Sejarah peradaban manusia dari era klasik, pertengahan, modern, hingga kontemporer tidak pernah lepas dari konflik dan kekerasan. Konflik dan kekerasan umumnya berakar dari prasangka kebencian terhadap entitas yang berbeda; warna kulit, bahasa, suku, etnis, agama, dan sebagainya.
Sentimen kebencian kerap melahirkan vonis bahwa kelompok lain tidak berhak hidup aman dan damai. Sentimen kebencian juga kerap menjadi alat untuk memvalidasi kekerasan bahkan genosida. Ironisnya, sejarah mirip siklus yang terus berulang. Tragedi yang terjadi di zaman lampau, terulang di zaman kontemporer. Itulah bukti bahwa manusia kerap luput belajar dari sejarah.
Hari-hari belakangan ini, sejarah peradaban manusia kembali diuji oleh rangkaian peristiwa kemanusiaan di Israel dan Palestina. Konflik asimetris dua negara melahirkan tragedi kemanusiaan luar biasa. Mata dunia tertuju ke Gaza, titik dimana pertempuran membawa kesengsaraan bagi warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.
Pemimpin dunia lantas berkumpul dalam forum terhormat bernama Sidang Umum PBB. Sejumlah pemimpin dunia diberikan panggung untuk menyuarakan sikapnya. Salah satunya, Presiden Indonesia Prabowo Subianto. Publik nasional menanti apa yang akan disampaikan di forum tertinggi itu. Dan, ia tampil layaknya seorang moderat sejati; rasional, proporsional, dan solutif.
Dalam konteks isu Palestina-Israel, ia menegaskan komitmen pemerintahannya untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Kesamaan nasib masa lalu Indonesia yang pernah mengalami era kolonialisme selama ratusan tahun menumbuhkan rasa simpati dan empati atas nasib bangsa Palestina.
Di saat yang sama, ia menyebutkan bahwa kehadiran PBB menjadi salah satu elemen penting untuk menyelesaikan konflik dua negara tersebut. Di sini, Presiden Prabowo tampak berani mengambil sikap berbeda dengan Donald Trump yang menyebut PBB disfungsional alias lemah dan tidak berguna dalam isu Israel dan Palestina.
Tidak hanya berretorika, Presiden Prabowo juga menyampaikan solusi untuk mengakhiri kekerasan di Gaza dan Palestina. Ia kembali ke resolusi PBB tentang solusi dua negara. Palestina merdeka dan diakui oleh negara Israel.
Sebaliknya, eksistensi Israel juga diakui dan dijamin keamanannya di kawasan Timur Tengah. Presiden Prabowo bahkan bersedia mengirim pasukan perdamaian di kawasan sengketa Israel dan Palestina untuk memastikan perdamaian dapat terwujud.
Pidato Prabowo mungkin dianggap sebagian kalangan terlalu lembek terhadap Israel. Tidak seperti pemimpin negara lain yang menunjuk hidung Israel sebagai pelaku genosida di Gaza. Namun, bagi banyak kalangan, pidato Presidsn Prabowo yang terkesan netral itu justru menunjukkan bahwa ia sedang mengajak kita, bangsa Indonesia dan warga dunia untuk lepas dan melampaui sentimen anti-semitisme. Apa itu anti-semitisme?
Anti-semitisme merujuk pada Oxford Dictionary Online, diterjemahkan sebagai prasangka atau permusuhan terhadap orang Yahudi yang mencakup segala bentuk diskriminasi dan kebencian terhadap Yahudi baik sebagai individu maupun secara institusional. Anti-semitisme mewujud pada sejumlah praktik, mulai dari rasisme, labelisasi negatif, teori konspirasi, diskriminasi sosial politik, kekerasan sistemik, sampai kekerasan fisik.
Sebagian masyarakat kerap memahami wujud anti-semitisme paling brutal dal sejarah peradaban umat manusia adalah peristiwa Holocaust, yakni genosida komunitas Yahudi Eropa oleh Jerman dibawah kepemimpinan Adolf Hitler.
Namun, sejarawan dan sosiologi menyebut bahwa akar antisemitisme sudah ada ribuan tahun sebelum peristiwa Holocaust tersebut. Bahkan, ada sejarawan dan sosiolog yang menyebut bahwa antisemitisme adalah bentuk kebencian paling purba dalam sejarah umat manusia.
Anti-semitisme telah berakar sejak periode awal kekristenan dimana muncul tudingan bahwa Yesus dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Anti-semitisme dalam perkembangannya menjadi semacam ideologi yang kompleks.
Di era klasik, anti-semitisme lebih banyak dilatari oleh isu keagamaan. Sedangkan di era modern kontemporer, anti-semitisme berkembang sedemikian rupa. Isu keagamaan, ekonomi, dan politik bercampur menjadi satu menyuburkan anti-semitisme abad ke 19. Tidak diragukan bahwa sentimen anti-semitisme telah menjadi alat untuk menjustifikasi dan memvalidasi kekerasan terhadap komunitas Yahudi.
Sentimen anti-semitisme inilah yang membuat konflik Israel dan Palestina kian runyam. Sentimen kebencian terhadap komunitas Yahudi seolah menutup celah bagi upaya damai antar kedua belah pihak yang berseteru.
Anti-semitisme yang kadung menjangkiti sebagian kelompok muslim konservatif melahirkan persepsi bahwa jalan memedekaan Palestina adalah dengan memusnahkan Israel dan bangsa Yahudi dari muka bumi. Sentimen anti-semitisme di kalangan muslim konservatif itu pun divalidasi melalui ayat Alquran atau pun hadist.
Pidato Presiden Prabowo yang mengungkit soal solusi dua negara seolah mengajak kita semua lepas dari jebakan sentimen anti-semitisme. Pidatonya mencerminkan komitmen UUD 1945 tentang hak kemerdekaan bagi semua bangsa tanpa terkecuali. Termasuk bangsa Semith yang kerap menjadi sasaran kebencian dan permusuhan sejak ribuan tahun lalu.
Tidak mudah memang bersikap obyektif. Selama ini kita mungkin terlanjur berpikir subyektif. Perspektif kita dalam melihat konflik Israel-Palestina kadung bias oleh sentimen anti-semitisme. Alhasil, kita luput menunaikan amanah konstitusi bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB mengingatkan kita bahwa kita masih punya hutang konstitusional, yakni memastikan semua bangsa mendapatkan kemerdekaannya.