Islam Bahrawi : Belajar dari Negara Penuh Konflik dan Perang Saudara, Indonesia Harusnya Bersyukur Mempunyai Pancasila

Islam Bahrawi : Belajar dari Negara Penuh Konflik dan Perang Saudara, Indonesia Harusnya Bersyukur Mempunyai Pancasila

- in Wawancara
492
0

Juni telah dicanangkan sebagai Bulan Pancasila sebagai momentum peringatan lahirnya Pancasila pada 1 Juni. Di tengah peringatan tersebut, muncul propaganda dari kelompok radikal tentang kegagalan pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Kegagalan itu bersumber dari faktor fundamental, yakni Pancasila. Mereka menganggap Pancasila dan sistem bernegara ini mendorong lahirnya korupsi, kemiskinan dan langgengnya oligarki di Indonesia. Apabila dilihat secara mendalam, propaganda kegagalan Pancasila ini akan berujung pada satu tawaran solusi, yakni khilafah. Bagaimana menanggapi hal tersebut?

Pada kesempatan ini, Redaktur Pusat Media Damai (PMD) mewawancarai salah satu tokoh yang sangat getol mengkampanyekan cara pandangan moderasi dalam beragama dan bernegara, Islah Bahrawi. Cak Islah begitu panggilan akrabnya merupakan Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia sekaligus Tenaga Ahli Direktorat Pencegahan Densus 88 serta dikenal aktivis media sosia.

PMD : Apa sesungguhnya makna peringatan Hari Lahir Pancasila bagi bangsa ini?

Islah : Hari kelahiran Pancasila ini adalah sesuatu yang harus diingat oleh setiap bangsa Indonesia bahwa Indonesia sebagai negara yang tidak masuk akal ini, itu bisa terselamatkan kemajemukannya oleh Pancasila. Kalau kita mengaca ke negara-negara Arab, misalnya yang bisa dikatakan satu suku, satu bahasa, satu hamparan, satu daratan, tapi ternyata mereka tidak bisa berhimpun dalam satu negara yang utuh. Mereka terpecah belah menjadi negara-negara kecil-kecil akibat mereka tidak bisa bersatu dalam satu konsep tunggal seperti yang dilakukan oleh Indonesia.

Hari kelahiran Pancasila itu harus diingat oleh seluruh bangsa Indonesia agar seluruh bangsa Indonesia juga sadar bahwa Pancasila ini adalah pemersatu bangsa sebagai falsafah dasar negara. Oleh karena itu hari kelahiran ini menjadi penting karena kalau orang sudah lupa tentang hari kelahiran itu biasanya akan lupa terhadap orangnya biasanya. Meskipun itu juga tidak bisa dijadikan sebagai satu kata kunci yang baku, tapi pada artian falsafah negara, kalau orang sudah lupa terhadap hari lahir falsafah dasarnya, atau orang satu warga negara yang sudah lupa terhadap hari kemerdekaan negaranya, ini kan artinya kecintaan terhadap negara atau kecintaan terhadap falsafah dasar negara itu akan luntur. Ini yang harus kita tanamkan, yang harus kita sadari bahwa hari kelahiran Pancasila itu adalah titik awal bersatunya seluruh bangsa Indonesia dengan segala kemajemukannya ini.

PMD : dalam konteks kekinian, Pancasila yang lahir pada masa lalu, apakah masih dianggap relevan mengatasi problem kebangsaan ?

Islah : Tentu saja, Pancasila ini masih sangat relevan untuk dijadikan sebagai falsafah dasar, ideologi negara, dan sebagainya. Filosofi grondslag, kalau bahasa Belandanya. Nah, ini kan memang kalau kita mengacu kepada negara-negara yang sedang berkonflik hari ini, di manapun di Afrika, di Asia Selatan, atau di Timur Tengah, atau di Amerika Selatan, karena mereka memang tidak punya satu konsep tunggal, satu kesepakatan bersama, yang kemudian mengikat semua warga negara di satu negara itu untuk saling menghargai harga dan martabatnya tanpa harus melihat latar belakangnya. Seperti halnya yang mengatur secara detil, seperti halnya Pancasila ini, mereka memang tidak punya.

