Fenomena populisme agama tengah menjadi tantangan serius bagi demokrasi modern, termasuk di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, wacana politik yang mengatasnamakan agama sering dimanfaatkan untuk membangun solidaritas identitas, menggiring emosi publik, dan menyerang kelompok lain yang dianggap “musuh iman”. Salah satu bentuk paling ekstrem dari populisme agama adalah munculnya ideologi khilafah, yang menjanjikan sistem pemerintahan tunggal berbasis agama sebagai solusi atas segala persoalan bangsa.
Padahal, jika dicermati lebih dalam, populisme agama dan ideologi khilafah sama-sama berakar pada problem kepercayaan publik terhadap sistem politik yang ada. Ketika rakyat kehilangan keyakinan terhadap elite yang korup, sistem ekonomi yang timpang, dan institusi yang tidak adil, narasi alternatif berbasis agama menjadi sangat menggoda. Di titik inilah populisme agama tumbuh subur: ia menawarkan “kesucian” di tengah korupsi moral politik, dan “persaudaraan” di tengah individualisme sosial.
Populisme Agama: Politik Identitas atas Nama Iman
Populisme agama bekerja dengan logika sederhana: membagi dunia menjadi dua kubu — “umat yang saleh” versus “penguasa yang zalim” atau “musuh agama”. Ia mengklaim diri sebagai pembawa suara rakyat dan moralitas agama yang sejati, padahal di baliknya sering tersembunyi agenda politik yang manipulatif.
Menurut Cas Mudde, salah satu pakar populisme, populisme adalah “ideologi tipis” (thin-centered ideology), artinya ia tidak berdiri sendiri, tetapi selalu menempel pada ideologi lain — bisa nasionalisme, sosialisme, bahkan agama. Dalam konteks Islam politik, populisme agama menempel pada simbol dan bahasa keagamaan untuk menjustifikasi klaim politiknya.
Di Indonesia, populisme agama menemukan momentumnya ketika isu moral dan keagamaan dikapitalisasi dalam arena politik elektoral. Tagar, slogan, dan gerakan berbasis emosi religius menjadi alat mobilisasi massa. Padahal, substansi agama yang sejati — seperti kejujuran, keadilan, dan kasih sayang — seringkali justru diabaikan. Agama direduksi menjadi alat retorika, bukan sumber etika.
Ideologi Khilafah: Utopia dan Ancaman
Dari rahim populisme agama inilah ideologi khilafah menemukan panggungnya. Ideologi ini mengklaim diri sebagai jalan keluar dari krisis moral dan politik modern. Dengan mengusung konsep pemerintahan tunggal umat Islam di seluruh dunia, para pengusung khilafah menawarkan janji keadilan universal yang menggiurkan.
Namun, problem mendasar dari ideologi khilafah adalah sifat utopis dan ahistorisnya. Ia mengabaikan fakta bahwa dunia Islam tidak pernah homogen, dan sejarah kekhalifahan sendiri penuh dengan konflik, perebutan kekuasaan, dan fragmentasi politik. Lebih dari itu, gagasan khilafah modern menolak prinsip kebangsaan dan demokrasi yang menjadi konsensus global pasca-perang dunia.
Dalam konteks Indonesia, ideologi khilafah jelas bertentangan dengan dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Pancasila telah menjadi titik temu antara agama dan kebangsaan — menjamin kebebasan beragama tanpa harus meniadakan keberagaman. Dengan kata lain, Islam Indonesia tidak perlu meniru sistem politik Timur Tengah, karena ia telah menemukan bentuknya sendiri dalam harmoni antara iman dan nasionalisme.
Bahaya Emosi Politik dan Manipulasi Agama
Salah satu kekuatan sekaligus bahaya populisme agama terletak pada kemampuannya memainkan politics of emotion — politik emosi. Ia membangkitkan kemarahan kolektif terhadap elite, menumbuhkan rasa benci terhadap kelompok lain, dan menanamkan rasa takut kehilangan identitas agama. Padahal, seperti diingatkan Martha Nussbaum, emosi dalam politik harus diarahkan secara konstruktif, bukan destruktif. Emosi religius seperti cinta, empati, dan rasa keadilan seharusnya menjadi bahan bakar etika publik, bukan alat untuk memecah belah bangsa.
Populisme agama justru sering memelihara fear and anger politics — politik ketakutan dan kemarahan — yang membuat masyarakat kehilangan rasionalitas. Dari sinilah ideologi khilafah mendapatkan momentumnya: ia menawarkan ilusi stabilitas di tengah kekacauan yang sesungguhnya diciptakan oleh retorika populis itu sendiri.
Menjaga Rasionalitas Publik dan Iman yang Dewasa
Tantangan terbesar saat ini bukan sekadar melawan ideologi khilafah, tetapi menyembuhkan luka sosial yang ditimbulkan oleh populisme agama. Masyarakat perlu diajak untuk kembali kepada semangat Islam rahmatan lil ‘alamin — Islam yang berorientasi pada keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap perbedaan.
Pemerintah dan tokoh agama perlu memperkuat pendidikan kewarganegaraan yang berbasis nilai-nilai universal Islam: kejujuran, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Media dan ruang publik juga harus dilindungi dari ujaran kebencian dan manipulasi identitas yang kerap menjadi bahan bakar populisme.
Khilafah bukan solusi, dan populisme agama bukan jalan menuju keadilan. Justru, keduanya adalah refleksi dari krisis etika dan rasionalitas publik. Indonesia telah memiliki fondasi yang kuat melalui Pancasila — yang memadukan moralitas agama dan rasionalitas politik modern. Tugas kita hari ini adalah menjaga agar agama tidak diseret ke dalam ruang konflik kekuasaan, tetapi tetap menjadi sumber etika yang menuntun bangsa menuju kemanusiaan dan keadilan.