Agama Sipil dan Pecah Belah Ukhuwah Wathaniyah-Basyariyah

Agama Sipil dan Pecah Belah Ukhuwah Wathaniyah-Basyariyah

- in Narasi
1818
0

MENJELANG surut-nya, lelaki sepuh itu berkeinginan untuk menemui sang cucu KH Hasyim Asy’ari: Abdurrahman Wahid. Ia masih trahing kusuma rembesing madu, wijining atapa tedhaking andana warih. Dengan kata lain, ia adalah seorang bangsawan yang, dalam istilah orang pesantren, khumul.

Pangeran Papak namanya—sebuah nama yang mengacu pada keempat jari sebelah tangannya yang sejajar, racak. Seperti Abu Yazid al-Bisthami, yang menjadi rantai silsilah keilmuan baik pada tarekat Naqsyabandiyah maupun Syathariyah, Pangeran Papak juga dikenal baik dalam paguyuban PAMU (Purwa Ayu Mardi Utomo), PDKK (Purwaning Dumadi Kasampurnan Kautaman) maupun Harda Pusara—paguyuban yang terakhir ini lebih mengenalnya sebagai Gusti Natapraja.

“Mengapa kamu tidak mau mengakui saya sebagai saudara sebangsa? Saya ini hongwilaheng, orang Buddha,” kata lelaki sepuh itu kepada Gus Dur (Kematian Seorang Pangeran, www.gusdur.net).

Pertanyaan yang datang tiba-tiba dari lelaki sepuh itu menyiratkan apa yang telah menimpa diri dan pengikutnya, atau bahkan aliran penghayat kepercayaan pada umumnya. Tapi seandainya Pangeran Papak masih sugeng hingga hari ini, barangkali ia akan berbahagia.

Beberapa hari yang lalu, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan gugatan para penghayat kepercayaan agar diperbolehkannya mencantumkan identitasnya pada kolom agama di KTP dan KK. Konsekuensi atas putusan MK ini membuktikan bahwa konstitusi benar-benar tegak di negeri ini. Negara telah resmi mengakui eksistensi aliran penghayat kepercayaan. Mereka telah mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara, tak akan lagi hidup dalam diskriminasi dan intoleransi.

Tapi saya kira, masih saja ada reaksi yang sangat intoleran terhadap para penghayat kepercayaan. Beberapa kalangan masih saja membangun narasi yang sarat penghakiman yang mengoyak nurani kemanusiaan (ukhuwah basyariyah), atau bahkan dapat memecah belah keutuhan yang tengah mati-matian diupayakan pemerintah dan banyak kalangan (ukhuwah wathaniyah). Selalu saja hoax, fitnah, dan ujaran-ujaran kebencian mengucur dari mereka.

Ada yang mengatakan, konsekuensi dari keputusan MK ini akan menjadikan Indonesia kembali ke zaman batu, yang sarat animisme-dinamisme (www.jawapos.com 10/11/2017). Bahkan konyolnya, mereka juga mengancam, bahwa dengan adanya keputusan MK itu, Indonesia akan mengalami konflik horizontal. Konflik yang disebabkan hasil keputusan MK atau justru konflik yang dipicu oleh sikap mau menang sendiri, seperti yang ditunjukkan mereka?

Saya kira, ada beberapa hal yang dilupakan oleh kalangan-kalangan intoleran. Mereka telah melakukan judgment tanpa dasar, di mana konsekuensinya mereka telah memfitnah. Tak semuanya dan tak selamanya penghayat kepercayaan itu identik dengan animisme-dinamisme. Narasi yang sarat judgment semacam ini—sebagaimana yang kita tahu—biasanya datang dari kalangan Islam formal (Terorisme dan Matinya Nalar Kritis, www.jalandamai.org).

Narasi-narasi yang bersifat judgmental semacam inilah yang terus menerus dibangun dan disebarkan, apalagi menjelang dan seusai perhelatan pilkada Jakarta kemarin. Tapi kalau mau melacak, narasi-narasi semacam ini sudah mengiringi pemerintahan Jokowi-JK sejak awal pencalonannya (Hikayat Kebohongan, www.islami.co).

