Perusakan Makam Kristen di Bantul, Normalisasi Kebencian yang Terlembaga?

Perusakan Makam Kristen di Bantul, Normalisasi Kebencian yang Terlembaga?

- in Faktual
7
0
Perusakan Makam Kristen di Bantul, Normalisasi Kebencian yang Terlembaga?

Sebuah insiden yang diduga bakal menambah daftar panjang intoleransi terjadi lagi belum lama ini. Sebanyak 10 nisan makam dari jenazah yang beridentitas Nasrani berlambang salib dirusak, tepatnya di Makam Ngentak RT 10 Baturetno Banguntapan, Bantul, Yogyakarta pada rentang Sabtu malam hingga Minggu dinihari, 17-18 Mei (Tempo, 2025).

Sebelum, insiden perusakan makam Kristen sudah terjadi di Yogyakarta. Pada Sabtu, 6 April 2019, sejumlah kayu salib yang tertancap di kompleks makam Bethesda Mrican, Jalan Gejayan, Sleman, Yogyakarta, dicabuti dan coba dibakar oleh orang tak dikenal.

Pada Desember 2018 silam, sebuah makam dari jenazah umat Katolik, Albertus Slamet Sugiardi, di pemakaman Jambon RT 53 RW 13 Kelurahan Purbayan, Kotagede Yogyakarta menjadi sorotan. Nisan berbentuk tanda salib yang menancap di pusara Slamet dalam kondisi terpotong bagian atasnya sehingga hanya membentuk seperti huruf ‘T’.

Sulit untuk mengatakan bahwa tragedi itu bukan gejala intoleransi. Praktis, semua makam yang dirusak adalah makam yang terpasang atribut-atribut Kristen. Dalam kasus 2018 silam itu, dikabarkan masyarakat sekitar tak ingin ada tanda agama Katolik karena mereka ingin menjadikan komplek pemakaman khusus Muslim. Mereka juga meminta makam Katolik dibuat di pinggir pemakaman.

Mengapa terus terulang?

Ada dua spekulasi mengenai motif bagaimana perusakan makam tersebut bisa terjadi. Pertama, normalisasi kebencian yang terlembaga. Kedua, para pelaku perusakan tersebut secara sadar diri merusak makam karena mereka yakin itulah yang seharusnya mereka lakukan. Kedua skenario ini sama-sama berbahaya, tapi mari kita ukur dampak selanjutnya dari masing-masing itu.

Pertama, karena normalisasi kebencian yang ekstrem pada sebuah kelompok. Ketika kelompok tertentu, dalam hal ini sebagian umat Islam di Yogyakarta, mulai menganggap bahwa simbol-simbol agama Kristen di area pemakaman mereka adalah sebuah “ancaman” terhadap identitas agama dan budaya mereka, proses ini perlahan menciptakan sebuah norma sosial yang menganggap bahwa tindakan perusakan simbol agama lain adalah sesuatu yang dapat diterima.

Kabar buruknya, kultur ini bisa jadi turut “dipelihara” oleh state actor dalam level terkecil, misalnya para perangkat desa atau ketua RT/RW di lingkup terkecil. Hal ini terjadi ketika kebencian terhadap simbol atau kelompok agama tertentu dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan dapat diterima, sehingga tidak lagi dipandang sebagai tindakan yang ekstrem atau ilegal.

Perlu dicatat, kebencian ini bukan warisan, melainkan konstruksi sosial. Proses normalisasi kebencian biasanya terjadi secara bertahap, dimulai dari tindakan-tindakan kecil yang mungkin pada awalnya dipandang remeh, seperti tidak terbuka terhadap pandangan lain, hingga pada tahap institusional seperti lahirnya perda-perda diskriminatif di sebuah daerah.

Tetapi perda ini nyaris selalu berbanding lurus dengan persepsi masyarakat yang tinggal di sana. Artinya, kebijakan dan afirmasi state actor secara alam bawah sadar akan sangat bergantung pada kultur sosial warga terhadao suatu identitas tertentu. Ini adalah “normalisasi kebencian terlembaga” yang dimaksud.

Tetapi rupanya ada yang lebih mengerikan. Yaitu skenario kedua. Skenario ini menggambarkan bahwa perusakan makam ini dilakukan oleh individu yang secara sadar merusak makam karena mereka meyakini bahwa itu adalah hal yang benar atau sah untuk dilakukan.

Dalam hal ini, pelaku perusakan bukan hanya melakukannya sebagai respons terhadap kebencian yang telah terbentuk dalam masyarakat, tetapi mereka percaya dengan teguh bahwa tindakan tersebut adalah kewajiban atau tindakan yang benar berdasarkan pemahaman mereka tentang agama atau ideologi tertentu.

Tindakan ini jauh lebih berbahaya. Ketika individu melakukan perusakan berdasarkan keyakinan pribadi yang kuat, mereka merasa bertanggung jawab secara moral atau religius untuk melakukan tindakan tersebut.

Hal ini dapat terjadi ketika kelompok tertentu, dalam hal ini bisa jadi kelompok yang merasa dominan secara agama atau budaya, membentuk sebuah ideologi yang menganggap bahwa menghancurkan simbol agama lain adalah bentuk pembelaan terhadap kepercayaan mereka sendiri.

Tindakan yang dilakukan secara sadar ini menciptakan ancaman yang lebih besar karena akan membawa dampak jangka panjang yang sangat merusak. Jika banyak individu mulai merasakan hal yang sama dan merasa bahwa mereka bertanggung jawab untuk melakukan tindakan kekerasan atau perusakan demi mempertahankan keyakinan mereka, maka itu akan menegaskan skenario pertama tadi.

Jika dibiarkan, ini bisa mengarah pada konflik terbuka antar kelompok agama atau kelompok sosial yang berbeda, yang pada gilirannya mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Paham radikal teroris dan intoleran tidak mengenal batas geografis. Karena itu, kita perlu mengecek tetangga kita, teman dan kerabat kita, apakah ada perilaku-perilaku ganjil seperti sering menghakimi orang lain atau bahkan menjelek-jelekkan agama lain. Sumbu-sumbu kecil ini harus diawasi agar tidak menyulut api benturan sosial kelak di masa yang akan datang.

Facebook Comments