Coba perhatikan misalnya, negara-negara seperti Suria, Libya, atau negara-negara seperti Somalia, Nigeria, atau negara seperti Afghanistan, Pakistan ini kan tidak memiliki satu bejana bersama yang kemudian mengatur semua orang yang berbeda-beda itu dengan satu konsep hak dan kewajiban yang sama misalnya. Dan detil seperti Pancasila yang mengatur mulai dari konsep ketuhanan sampai konsep berkeadilan, itu semuanya diatur. Di negara-negara yang hari ini sedang bertikai, sedang terlibat dalam konflik perang sipil, atau negara-negara yang terpecah belah seperti Yugoslavia yang bertahan ratusan tahun, tapi hari ini menjadi negara kecil-kecil, menjadi 7 negara pecahan, ini kan sebenarnya memang tidak punya falsafah dasar yang sanggup mengikat dari semua orang yang berbeda. Pancasila memiliki itu, komplit, menurut saya sangat sempurna sebagai sebuah buatan manusia karena terbukti sudah hampir 80 tahun ini Indonesia masih tetap utuh menjadi satu kesatuan negara yang berintegritas dan berkedaulatan.

Nah, kita perhatikan misalnya ketika saya ditanya oleh pemerintahan Somalia misalnya, saya selalu mengatakan salah satu kegagalan dari Somalia adalah ketika baru merdeka dia tidak menciptakan seperti halnya Pancasila. Pancasila ini kan jelas di negara kita, bisa membedakan antara konsep-konsep beragama dan konsep bernegara. Tapi dua-duanya ini, dua hal yang berbeda ini disatukan oleh satu pasal di dalam Pancasila yang disebut Pancasila, sila pertama ketuhanan yang Maha Esa. Nah, ini kan yang menyatukan itu antara negara dan agama, sementara di dalam agama ini kan berbeda-beda. Di dalam negara pun berbeda-beda, kita kalau ke setiap provinsi kan ada perda-perda yang berbeda antara provinsi yang satu dengan yang lain. Sementara di agama juga berbeda-beda keimanan, berbeda-beda aturan antara syariah dan hukum-hukum di dalam agama Kristen berbeda. Nah, ini disatukan oleh satu konsep antara kehidupan bernegara dan kehidupan beragama dengan ketuhanan yang Maha Esa. Nah, ini yang harus kita pahami bahwa Pancasila ini masih merupakan satu relevansi yang sangat mengikat sebagai ideologi negara.

PMD : Ada kelompok yang masih memperjuangkan ideologi lain dalam bernegara, misalnya kelompok khilafah, kenapa ini selalu muncul?

Islah : Untuk fenomena kebangkitan, keinginan orang Indonesia untuk kembali kepada ideologi khilafah ini, karena kita memang telat sadar sebenarnya bahwa ideologi transnasional ini, dulu kita sepelekan pada zaman pemerintahan SBY selama 10 tahun, HTI justru diberikan ruang, dilegalisasi, mereka mendeklarasikan berdirinya HTI tahun 2007 di GBK, dan ketika ruang politik memberikan semua itu kepada kelompok-kelompok pengusung ideologi transnasional, maka selesailah semua. Mereka merasa punya legalitas untuk bergerak baik di atas permukaan atau di bawah permukaan.

Nah ini kita kemudian telat sadar bahwa sebenarnya secara diam-diam sudah banyak orang yang sudah terinfiltrasi oleh pemahaman ini. Makanya saya sering membahasakan seperti ini menganalogikan bahwa pada zaman SBY, kelompok-kelompok pengusung ideologi transnasional ini, kelompok-kelompok kanan maupun kiri ini, seolah-olah disemai oleh Pak SBY pada masa pemerintahannya. Hari ini sudah menjadi hutan lebat, seberapa banyak kita harus bersaing dengan tumbuhnya pohon-pohon radikalisme itu, dengan kita yang selalu melakukan ground clearing ini, sementara hutan sudah terlanjur lebat dan sudah terhampar luas. Nah ini yang menjadi persoalan.

