara orientasi, Ramadan dan Nyepi ini sebetulnya memiliki korelasi/titik-temu yang sangat paradigmatis. Yaitu akan melahirkan satu kesadaran yang kita kenal sebagai (egalitarianisme beragama). Di mana, kesadaran untuk menghargai antar umat beragama, tidak saling mengganggu dan hidup harmonis itu lahir dari (sublimasi religiositas) dalam dua perayaan tersebut.

Sebab, segala bentuk rincian perayaan Nyepi dan Ramadan itu sama-sama mengacu ke dalam bentuk (penyucian/kesadaran/pembentukan) diri yang bersih dari segala keburukan diri. Jadi, Ramadan dan Nyepi tidak sekadar dua jalan spiritualitas yang berbeda, tetapi ada (ruh etis) yang akan membangun spirit saling menghargai di tengah perbedaan itu.

Misalnya, penyucian diri yang dimaksud sebetulnya mengacu ke dalam wilayah ego, hawa nafsu, kebencian dan segala perilaku buruk. Maka, kalau kita pahami keduanya, sejatinya akan membangun yang namanya kejernihan dalam perilaku. Kita akan condong anti-kebencian, tidak mengedepankan ego dan menjauhi segala perilaku buruk dalam konteks beragama.

Karena, segala bentuk intoleransi, kebencian antar umat beragama dan permusuhan mengatasnamakan Iman. Itu mutlak bukan sebagai kebenaran agama tetapi lahir dari ego beragama yang selalu merasa paling benar.

Tentu tidak ada yang namanya sikap intoleransi, kebencian, sikap anarkisme, eksklusivisme dan radikalisme. Jika diri kita tersucikan dari segala problem-akar rumput yang menjadi faktor munculnya hal yang semacam itu. Sebab, (kesadaran diri) kita condong terarah ke dalam pengakuan bahwa kebenaran iman itu bersifat personal dan tidak bisa diklaim secara eksklusif lalu menghakimi umat agama lain.

Maka, di sinilah yang dimaksud sebagai titik-temu Ramadan dan Nyepi dalam melahirkan egalitarianisme beragama. Sebab, dua perayaan keagamaan antar umat Islam dan Kristen sejatinya akan membangun sebuah prinsip etis. Bahwa, menghargai perbedaan, tidak saling mengganggu, menjunjung tinggi toleransi dan hidup dalam persatuan/kebersamaan. Semua prinsip yang semacam itu akan disadari sebagai (kebenaran mutlak) dalam beragama yang harus dijaga.

Facebook Comments