Peringatan Hari Pancasila pada 1 Juni lalu terasa lebih istimewa. Di mana, pada saat bersamaan, sebanyak 76 warga binaan kasus terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Gunung Sindur menyatakan ikrar setianya kepada NKRI dan Pancasila. Di satu sisi, ini adalah kabar menggembirakan yang bisa diklaim sebagai bentuk keberhasilan dari program deradikalisasi napi terorisme. Namun, di sisi lain, kita tidak pernah benar-benar tahu apakah mereka benar-benar setia kepada NKRI dan Pancasila. Bisa jadi, semua itu hanyalah siasat atau ikrar palsu yang dilakukan oleh napi terorisme untuk mengelabui penegak hukum.
Sebagai bentuk kewaspadaan, kecurigaan ini kiranya tidak terlalu berlebihan. Pertama, mereka adalah kelompok dengan ideologi militan yang sangat kuat. Yang rasanya tidak mungkin bisa dirubah dalam waktu yang singkat. Mereka adalah orang-orang yang rela dan berani mati demi menegakkan keyakinan yang mereka pegang. Lalu, mungkinkah mereka bisa merubah keyakinan ideologis mereka dalam kurun waktu hanya beberapa tahun?
Kedua, secara garis waktu, mereka melakukan ikrar setia tepat saat mereka masih berada dalam tahanan. Masa-masa di mana mereka berada dalam tekanan. Bukan dalam masa kebebasan di mana mereka bebas menentukan pilihannya sendiri. Karena itu, ikrar setia yang mereka lakukan masih mengandung sejumlah pertanyaan. Apakah ikrar itu benar-benar datang dari kesadaran diri dan lubuk hati terdalam atau sekadar siasat untuk mendapatkan keringanan sehingga bisa segera lepas dari tahanan dan memulai aksinya lagi ketika telah dibebaskan.
Namun, kita juga tidak menutup mata bahwa banyak di antara mereka yang benar-benar setia kepada NKRI dan Pancasiladan bersedia meninggalkan paham radikal yang selama ini mereka yakini dan mereka perjuangkan dengan memperuhkan nyawa. Namun, sebagai bentuk kewaspadaan, maka tak ada salahnya bagi kita untuk sedikit menaruh kecurigaan dengan tetap melakukan deradikalisasi lanjutan meski mereka telah menyudahi masa tahanannya.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republika Indonesia (BNPT RI) , sepanjang 2010-2022, tercatat ada 116 eks napi terorisme yang kembali pada keyakinan lamanya dan kembali melakukan aksi teror setelah ke luar dari penjara. Ini adalah bukti bahwa penahanan dan deradikalisasi yang dilakukan kepada para waga binaan masih belum berhasil sepenuhnya. Termasuk ikrar setia mereka kepada NKRI dan Pancasila yang mereka lakukan.
Data itu memperlihatkan, bahwa militansi ideologis yang mereka miliki tak pupus meski sudah diproses secara hukum dan sudah melalui sejumlah program deradikalisasi pada waktu menjadi warga binaan. Karena itu, hal ini penting diketahui para penegak hukum. Bahwa ikrar setia napi terorisme kepada NKRI dan Pancasila bisa dikatakan bukanlah akhir dari keyakinan ideologis mereka. Bisa jadi, ikrar itu hanyalah bentuk siasat dan taktik gerakan saja.
Meski, misalnya, ikrar setia itu bukan ikrar palsu, namun bukankah ikrar itu juga bukanlah penjamin bahwa benih-benih ideologis yang ada dalam diri mereka itu bisa berakhir secara keseluruhan? Sebagai penyakit ideologis, radikalisme bisa kembali bangkit dalam diri individu, meski si individu baru disembuhkan dari penyakit ideologis semacam itu.
Urgensi Deradikalisasi Berkelanjutan
Karena itu, penegak hukum tidak boleh lengah dengan ikrar setia para napi terorisme itu. Meski mereka sudah mengaku setia kepada NKRI dan Pancasila, deradikalisasi mesti terus dilakukan untuk memastikan bahwa mereka benar-benar telah berpaling dari keyakinan ideologis yang salah. Caranya, adalah dengan tidak melepaskan mereka dari kamera pengawasan. Di sisi lain, aparat penegak hukum juga bisa menggandeng lembaga-lembaga terkait untuk mempercepat rehabilitasi ideologis yang dilakukan. Selain itu, jika sang warga binaan telah bebas dari penjara, komunikasi dengan pihak keluarga juga sangat penting di lakukan. Hal itu sebagai bentuk pengawasan apakah si napi telah berubah total atau hanya sedang beristirahat sejenak sebelum kembali melakukan ak