4 Strategi, Mengembangkan Demokrasi Sehat dan Kondusif

4 Strategi, Mengembangkan Demokrasi Sehat dan Kondusif

- in Narasi
413
0
4 Strategi, Mengembangkan Demokrasi Sehat dan Kondusif

Menjelang pesta demokrasi 2024, tampaknya kita perlu belajar dari tahun 2019 yang lalu. Di mana, kita dihadapkan dengan siklus demokrasi yang kurang sehat dan tidak kondusif. Racun politik identitas, sentiment kebencian, intoleransi dan arus pemecah-belah menjadi problem penting yang harus kita sadari.

Maka, dari sinilah pentingnya membangun demokrasi sehat dan kondusif di tahun 2024 ini. Sebagaimana, ada 4 strategi yang dapat kita bangun. Agar, pesta demokrasi kita benar-benar selamat dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan moment penting ini agar terjadi kekacauan.

Pertama, gunakan idealisme berpikir kita dalam memilih pemimpin. Sebagaimana yang kita alami di tahun 2019 yang lalu, kesadaran kita di dalam memilih pemimpin berdasar pada (idealisme diri) tampaknya tertutupi. Berbagai macam sentiment kebencian atas kelompok tertentu telah menutupi cara berpikir kita yang objektif.

Sehingga, kondisi ini melahirkan cara pandang yang sifatnya “terpaksa” kita di dalam memilih pemimpin. Mengikuti arus dan bahkan bersifat pemaksaan diri mengikuti arus kelompok yang dianggap ideal untuk dipilih dengan basis menjatuhkan kelompok lain dengan berbagai fitnah-fitnah. Kondisi ini sangat mematikan kebebasan kita di dalam memilih.

Maka, ketika pihak yang ditonjolkan itu kalah secara suara, di situlah ada berbagai macam fitnah kecurangan. Agar, bangsa ini terjadi perpecahan, kekacauan dan bahkan melakukan aksi-aksi demo anarkisme yang menyebabkan bangsa ini berada dalam siklus kehancuran. Inilah yang harus kita pikirkan dan pentingnya menguatkan idealisme berpikir tentang pemimpin itu.

Kedua, jangan teperdaya oleh standarisasi identitas tertentu dalam memilih. Seperti menjelang tahun politik 2024 ini, tampaknya mulai terasa munculnya “standarisasi” kelompok tertentu yang dianggap layak dipilih. Kekuatan ini semakin membawa satu pandangan bahwa pihak inilah yang dianggap pantas memimpin bangsa.

Realitas tentang standarisasi identitas tertentu sebagai kelompok yang layak memimpin bangsa ini bukan berpijak pada penilaian objektif. Melainkan membangun arus sentiment identitas, fitnah tentang identitas tertentu dan terjebak ke dalam sikap menjelek-jelekkan pihak tertentu agar identitas primordial yang dimiliki semakin unggul.

Maka, untuk kita bisa terhindar dari virus yang semacam ini, perlu adanya jalan kesadaran kita untuk menjauhi segala yang berkaitan dengan standarisasi yang semacam itu. Sebab, hal ini akan sangat berdampak besar atas kebebasan kita di dalam milih dan ini akan condong membawa dampak perpecahan.

Ketiga, agama tidak memiliki wakil calon tunggal yang dianggap layak untuk dipilih. Mengapa? karena agama tidak membangun acuan-acuan siapa yang harus dipilih melainkan melihat (kualitas-kuantitas) siapa-pun yang layak untuk dipilih. Dari sinilah mengapa kita harus menjauhi segala macam politik agama yang menganggap kelompok tertentu layak dipilih karena dianggap representasi agama.

Politik agama yang semacam ini sering-kali dimanfaatkan dengan menanam narasi-narasi intoleransi. Fitnah-fitnah yang dibangun tentang sentiment keagamaan. Menganggap bangsa ini akan adil jika dipimpin oleh kelompok yang dianggap merepresentasikan agama. Bahkan dianggap pilihan agama.

Dari sinilah mengapa kita harus menjauhi pandangan-pandangan yang semacam ini. Karena, agama tidak pernah menunjuk siapa yang akan dipilih. Melainkan agama mengajarkan kita cara memilih pemimpin berdasarkan kinerja, kualitas dan kemampuannya dalam memimpin. Maka, jauhilah politik agama itu.

Ketiga, hindari politik uang. Politik uang tampaknya masih menjadi penyakit yang terus mengakar di negeri ini. Utamanya di tingkat lokal yang masih membangun standar kekuatan untuk dipilih dengan memberi uang. Mengapa kita harus menghindari politik uang?

Cobalah kita sadari, bahwa politik uang pada dasarnya telah merepresentasikan bahwa sosok yang akan dipilih itu mencerminkan perilaku yang kurang etis. Membeli hak suara kita dengan uang dan mereka akan jauh lebih mudah “kembali modal” yang secara otomatis kita telah diuntungkan dari perilaku yang semacam itu.

Politik uang pada dasarnya mengacu ke dalam perilaku memilih sosok pemimpin yang jelas-jelas akan korupsi. Jadi, tidak perlu komplain jika seandainya jalan-jalan di Desa kita mengalami kerusakan yang parah. Mengapa? karena kita telah memilih pemimpin yang korup. Maka, hindarilah politik uang yang membuat demokrasi kita tidak akan sehat.

Facebook Comments