Isu tentang relasi agama dan negara umumnya dapat dipetakan ke dalam dua sudut pandang. Pertama, perspektif sekularis dimana urusan agama dan negara dipisahkan secara jelas. Dalam paham sekulerisme agama diposisikan di ranah privat, beda dengan urusan negara yang merupakan wilayah publik.
Di negara sekuler, negara tidak mencampuri urusan agama. Bahkan, pada titik paling ekstrem aktivitas dan ekspresi beragama di ruang publik negara sekuler kerap dibatasi. Misalnya, Perancis yang melarang simbol agama di sekolah, kantor, dan ruang publik lainnya.
Kedua, perspektif teokratis dimana agama dan negara merupakan kesatuan integral. Di negara yang menganut paham teokrasi, agama menjadi landasan bernegara, mulai dari hukum positif sampai kehidupan sosial budaya. Praktik ini dapat kita lihat pada sejumlah negara Islam seperti Iran, Arab Saudi, Pakistan, dan sebagainya.
Kedua paham ini sebenarnya memiliki cacat intrinsik. Sekulerisme kerap kali meminggirkan agama dan merampas hak kebebasan beragama individu. Sedangkan teokrasi cenderung tidak adaptif pada demokrasi dan hak asasi manusia yang menjadi paradigma dunia modern.
Di tengah tarik menarik dua kepentingan inilah, gagasan civil Islam yang diperkenalkan oleh Robert W. Hefner menjadi relevan dan urgen untuk diimplementasikan. Secara sederhana, cicil Islam dapat dipahami sebagai sebuah konsep gerakan keislaman yang menggambarkan kontribusi positif dan aktif umat Islam dalam demokratisasi, penegakan hak asasi manusia, dsn pengakuan atas pluralisme sebagai bagian dari ekspresi keberagaman mereka.
Civil Islam bisa dikatakan sebagai jalan tengah antara privatisasi agama di satu sisi dan formalisme agama di sisi lain. Civil Islam tidak condong pada sekulerisme dimana negara membatasi ekspresi beragama warga sipil. Namun, civil Islam juga tidak setuju pada formalisme agama yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar hukum bernegara.
Civil Islam meyakini bahwa Islam harus hadir di ruang publik, bukan sebagai aturan legal formal, melainkan sebagai landasan etis untuk mengembangkan demokrasi, toleransi, hak asasi manusia, inklusivisme, dan pluralisme. Dalam gerakan civil Islam, agama harus tampil sebagai sebuah gerakan moral dan etika untuk menciptakan tatanan sosial yang harmonis dan egaliter.
Gagasan civil Islam ini cocok diterapkan di Indonesia lantaran sejumlah alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara mayoritas muslim, namun memiliki kemajemukan agama dan budaya yang sangat kaya. Dalam konteks Indonesia, keragaman budaya dan agama itu menjadi elemen penting pemersatu bangsa, sekaligus juga ancaman yang tidak tampak.
Maka, gagasan civil Islam menjadi penting untuk memitigasi potensi konflik di balik keragaman agama dan budaya. Negara tidak boleh membatasi ekspresi keberagaman warga sipil. Namun, negara wajib memastikan ekspresi keberagaman itu tidak menyalahi demokrasi dan melanggar hak asasi manusia.
Kedua, gagasan civil Islam relevan diadatasi dalam konteks Indonesia lantaran kencangnya arus konservatisme keagamanaan. Salah satunya yang mewujud pada tuntutan formalisasi syariah sebagaimana muncul di era pasca Orde Baru. Agenda formalisasi syariah dalam banyak hal telah mengancam struktur ideologi dan konstitusi kita.
Ketiga, fakta bahwa sekelas menengah muslim Indonesia mengalami pertumbuhan signifikan dalam satu dekade belakangan membutuhkan sebuah paradigma keislaman yang moderat dan dinamis. Jumlah kelas menengah muslim saat ini mencapai 50 juta jiwa atau setara 17 persen dari total populasi.
Kelas menengah muslim dicirikan dengan sejumlah karakteristik. Dari sisi ekonomi, mereka umumnya berada di kelas ekonomi mapan dan berprofesi di sektor formal maupun informal. Salam artian, mereka berkiprah di ruang publik. Dari segi pendidikan kelas menengah umumnya berlayar belakang pendidikan menengah sampai perguruan tinggi. Hal ini membuat mereka cenderung memiliki wawasan luas.
Sementara dari segi keagamaan, kelas menengah dicirikan dengan ekspresi beragama yang moderat dan dinamis. Di satu sisi, mereka berkepentingan untuk mentaati aturan agama alias menjadi makhluk saleh. Namun, di sisi lain mereka juga memiliki kepentingan untuk mengadaptasi gaya hidup modern.
Survei yang dilakukan oleh Alvara Institute pada tahun 2016 menunjukkan bahwa mayoritas kelas menengah muslim di kawasan urban tidak setuju dengan penerapan syariah secara kaku. Misalnya, aturan pemakaian jilbab model tertentu, kewajiban memakai rok bagi perempuan, atau kewajiban bisa membaca Alquran, dan aturan sejenisnya justru mendapat resistensi di kalangan muslim menengah urban.
Sejumlah riset juga menunjukkan bahwa kelas menengah muslim urban cenderung adaptif dengan gaya hidup islami yang trendi, modern, inklusif, dan dinamis. Gaya hidup keislaman yang seperti itu tentu tidak dapat diakomodasi oleh gerakan formalisasi syariah yang cenderung konservatif dan kaku.
Maka dari itu, gagasan civil Islam kiranya menjadi jalan tengah di antara kelompok yang pro fornalisasi syariah dan kelompok yang kontra formalisasi syariah. Civil Islam membuka jalan bagi masuknya nilai dan ekspresi keislaman di ruang publik tanpa diintervensi oleh negara.
Seperti kita lihat saat ini, umat Islam bebas memakai pakaian muslim, mendirikan sekolah keislaman, menggelar kegiatan keagamaan, mengembangkan bisnis dan industri syariah. Di saat yang sama, civil Islam juga menutup celah kebangkitan gerakan radikal ekstrem yang menjadi konsern dan kekhawatiran kelompok kontra formalisasi syariah.