Terdapat suatu masa dimana banyak orang tiba-tiba, yang tentu saja dengan perjuangan berat, menentukan jalan sendiri di samping dunia keagamaan yang telah dilakoni oleh para kerabatnya. Agama memang tak selamanya dapat ramah terhadap lika-liku kehidupan duniawi. Bukankah banyak dalil-dalil keagamaan yang memandang rendah dunia dan segala pernak-perniknya, bahwa dunia itu adalah seperti halnya bangkai kambing, seumpamanya?
Dalam menghadapi gelombang “biru” atau juga gelombang “putihan” itu, yang sama mengagendakan kehidupan religius secara totalitarian (kaffah), banyak orang kemudian secara terpaksa menyerahkan klaim leluhur atau klaim keturunan pada orang-orang yang tiba-tiba juga merasa lebih laik untuk menjadi anak keturunan kalangan yang diklaim itu. Sebab, telah bercokol lama sebentuk “rumus” di benak masyarakat bahwa kemuliaan hidup itu adalah pada kehidupan agama. Maka lumrah di suatu masa itu terdapat orang yang terkesan lebih ningrat daripada yang ningrat sejati dan lebih kyai daripada yang kyai sejati. Ketika berbicara strata sosial pun orang-orang yang terarus gelombang baru ini menduduki posisi yang tertinggi dalam soal pengaruh pada masyarakat luas.
Dalam kisah pewayangan Jawa terdapat lakon “Petruk Dadi Ratu” dimana “wong cilik”ternyata dapat menjadi seorang raja dan kemudian menerapkan ukurannya pada segenap bidang. Otomatis tatanan jagat pun menjadi tak proporsional: yang benar dapat menjadi salah, yang salah dapat menjadi benar. Tak banyak orang tahu bahwa populisme ternyata telah digambarkan dalam lakon wayang “Petruk Dadi Ratu” yang konon diciptakan oleh Sunan Kalijaga, namun saya kira lakon ini tercipta pada masa penjajahan Belanda.
Para pecandu totalitarianisme agama itu tak banyak tahu bahwa di samping agama ternyata terdapat pula bidang yang muaranya juga sama sekali tak menyimpang dari agenda agama itu sendiri. Ketika risalah agama, dalam hal ini Islam sebagaimana yang dikabarkan dan dibabarkan oleh Nabi Muhammad, dimaknai sebagai sebentuk pembangunan karakter atau penyempurnaan akhlaq, maka dunia seni pun ternyata adalah juga sebentuk pembangunan karakter atau budi pekerti.
Taruhlah studi saya pada bentuk kesenian Jawa tradisional yang kesemuanya—seni musik, tari, wayang, seni ukir dan sungging—ternyata bermuara pada kesadaran tentang sangkan-paraning dumadi atau hilir dan hulu kehidupan (Sangkan-Paran, Heru Harjo Hutomo, Bintang Pustaka Madani, Yogyakarta, 2020). Ketika ditautkan pada sang sangkan-paran, ternyata semakin minimalis bentuk ataupun gerak sebuah karya seni itu, semakin halus dan lembut garapan sebuah karya seni itu, semakin hening komposisi suara itu, maka akan dianggap semakin tinggi nilai sebuah karya seni itu.
Otomatis sebuah garapan karya seni yang mendekati titik hening itu tak dapat dilepaskan dari raga sang seniman yang otomatis luruh sebagai cerminan rasa yang sudah meneb atau tak beriak. Di sinilah makna istilah “budi pakerti” itu yang menyiratkan bahwa pakerti atau gerak seseorang adalah cerminan dari budi-nya. Ketika dikaitkan dengan agama, budi inilah yang oleh al-Ghazali disebut sebagai al-Qalb yang ternyata memiliki banyak keajaiban.
Dalam terang sang hujjatul Islam itu al-Qalb adalah ibarat sang perdana menteri dimana anggota raga lainnya hanyalah perpanjangan tangannya. Maka, dalam setiap aliran penghayat kepercayaan yang berbasiskan budaya Jawa budi pekerti adalah yang menjadi titik awal sekaligus titik akhirnya. Seperti halnya sesanggeman atau kesanggupan dalam banyak aliran kepercayaan yang tak boleh “nyacad kawruh liyan” atau menghina keyakinan lainnya sebagai sebentuk keluhuran budi pekerti atau akhlaq yang di hari ini lebih dikenal sebagai sebentuk toleransi.