Perdebatan tentang peran agama di ruang publik Indonesia memang tidak akan pernah berhenti. Topik itu tentu saja tidak bisa dinafikan, karena secara tegas negara telah mendalilkan ideologinya sebagai negara yang berketuhanan. Persoalan menjadi rumit ketika tafsir negara yang berketuhanan ini dibingkai dalam narasi formalisasi syariat.
Narasi formalisasi syariat dalam hukum dan kebijakan memang memiliki jejak historis dalam pembentukan negara ini. Sebagian kelompok menilai bahwa formalisasi syariat Islam adalah wujud kesempurnaan identitas bangsa yang mayoritas beragama Islam, sedangkan kelompok lain menegaskan bahwa langkah tersebut bertentangan dengan prinsip pluralitas dan keadilan dalam negara bangsa.
Dalam ruang ketegangan wacana ini, saya teringat dengan gagasan José Casanova tentang public religion. Konsep ini, meskipun sudah berjalan di Indonesia, nampaknya perlu ditegaskan kembali untuk memberikan cara pandang alternatif.
Agama Publik dan Formalisasi Syariat
Casanova dalamPublic Religions in the Modern World(1994) menolak tesis sekularisasi klasik yang beranggapan bahwa modernisasi otomatis akan meminggirkan agama ke ranah privat. Menurutnya, modernisasi justru memungkinkan agama untuk menemukan peran baru sebagai aktor publik yang berkontribusi terhadap keadilan sosial, demokrasi, dan solidaritas kemanusiaan. Dengan kata lain, agama bukan hanya urusan iman pribadi, melainkan juga etika publik yang memengaruhi masyarakat luas.
Kerangka Casanova ini sangat relevan untuk memahami dinamika agama di Indonesia. Sejak awal, agama tidak pernah hanya menjadi urusan privat. Ia hadir dalam politik kebangsaan, gerakan sosial, hingga advokasi keadilan. Agama tidak pernah absen dalam isu-isu kemanusiaan dari persoalan politik hingga lingkungan
Namun, pertanyaannya kemudian apakah peran publik agama harus selalu melalui jalur formalisasi hukum, ataukah ada model lain yang lebih sesuai dengan kondisi multikultural Indonesia?
Sejak era reformasi, muncul banyak perda syariah atau aturan yang bernuansa syariat di sejumlah daerah. Wujudnya bisa sangat beragam: mulai dari kewajiban berpakaian muslim, larangan minuman keras, pelaksanaan shalat subuh berjamaah, hingga kewajiban bisa baca Al-Qur’an bagi para pegawai negeri. Tentu saja, puncaknya terlihat di Aceh, yang dengan status otonomi khusus menerapkan Qanun Syariat Islam.
Meski dimaksudkan untuk meningkatkan moralitas masyarakat, praktik formalisasi ini sering menimbulkan problem serius. Pertama, segregasi di ruang publik yang beragam. Aturan khusus tentang kewajiban berjilbab, misalnya, tidak jarang menimbulkan perlakuan khusus secara regulasi. Berjilbab sebenarnya kewajiban agama yang tidak perlu diatur dalam kerangka peraturan pemerintahan yang membawahi pegawai yang beragam.
Kedua, simbolisme hukum yang lebih menekankan ketaatan administratif ketimbang kesadaran etis. Orang taat karena takut sanksi, bukan karena dorongan moral. Simbolisme ini justru mendangkalkan kesalehan beragama yang diformalisasi dalam aturan.
Ketiga, politisasi agama, di mana syariat dijadikan komoditas elektoral oleh elit lokal. Banyak sekali isu agama dijadikan politik elektoral yang menjadikan ruang politik menjadi tidak sehat.
Kondisi ini menunjukkan bahwa formalisasi syariat bukanlah solusi tunggal untuk menghadirkan nilai agama dalam kehidupan berbangsa seperti di Indonesia. Justru ada risiko besar bahwa agama direduksi hanya menjadi perangkat hukum positif, padahal agama seharusnya menjadi sumber nilai yang lebih luas.
Jalan Solutif: Syariat sebagai Prinsip Etika Publik
Dua ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dapat menjadi contoh bagaimana agama hadir di ruang publik tanpa harus diformalkan secara kaku. NU dengan konsepIslam Nusantaramenekankan wajah Islam yang ramah, toleran, dan akomodatif terhadap budaya lokal. Peran NU dalam menjaga kerukunan umat beragama, misalnya melalui pesantren dan gerakan dialog antariman, memperlihatkan bagaimana agama bisa menjadi jembatan sosial.
Sementara itu, Muhammadiyah dengan semangatIslam Berkemajuanlebih menekankan etika sosial dan modernisasi. Keterlibatan Muhammadiyah dalam layanan pendidikan, kesehatan, hingga advokasi lingkungan hidup menunjukkan bagaimana syariat dapat diwujudkan sebagai nilai kemaslahatan, bukan hanya sebagai hukum formal. Misalnya, pendirian ribuan sekolah dan rumah sakit oleh Muhammadiyah telah memberikan manfaat nyata bagi seluruh warga, tanpa diskriminasi agama.
Kedua ormas ini membuktikan bahwa agama dapat hadir di ruang publik secara konstruktif. Mereka menjadi agen dari public religiondalam arti Casanova. Agama tampil bukan dengan memaksa hukum negara tunduk pada syariat formal, melainkan dengan menawarkan inspirasi moral dan aksi nyata bagi masyarakat.
Alih-alih mengutamakan formalisasi syariat, jalan yang lebih solutif adalah menafsirkan syariat sebagai prinsip etika publik yang universal. Inti syariat adalah keadilan (al-adl), kemaslahatan (al-mashlahah), dan perlindungan hak-hak dasar manusia (maqasyid syariah). Nilai-nilai ini bisa diinternalisasikan dalam kebijakan publik tanpa harus berbentuk perda syariah yang kaku yang bisa mendiksriminasi atau mensegregasi ruang publik yang beragam.
Dengan cara ini, agama tetap relevan dan kuat dalam ruang publik, namun tidak jatuh pada diskriminasi atau simbolisme hukum. Agama hadir bukan sebagai pemaksaan, melainkan sebagai inspirasi etis yang menjiwai demokrasi dan pluralisme Indonesia.
Dengan karakter multikultural yang sejak lama, Indonesia tidak membutuhkan formalisasi syariat yang eksklusif dan berpotensi menimbulkan fragmentasi sosial. Yang lebih dibutuhkan adalah agama publik: agama yang hadir sebagai sumber etika dan energi sosial dalam kehidupan kebangsaan. Melalui peran ormas keagamaan, agama mampu memberi kontribusi nyata tanpa harus diformalisasikan menjadi hukum positif.