“Satu ons praktik lebih berharga daripada berton-ton khotbah,” demikian pernah diungkapkan oleh Mahatma Gandhi. Kutipan ini dengan tajam menyentil sebuah fenomena yang kerap kita saksikan: kualitas beragama seringkali diukur dari frekuensi ritual, padahal esensinya terletak pada kedalaman internalisasi nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari.
Keadilan, kejujuran, keberanian bersuara, semangat gotong royong, dan amanah adalah inti yang seharusnya membentuk karakter. Namun, pertanyaan mendasar muncul: sejauh mana idealisme ini benar-benar membumi, ataukah ia hanya menjadi retorika kosong?
Sejarah Indonesia tak terlepas dari peran agama. Pemuka agama dari berbagai latar belakang sering digambarkan sebagai sokoguru moral dan pejuang kemerdekaan, dengan lembaga pendidikan berbasis agama turut andil dalam mencerdaskan bangsa. Akan tetapi, sejarah juga mencatat bagaimana tafsir agama terkadang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan opresif atau bahkan memicu perpecahan ketika nasionalisme yang diusung bersifat eksklusif, mengatasnamakan satu identitas agama di atas yang lain. Penting untuk bersikap kritis, apakah “kecintaan terhadap tanah air” yang diajarkan senantiasa inklusif, atau justru terjebak dalam sentimen primordial sempit, mengingat “bangsa” itu sendiri adalah sebuah “komunitas terbayang” yang pembentukannya melibatkan negosiasi kompleks.
Dorongan agama untuk “berlomba-lomba dalam kebajikan” (fastabiqul khairat) secara konseptual memang indah, melahirkan filantropi, gerakan sosial, hingga kampanye lingkungan. Dalam ranah ekonomi, etika agama, khususnya Islam dengan prinsip keadilan dan larangan riba, menginspirasi lahirnya sistem ekonomi syariah. Perbankan syariah, sukuk, serta optimalisasi zakat dan wakaf adalah manifestasinya.
Namun, pertanyaan kritis tetap relevan: apakah instrumen-instrumen ini sungguh-sungguh menjadi antitesis kapitalisme predatoris, ataukah hanya sekadar “label halal” pada praktik yang substansinya tak jauh berbeda? Sejauh mana prinsip keadilan ini meresap ketika ketimpangan ekonomi justru kian menganga, bahkan di tengah semaraknya lembaga keuangan berlabel agama? Apakah semangat tolong-menolong telah menyentuh akar masalah struktural, atau masih sebatas karitas sementara?
Agama, tak dipungkiri, menawarkan oase spiritual, ketenangan batin, dan landasan moral. Pembangunan sumber daya manusia berkualitas mensyaratkan kematangan moral-spiritual di samping intelektual, melahirkan harapan akan sinergi antara “kesalehan individual” yang notabene berhubungan dengan Tuhan dan “kesalehan sosial”. Di sinilah letak kerapuhannya.
Seringkali kita menyaksikan individu yang tampak khusyuk dalam ritual personalnya, namun abai, bahkan korup, dalam tanggung jawab sosialnya. Kesalehan sosial sejati, yang melampaui batas privat dan menebar manfaat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin), kerap kandas di hadapan pragmatisme dan kepentingan sesaat. Pandangan yang mereduksi agama menjadi urusan bilik pribadi dan ritual semata justru sering dilanggengkan oleh pihak yang ingin memisahkan agama dari tanggung jawab publik dan kritik sosial. Ini yang dimaksud dengan syahwat khafii dalam hikmah pertama pada kitab Hikam Ibnu Athaillah.
Di tengah pusaran modernitas dan fragmentasi postmodern, tantangan ini semakin akut. Konsumerisme dan materialisme menjadi berhala baru yang menggerogoti nilai kesederhanaan. Serbuan informasi dangkal dari “media baru” melahirkan pemahaman agama yang instan, parsial, dan lebih mementingkan tampilan daripada substansi. Era “pasca-kebenaran” ini menyaksikan bagaimana otoritas keilmuan agama tradisional digugat oleh figur instan seperti “ustad seleb” atau “influencer religius” yang modal utamanya adalah retorika dan citra.
Puncak ironi yang paling mengkhawatirkan adalah fenomena orang yang dianngap alim berlaku dzalim. Ketika penampilan religius—janggut, jilbab, peci, untaian tasbih, atau kutipan ayat suci—menjadi kamuflase untuk perilaku amoral, korupsi, penipuan, bahkan kekerasan. Ini bukan lagi sekadar kegagalan mencapai kualitas beragama yang sejati, melainkan sebuah pengkhianatan terhadap esensi agama itu sendiri. Agama, yang seharusnya menjadi sumber etika dan moralitas, justru dibajak menjadi alat untuk menipu dan melegitimasi kebatilan.
Oleh karena itu, narasi tentang “kualitas beragama sebagai sokoguru pembangunan peradaban bangsa” perlu kita sikapi dengan kacamata yang lebih kritis dan skeptis. Tanpa refleksi yang terus-menerus, tanpa keberanian untuk membongkar hipokrisi internal, dan tanpa kesediaan untuk mengakui bahwa agama dapat disalahgunakan sebesar potensinya untuk kebaikan, maka “peradaban” yang kita bangun hanyalah fasad megah dengan fondasi keropos.
Agama yang hidup adalah agama yang gelisah, yang terus-menerus bertanya dan mengkritik dirinya sendiri, bukan agama yang mapan dalam zona nyaman ritual dan simbol semata. Sebab, peradaban sejati tidak diukur dari semaraknya rumah ibadah, melainkan dari tegaknya keadilan dan meratanya kemaslahatan bagi semua, tanpa kecuali. Dan itu, seringkali, adalah jalan sunyi yang tak banyak dilalui.