Pidato Presiden Prabowo di Konferensi Tingkat Tinggi Persatuan Bangsa-Bangsa menuai respon beragam dari publik. Dalam pidato itu, Presiden Prabowo menegaskan solusi dua negara untuk mengakhiri konflik dan kekerasan dua negara (Israel-Palestina).
Potongan video pidato itu viral di media sosial dan mendapat tanggapan beragam dari netizen. Sebagian netizen menganggap pidato itu sebagai tawaran yang berani dan brilian. Apalagi banyak negara muslim yang cenderung mencari aman dalam isu Palestina. Presiden Prabowo menggunakan momentum pidato untuk menyerukan solidaritas global terhadap Palestina. Presiden Prabowo juga menawarkan bantuan pasukan penjaga keamanan untuk mengawasi jalannya perdamaian.
Namun, di sisi lain masih saja ada netizen yang mencibir pidato Presiden Prabowo tersebut. Sebagian kalangan menilai pidato itu terlalu condong membela Israel tanpa mempertimbangkan bahwa negara tersebut telah melakukan kejahatan kemanusiaan luar biasa terhadap Palestina.
Netizen beranggapan bahwa seharusnya pidato Presiden Prabowo diarahkan untuk menelanjangi praktik genosida Israel terhadap Gaza. Bukan justru terkesan membela Israel. Sebagian netizen menganggap pidato Presiden Prabowo itu terlalu lemah dalam mengkritik Israel.
Jika diamati, narasi itu banyak disuarakan oleh sosok atau akun yang selama ini memang cenderung terafiliasi dengan gerakan keislaman transnasional atau kelompok konservatif radikal lainnya.
Di media sosial X misalnya, akun-akun yang selama ini getol mendeskreditkan pemerintah, gencar menyerang Pancasila dan UUD 1945 serta mengampanyekan ideologi khilafah, cenderung satu suara dalam menyikapi pidato Presiden Prabowo di PBB. Akun-akun tersebut menggiring opini publik dengan satu narasi; Presiden Prabowo membela Israel.
Benarkah demikian? Mari kita periksa satu-satu poin penting pidato Presiden Prabowo di PBB tersebut. Pertama, poin tentang solusi dua negara (two state solution) yang diangkat Presiden Prabowo dalam pidatonya.
Tawaran itu bukan hal baru. Bahkan, PBB sendiri juga menawarkan solusi dua negara untuk mengakhiri konflik Israel Palestina. Terakhir pada sidang tanggal 12 September 2025, PBB mengesahkan solusi dua negara sebagai jalan penyelesaian konflik Israel Palestina.
Resolusi itu disetujui oleh 140 negara. Untuk diketahui, tawaran solusi dua negara sudah muncul sejak era tahun 1970an. Bahkan pemimpin perjuangan kemerdekaan Palestina, Yasser Arafat pun mendukung solusi tersebut.
Ini artinya, solusi dua negara yang disampaikan Presiden Prabowo dalam pidatonya tempo hari tidak menyalahi sikap arusutama negara internasional terhadap Israel-Palestina. Solusi dua negara adalah tawaran paling rasional dan memungkinkan yang dapat diaplikasikan secepatnya untuk mengakhiri konflik dan kekerasan di Palestina.
Poin kedua, terkait bahwa Prabowo tidak sedikitpun mengutuk keras Israel sebagai pelaku genosida di Gaza. Apakah hal ini berarti ia takut terhadap Israel? Kesimpulan itu tentu prematur dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai mantan prajurit TNI yang punya reputasi di lingkup nasional dan internasional, pemahaman Presiden Prabowo terhadap konflik dan perang tentu sudah matang. Ia tidak perlu ikut-ikutan mengutuk sikap Israel yang nirkemanusiaan terhadap Palestina. Toh, hampir seluruh umat manusia di dunia sudah melakukan hal itu (mengutuk Israel).
Ia tidak ingin ikut arus dengan menguruk genosida Israel terhadap Palestina agar dianggap sebagai pahlawan. Ia mengambil jalan sunyi yang tidak populer; yakni menyuarakan pesan damai dan mengakhiri konflik. Sebuah tawaran yang solutif di tengah kompleksnya problem Israel-Palestina.
Jalan yang ditempuh Presiden Prabowo memang tidak populer bahkan beresiko terhadap posisi politiknya di Tanah Air. Dalam konteks masyarakat muslim Indonesia yang reaktif dan acapkali emosional, sikap Presiden Prabowo itu rawan dipelintir sebagai bentuk dukungan terhadap Israel. Di Indonesia, lebih mudah mencitrakan diri sebagai sosok pahlawan bagi Palestina dengan menguruk Israel, meski sebenarnya tidak melakukan tindakan konkret apa pun.
Presiden Prabowo bisa dikatakan ada di barisan para tokoh yang mengambil jalan diplomatis untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Sebelumnya, ada Presiden Gus Dur yang juga mengambil langkah serupa.
Gus Dur bahkan ingin membuka jalur diplomatik dengan Israel yang segera ditolak oleh kalangan konservatif. Padahal, argumen Gus Dur kala itu sangat rasional. Ia mengatakan bahwa jalur diplomatik itu yang akan membuka kesempatan Indonesia untuk mempengaruhi kebijakan Israel terhadap Palestina.
Tanpa hubungan diplomatik, Indonesia tidak punya akses untuk mengintervensi kebijakan Israel. Presiden Prabowo pun senada dengan Gus Dur. Ia berniat menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Dengan syarat, Israel harus mengakui eksistensi Palestina.
Di titik ini dapat kita simpulkan bahwa narasi Prabowo mendukung Israel itu tidak terbukti. Narasi itu sengaja didengungkan untuk mendelegitimasi komitmen pemerintah dalam mengakhiri konflik Israel Palestina. Seperti Gus Dur, Prabowo tidak ingin terjebak amarah dan dendam atas masa lalu. Berpuluh tahun kita terjebak dalam amarah dan dendam melihat konflik Israel dan Palestina.
Dan seperti kita lihat, amarah dan dendam itu tidak mengubah apa pun. Genosida tetap berlangsung di Gaza. Kematian dan kelaparan menjadi menu sehari-hari warga Palestina. Maka, alih-alih terjebak dalam amarah dan dendam, Presiden Prabowo mengajak kita melihat celah masa depan bagi rakyat Gaza. Anak-anak Gaza harus punya masa depan layaknya anak di negara lain. Dan masa depan itu hanya bisa diraih dengan terwujudnya perdamaian.