Sensitivitas sebagian kita dalam beragama tampaknya perlu dikoreksi. Hal ini bukan berarti kita menghilangkan sensitivitas tersebut (sebab sensitivitas merupakan bukti perhatian kita terhadap sesuatu). Tetapi kita wajib untuk menyeimbangkan kadarnya sehingga manifestasi sensitivitas dapat proporsional. Alih-alih menambah kecintaan kita terhadap agama, sensitivitas yang ekstrem justru akan membuat agama ini kering kerontang. Agama menjadi tidak lentur terhadap ekspresi keberagaman. Padahal sejatinya agama harus mampu berdialog dengan berbagai hal. Termasuk dengan produk karya cipta manusia. Sehingga agama dapat terus menaungi peradaban manusia. Masalah sensitivitas inilah yang belakangan terus merajalela di sekitar. Betapa mudahnya orang-orang merasa tersinggung dengan hal-kecil dan remeh. Persoalan sepele bisa berubah menjadi isu besar dan seolah-olah membahayakan agama yang kita anut.
Kasus yang belakangan mencuat adalah kontroversi pembacaan puisi oleh Sukmawati. Ada yang menganggap puisi yang dibawakan menistakan agama. Padahal esensi karya sastra tersebut tidak bermasalah. Meskipun akhirnya Sukmawati telah meminta maaf, tetapi masih ada orang-orang yang tidak berlapang dada. Mereka terus mempermasalahkan puisi tersebut dan meminta aparat keamanan mengusut kasus hingga tuntas. Sejurus setelah heboh puisi Sukmawati, beredar foto Ganjar Pranowo dengan kutipan puisi yang dianggap menistakan agama. Puisi, yang ternyata merupakan karya Gus Mus, dituduh mengandung pelecehan agama. Salah satu bait puisi yang dipermasalahkan adalah “Kau bilang tuhan sangat dekat, namun kau sendiri memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat”. Lalu, ada pihak yang ingin melaporkan Ganjar Pranowo ke kepolisian karena puisi tersebut. Upaya tersebut akhirnya batal dilakukan dan pihak yang ingin melaporkan akhirnya meminta maaf kepada Gus Mus. Puisi Gus Mus ini merupakan produk sastra yang sudah cukup lama dan telah dinikmati banyak orang. Penulis sendiri mendengar dan membaca karya puisi ini cukup lama. Dan selama ini, tidak pernah ada yang mempermasalahkan. Hingga belakangan dipermasalahkan kandungan isinya.
Mereka yang meributkan karya sastra di atas tampaknya terlalu tergesa-gesa dalam memvonis sesuatu. Kurang mendalami puisinya secara menyeluruh hingga kesimpulannya pun dangkal: menista agama! Padahal jika dicermati, pesan-pesannya justru memberi inspirasi sekaligus meluruskan pemahaman agama kita yang cenderung tertutup dan sempit. Maka kita patut mengapresiasi karya-karya sastra yang berbobot dan membawa pesan yang mencerahkan. Ketika ada ketidaksepakatan terhadap kontennya, bisa dibantah dengan cara baik-baik. Bukan lantas mengkritiknya secara membabi buta tanpa disertai adab. Kenyataannya, kedua puisi tersebut lantas diperlakukan layaknya najis hingga harus dijauhi. Dan kini, energi kita kembali terkurang untuk mengurus hal yang tidak penting seperti ini. Karya sastra tiba-tiba dipandang sebagai racun yang berbahaya bagi agama.
Jika kita lemparkan pikiran kita ke masa lalu, niscaya akan banyak ditemui ulama-ulama besar yang menggunakan sastra sebagai instrumen dakwah. Puisi menjadi alat untuk menyebarkan kebaikan. Dalam lingkup yang lebih luas, kita mengenal sosok Jalaluddin Rumi. Karya-karyanya syarat dengan nilai agama cinta. Matsnawi, karya fenomenal dari Rumi, disebut Seyyed Hossein Nasr sebagai kumpulan puisi mistik Persia paling terkenal. Pembaca puisi-puisi karya Rumi pun berasal dari berbagai agama. Artinya Rumi sukses menyebarkan pesan-pesan agama melalui puisinya. Al Ghazali pun menulis puisi-puisi yang indah. Begitupun ulama-ulama lainnya. Di Indonesia, kita mengenal figur yang puisinya sarat dengan nilai-nilai agama. Selain Gus Mus yang pintar membuat puisi dan melukis, ada nama Taufik Ismail. Puisi-puisinya kerap dijadikan lirik lagu (salah satunya Sajadah Panjang yang dinyanyikan oleh grup band Bimbo). Begitu pun Emha Ainun Najib yang gigih memperjuangkan jilbab melalui kerja-kerja kebudayaannya. Nama-nama sastrawan lain yang karyanya bernuansa religi antara lain Hamzah Fansuri, HAMKA, Kuntowiwijoyo, dsb.
Jika diseksamai, Alquran pun kerap disebut sebagai karya sastra yang diciptakan oleh Allah. Dan Alquran menjadi sumber utama bagi terciptanya karya-karya lainnya. Dengan demikian, ada interaksi yang erat antara agama dengan produk kebudayaan lainnya. Maka sangat tidak relevan mempertentangkan agama dengan kebudayaan. Sebab keduanya saling berkelindan sekaligus mengambil perannya masing-masing. Upaya memisahkan keduanya merupakan kemustahilan seperti halnya menegakkan sehelai rambut yang basah.