Narasi tentang “Negara Islami” selalu bersemayam di ruang perdebatan publik kita, bagai hantu masa lalu yang terus menghantui masa depan. Sejak Khilafah Turki Utsmani runtuh pada 1924, bayangan akan sebuah utopia politik dengan label Islam terus bergentayangan. Sebagian melihatnya sebagai proyek formalistik: sebuah bendera, sebuah nama, sebuah struktur tunggal yang kaku, yang diklaim sebagai satu-satunya jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Namun, di balik seruan tersebut, kita perlu bertanya: benarkah Islam hanya bisa diwujudkan dalam bentuk khilafah satu model tunggal? Atau, jangan-jangan, kita telah kehilangan esensinya dalam formalisme yang dangkal dan terjebak dalam romantisme sejarah yang tidak relevan?
“Negara Islami” Bukan soal Label
Jika kita kembali ke sumber asalnya, baik Al-Qur’an maupun hadis, kita tidak akan menemukan dalil eksplisit untuk sebuah “Negara Islami” dalam arti struktur politik yang baku. Yang ada hanyalah prinsip-prinsip universal yang melampaui zaman: keadilan (‘adl), musyawarah (syura), kemaslahatan (maslahah), dan kasih sayang (rahmah). Prinsip-prinsip inilah yang menjadi landasan moral sebuah peradaban, bukan semata-mata sistem pemerintahan. Firman Allah dalam QS. An-Nahl: 90 adalah bukti sahih, menegaskan bahwa inti ajaran Islam adalah menegakkan keadilan dan kebajikan.
Jadi, sebuah negara tidak menjadi Islami karena namanya, melainkan karena ia sungguh-sungguh menegakkan nilai-nilai itu dalam setiap kebijakan dan napas kehidupannya. Bayangkan, sebuah negara yang menamakan dirinya “Islam” tapi pemimpinnya korup, hukumnya diskriminatif, dan rakyatnya menderita. Apakah itu bisa disebut Islami?
Tentu tidak. Sebaliknya, sebuah negara yang menjunjung tinggi keadilan, melindungi minoritas, dan menyediakan kesejahteraan, meski tanpa embel-embel Islam, justru lebih dekat dengan substansi ajaran Nabi Muhammad saw. Islam tidak butuh nama formal, ia butuh bukti nyata dalam praksis sosial.
Sejarah juga menunjukkan keragaman luar biasa dalam praktik politik Islam. Dari komunitas Madinah yang pluralistik dengan Piagam Madinahnya yang merupakan kontrak sosial hingga dinasti-dinasti yang beragam, tak ada satu model tunggal yang absolut. Bahkan di Indonesia, para pendiri bangsa sudah memahami hal ini. Mereka sadar bahwa membangun negara dengan prinsip Pancasila yang menjamin kebebasan beragama, menolak tirani, dan menjunjung tinggi gotong royong jauh lebih sejalan dengan semangat Islam yang rahmatan lil-‘alamin daripada memaksakan satu model politik yang kaku.
Pemikir-pemikir modern seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha telah menekankan pentingnya ijtihad politik agar Islam tetap relevan di tengah sistem negara bangsa. Sementara di Indonesia, gagasan-gagasan dari tokoh seperti Nurcholish Madjid dan Gus Dur menunjukkan bahwa negara Pancasila sejatinya dapat menjadi wadah yang Islami, karena ia mampu menjamin kebebasan beragama, melindungi pluralisme, dan menolak tirani. Mereka meyakini bahwa Islam adalah nilai, bukan hanya sekadar bentuk negara.
Menghadirkan Islam yang Membumi di Ranah Sosial
Sisi lain yang sering terlupakan adalah bahwa “Negara Islami” bukan semata urusan struktur, melainkan juga budaya sosial masyarakat. Piagam Madinah menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad membangun negara dengan kontrak sosial yang mengakui perbedaan agama dan etnis. Artinya, masyarakat Islami adalah masyarakat yang mampu hidup dalam harmoni, bukan memaksakan keseragaman.
Di Indonesia, nilai-nilai Islami justru hadir dalam praktik sosial: budaya gotong royong, musyawarah mufakat, tolong-menolong antarwarga, hingga sikap moderasi dalam kehidupan sehari-hari. Organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah adalah pilar penting dalam memperkuat masyarakat sipil dengan pendidikan, kesehatan, dan dakwah moderat. Semua ini membuktikan bahwa “keislaman” sebuah negara tidak bergantung pada jargon politik, tetapi pada kehidupan sosial yang berkeadaban.
Tantangan terbesar adalah kecenderungan sebagian kalangan untuk mereduksi “Negara Islami” menjadi sekadar simbol: bendera, jargon khilafah, atau hukum yang diberlakukan secara kaku. Padahal, substansinya bisa hilang jika yang hadir justru korupsi, tirani, dan diskriminasi. Negara dengan nama Islam belum tentu Islami, sebaliknya negara tanpa label Islam bisa jauh lebih Islami bila ia menegakkan keadilan dan kesejahteraan.
Dengan demikian, mendefinisikan ulang “Negara Islami” berarti melepaskannya dari belenggu formalistik menuju paradigma etis-sosial. Islam bukan hanya proyek politik, tetapi juga nilai yang harus hidup dalam keadilan sosial, kesetaraan warga negara, dan kepedulian pada kaum lemah.
Di abad ke-21, “Negara Islami” sebaiknya dipahami bukan sebagai model tunggal, tetapi sebagai ruang etis yang membumi dalam kehidupan berbangsa. Islam tidak harus hadir melalui slogan khilafah, melainkan melalui praktik keadilan, kesejahteraan, dan harmoni sosial. Indonesia, dengan Pancasila dan pluralitasnya, justru bisa menjadi contoh nyata. Selama negara ini menjamin kebebasan beragama, menegakkan hukum tanpa diskriminasi, dan mengutamakan kesejahteraan rakyat, maka ia sejatinya telah menghadirkan wajah Islam yang hidup.