Solusi Dua Negara, Amanat UUD 1945, dan Refleksi Hari Kesaktian Pancasila

Solusi Dua Negara, Amanat UUD 1945, dan Refleksi Hari Kesaktian Pancasila

- in Narasi
8
0
Solusi Dua Negara, Amanat UUD 1945, dan Refleksi Hari Kesaktian Pancasila

Hari Kesaktian Pancasila yang setiap tahun diperingati pada tanggal 1 Oktober selalu mengingatkan bangsa Indonesia pada ketangguhan ideologi yang telah berkali-kali diuji oleh sejarah. Pancasila tetap berdiri sebagai fondasi kebangsaan yang tidak tergoyahkan meski berkali-kali diguncang oleh ancaman dari dalam maupun luar negeri.

Namun peringatan ini seharusnya tidak berhenti pada ritual mengingat masa lalu, melainkan juga menjadi kesempatan untuk menafsirkan ulang relevansi Pancasila dalam menghadapi persoalan global hari ini. Salah satunya adalah konflik Palestina–Israel yang hingga kini masih membara dan menjadi perhatian dunia.

Beberapa waktu lalu, Presiden Prabowo Subianto berpidato di Sidang Umum PBB. Salah satu bagian orasinya menyita perhatian internasional: Indonesia akan siap mengakui Israel jika solusi dua negara benar-benar terwujud, yaitu berdirinya negara Palestina yang merdeka dan diakui dunia. Pernyataan ini sontak memicu perdebatan sengit di dalam negeri.

Banyak yang menganggapnya sebagai sikap kompromistis, bahkan dianggap melemahkan posisi Indonesia yang sejak lama dikenal tegas dalam mendukung Palestina. Tetapi bila ditilik dari kacamata UUD 1945 dan Pancasila, pidato itu justru merefleksikan kedalaman visi kenegaraan yang selaras dengan amanat konstitusi.

UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Kalimat ini tegas dan universal, tidak menyisakan ruang untuk penafsiran sempit. Jika Palestina berhak merdeka, maka pada saat yang sama bangsa lain pun memiliki hak yang sama, selama ia tidak menindas bangsa lain.

Dengan demikian, pengakuan Indonesia terhadap Israel bukan berarti meninggalkan Palestina, tetapi menegaskan prinsip konstitusional bahwa semua bangsa berhak hidup merdeka. Ketika Palestina berdiri sebagai negara yang berdaulat dan diakui secara internasional, maka secara moral dan hukum, Indonesia juga dituntut menghormati hak bangsa lain untuk hidup berdampingan secara damai.

Memang tidak dapat dipungkiri, bagi sebagian masyarakat Indonesia, kehancuran Israel dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kemerdekaan Palestina. Pandangan ini lahir dari luka sejarah panjang: pengusiran, perampasan tanah, dan agresi militer yang terus-menerus menimpa rakyat Palestina.

Sentimen tersebut bukanlah hal yang asing, karena ia berakar dari solidaritas kemanusiaan yang tulus. Namun diplomasi kenegaraan tidak bisa berangkat dari amarah masa lalu semata. Ia harus berpijak pada orientasi masa depan, bagaimana Palestina kelak dapat tumbuh sebagai bangsa, dan bagaimana dunia tidak lagi diwarisi dendam yang tiada ujung.

Peringatan Hari Kesaktian Pancasila dengan demikian mengingatkan kita bahwa Pancasila tidak hanya “sakti” untuk menghadapi ancaman domestik, tetapi juga relevan untuk menjadi inspirasi moral dalam menyikapi konflik global.

Ketika Presiden berbicara di forum dunia, ia tidak sedang berkompromi dengan penjajahan, melainkan sedang menafsirkan ulang amanat konstitusi dalam kerangka keadilan prospektif. Jalan dua negara adalah ikhtiar diplomasi agar keadilan benar-benar hadir, bukan hanya dalam retorika, tetapi juga dalam kenyataan hidup masyarakat Palestina.

Jika kelak Palestina merdeka dan Israel mengakui keberadaannya, maka dunia akan menyaksikan salah satu perwujudan nyata dari cita-cita luhur bangsa Indonesia: bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa.

Pada titik itu, Pancasila dan UUD 1945 bukan hanya berhasil menjaga keutuhan bangsa, tetapi juga memberi kontribusi nyata bagi perdamaian dunia. Inilah makna terdalam Hari Kesaktian Pancasila hari ini: bukan sekadar mengenang, tetapi menghadirkan nilai-nilainya dalam setiap langkah diplomasi, demi dunia yang lebih adil dan damai.

Facebook Comments