Hari ini kita mungkin menjadi satu kerikil dalam sepatu kelompok-kelompok radikal seperti ini, karena ternyata mereka bisa mempengaruhi masyarakat. Sementara kita juga bersuara di tataran media mainstream maupun media sosial atau terjun langsung ke lapangan, mereka juga melakukan hal yang sama. Artinya kita tidak pernah menjadi leading, menjadi pemimpin di dalam setiap tikungan perlombaan ini, karena gini, dulu zaman Pak SBY tidak ada yang mau bergerak, sementara gerakan-gerakan kelompok radikal ini sudah terlanjur mendapatkan ruangnya. Hari ini ketika kita bergerak, mereka juga melakukan pergerakan yang sama, sehingga kita masih defisit dalam kontra radikalisme ini.

PMD : lalu, apa yang harus dilakukan untuk membendung gerakan anti Pancasila dengan mengatasnamakan agama seperti gerakan khilafah itu?

Islah : Nah oleh karena itu, ya ini adalah tugas bersama, perlu kehadiran negara baik secara normatif maupun secara kontra naratif ya. Ini harus ada, negara harus hadir. Kalau negara tidak hadir, maka akhirnya menyerahkan persoalan yang sangat rumit dan persoalan yang tidak sederhana ini, kemudian harus diserahkan kepada masyarakat. Sementara yang bisa melakukan tindakan preventive strike dan coercive strike itu hanya negara. Kalau masyarakat hanya bisa melakukan tindakan-tindakan yang bersifat preemptive. Nah oleh karena itu, saya juga menyayangkan kalau negara tidak ikut campur dalam persoalan radikalisme, khilafah dan sebagainya ini.

Padahal jelas-jelas kalau secara logika tidak ada satu pun negara yang menggunakan sistem khilafah ini. Bahkan Afghanistan yang merasa bangga dikuasa oleh Taliban dan mengatakan ini adalah daulah khilafah pertama di bumi yang akan memakmurkan dunia dengan kehalifahan Islam dan khilafah Islam dan sebagainya itu, ternyata compang camping juga hari ini. Mereka juga tidak lepas dari konflik internal dan sebagainya. Nah ini kan sebenarnya harus menjadi pelajaran bagi kita rakyat Indonesia bahwa orang-orang yang terpaku khilafah ini kenapa sih tidak mau belajar menggunakan logika dan membuka matanya bahwa negara di dunia ini sudah tidak peduli dengan khilafah. Nah untuk menyampaikan ini saja kita masih kekurangan orang untuk bergerak di mana-mana.

Itulah mengapa tugas ini bukan hanya tugas masyarakat, ini juga menjadi tugas negara untuk hadir, mencerahkan kepada masyarakat dan memberikan penguatan kepada siapapun yang moderat yang mau bergerak pada tataran-tataran akar rumput terutama atau ke dunia pendidikan karena kalau kita pahami bahwa gerakan-gerakan pengusung khilafah ini bergeraknya pada tataran akademis karena mereka targetnya adalah membentuk agen-agen perubahan, mereka ingin membangun toliah-toliah, mereka melakukan kaderisasi dan rekrutmen terhadap kelompok-kelompok intelektual karena kelompok intelektual ini punya kemampuan untuk mempengaruhi orang lain yang jauh lebih banyak.

DI sinilah kita harus melakukan kontra-radikalismenya, tapi negara selama ini ngapain? Nggak ada. Regulasinya apa? Tidak ada. Tidak memperpanjang izin HTI atau EPI itu bukan satu tindakan mitigasi yang sifatnya panjang. Ini hanya memutus ekor tapi badannya dan kepalanya masih seliuran ke mana-mana. Nah ini yang harus kita perhatikan bahwa negara harus turun tangan penuh. Kalau tidak, kalau negara gagal menyelesaikan persoalan radikalisme hari ini, ini sama seperti mewariskan konflik kepada generasi masa depan. Ini sama seperti mimpi tentang generasi emas 2045 itu juga tidak akan tercapai. Kalau negara hari ini lalai terhadap kelompok-kelompok radikalisme, pengusung khilafah, pengusung pan islamisme dan sebagainya. Itu saja mas Reza. Terima kasih.

Facebook Comments