Entah dengan cara apa narasi-narasi penuh sentimen SARA ini dijejalkan. Barangkali, tak sekedar media sosial yang mereka gunakan untuk menyebarkan narasi-narasi semacam ini. Kasus mutakhir adalah bocah kelas empat SD yang mengalami perundungan teman-teman sebayanya karena wajahnya mirip Ahok (www.kpai.go.id 01/11/2017). Artinya, narasi-narasi sarat sentimen SARA semacam ini telah menjadi makanan kita sehari-hari. Seandainya bocah saja sudah terpatri dalam kesehariannya bahwa lyan itu, orang yang tak sama dengan kita, patut dijadikan pesakitan, kambing-hitam, maka akan selamanya toleransi dan keutuhan bangsa ini terancam pecah-belah.

Mindset ahistoris yang acap dilupakan—atau memang sengaja melupakan?—para penganut Islam formal adalah fakta geografis dan kultural Indonesia yang majemuk—atau untuk meminjam kerangka pikir agama, kebhinekaan adalah takdir. Konsekuensi hidup di Indonesia berarti mesti menyesuaikan diri dengan fakta atau takdir tersebut.

Untuk itu, kesadaran dan pemahaman yang mesti dikembangkan adalah bahwa “Indonesia”, pada akhirnya hanyalah tempat di mana segenap perbedaan disinggungkan, dinegosiasikan. Empat pilar kebangsaan, karena itu, adalah acuan-acuan yang semestinya netral, dalam arti, tak seharusnya satu agama atau satu golongan merasa memiliki saham terbesar atasnya. Dalam konteks pengakuan resmi dan perlindungan negara atas eksistensi aliran penghayat kepercayaan (yang kental dengan nuansa kearifan-kearifan lokal), maka semua agama maupun aliran penghayat kepercayaan mesti mereinterpretasikan ajaran masing-masing dalam kerangka empat pilar tersebut.

Taruhlah sila pertama Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa. Tak satu pun, sebenarnya, istilah ini dipakai dalam istilah-istilah keseharian orang-orang yang memeluk suatu agama maupun aliran penghayat kepercayaan yang ada di Indonesia. Biasanya, mereka memakai istilah lainnya namun tetap dengan substansi yang sama. Maka, agama maupun aliran penghayat kepercayaan hendaknya memaknai ajaran masing-masing selaras dengan Pancasila dan konstitusi. Hal ini perlu dilakukan seandainya negara-bangsa ini tak hendak bubar. Untuk itulah diperlukan adanya pemahaman bahwa Pancasila adalah juga sebentuk agama sipil.

Dalam logika agama sipil, aliran penghayat kepercayaan juga memenuhi kriteria untuk berada di dalamnya. Karena agama sipil adalah suatu titik-temu, hasil persinggungan, negosiasi, dialog, antara berbagai kepentingan yang berbeda. Ia hanya eksis pada wilayah etik, bukan metafisik. Soal iman yang subjektif, tak harus dijadikan sumber judgment pada wilayah etik.

Apa yang telah dilakukan sebagian orang, khususnya yang menolak hasil keputusan Mahkamah Konstitusi soal aliran penghayat kepercayaan, adalah menghakimi sebuah ranah yang subjektif, di mana Pancasila dan konstitusi sebagai acuan tegaknya NKRI tak pernah membahasnya—apalagi memperkarakannya. Mereka, kalangan-kalangan intoleran itu, tak bisa memilah—tentu saja seandainya mereka masih merasa sebagai orang “Indonesia” yang konsisten dengan Pancasila dan konstitusi—mana yang merupakan wilayah etik dan mana yang merupakan wilayah metafisik. Dengan kata lain, mereka telah memaksakan kehendak, mengangkangi HAM yang paling mendasar: hak untuk memeluk sebuah kepercayaan.

Facebook Comments