Diseminasi Budaya: Menjadi Melayu, Menjadi Islam

Diseminasi Budaya: Menjadi Melayu, Menjadi Islam

- in Narasi
37
0
Diseminasi Budaya: Menjadi Melayu, Menjadi Islam

Desiminasi Budaya ternyata tidak hanya memperkenalkan budaya Melayu sebagai identitas lokal, tetapi juga sebagai identitas agama yang memiliki pengetahuan lokal tentang adat istiadat. Melayu memiliki falsafah tentang Adat bersandikan Syara’, Syara’ bersandikan Kitabullah. Kalimat ini menjelaskan bahwa Suku Melayu merepresentasikan adat melalui syariat yang berlandaskan ajaran Islam.

Melayu menjadikan adat sebagai pengenalan untuk norma sosial pada masyarakat lokal. Seperti hukum adat memiliki nilai kearifan lokal sebagai kontrol sosial bagi masyarakat adat. Masyarakat yang melanggar ketentuan hukum adat akan terkena sanksi berupa denda atau hukuman yang ditentukan oleh masyarakat Adat bagi seseorang pelaku.

Tentu, falsafah juga sabagai symbol bahwa Masyarakat Melayu memiliki jati diri sebagai seorang Muslim yang taat terhadap agama dan norma adat istiadat masyarakat lokal. Dengan berlandaskan syara’, Melayu mempertegas bahwa adat diperkenalkan dalam dimensi budaya dan Islam.

Namun demikian, desiminasi budaya Melayu tidak lepas dari pengaruh Islam dan corak kerajaan di setiap dearah. Masukkanya Islam dan perkembangan budaya Melayu dimulai pada abad ke 16 saat suku Dayak mengakui Islam (King, 1972). Desiminasi budaya Melayu juga dapat dilihat dari corak istana kerajaan yang berwarna kuning, melambangan kekuatan symbol Melayu. Dari desiminasi budaya inilah, berkembang peradaban budaya Melayu dan Islam di Indonesia.

Islamisasi dan Budaya di Kalimantan Barat: Antara Asimilasi dan Perkembangan Identitas sosial

Sejarah masuknya Islam di pulau Borneo terkhusus di Kalimantan Barat melalui jalur perdagangan. Para ilmuan Muslim mengatakan bahwa Islam masuk di Kalimantan Barat diperkirakan pada abad ke-15 melalui pedagang Cina di Sambas (Abung et al., 2010). Namun, sebelum itu belum diketahui secara pasti, apakah Islam masuk di Kalimantan Barat pada abad ke-15 atau sebelumnya. Ini dapat dilacak dari penyebaran agama Islam di Sambas yang dibawa oleh Muslim Hanafi.

Tidak hanya itu, perkembangan Islam juga berkembang di daerah hulu pada abad ke-16 yang membuat asimilasi budaya di pulau Borneo (King, 1982). Asimilasi budaya terbentuk karena adanya pengakuan identitas suku dan budaya baru di Kalimantan. Seperti suk Dayak “Maloh” yang dijelaskan oleh King, (1982) bahwa suku Dayak yang memeluk agama Islam mengakui mereka menjadi identitas suku Melayu dan mempraktikkan tradisi dan ritual selayaknya orang-orang Melayu.

Asimilasi yang terbentuk menjadi budaya Melayu berkembang pesat dari setiap daerah. Ini dikarenakan Islam dan Budaya menjadi konsep masyarakat Melayu untuk mengenal sebuah kearifan lokal yang berdasarkan ajaran Islam. Seperti Budaya Robo’ robo’ masyarakat Melayu yang mempraktikkan tradisi dalam ritual keagamaan. Tradisi robo’robo’ biasanya dilaksanakan di bulan safar untuk menjauhkan masyarakat lokal dari bala’ atau bencana. Karena menurut para leluhur Melayu bulan safar adalah bulan yang dipercayai akan menurunkan musibah bagi masyarakat.

Dengan kepercayaan tersebut, masyarakat Melayu melakukan tradisi robo-robo dengan makan bersama, sedekah laut, serta membaca doa selamat dan tolak bala’. Ada juga yang melakukan dengan cara duduk saprahan di depan rumah dengan jamuan makananan dan melakukan doa secara Islami. Tradisi ini mencerminkan identitas sosial masyarakat Melayu yang selalu berkaitan tentang budaya dan ajaran Islam.

Islam dan Pengetahuan Tradisional di Melayu

Suku Melayu memiliki pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan praktik bacaan doa secara Islami. Hal ini dikarenakan praktik secara Islami digunakan untuk kepercayaan lokal masyarakat adat Melayu. Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman spiritualitas para leluhur yang hidup di daerah pedalaman. Mereka memiliki pengetahuan tradisional yang diwarisi kepada anak cucuk di masa depan. Seperti tradisi bercocok tanam.

Masyarakat Melayu yang suka menanam padi biasanya memiliki kepercayaan warisan yang diberikan oleh roh leluhur yaitu; 1) wanita yang menstruasi atau haid tidak boleh menanam padi di sawah, karena alasan dapat memperhambat kesuburan dan kematian padi; 2) menanam padi memiliki etika seperti melaksanakan sholat, harus khusuk dan tenang; 3) adanya bacaaan doa secara Islami yang dipraktikkan untuk keberhasilan tanaman (Harnianty, 2023).

Tradisi ini dilakukan untuk mengingat bahwasahnya warisan leluhur masyarakat Melayu memiliki pengetahuan tradisional. Pengetahuan ini menjadi kearifan lokal yang berkembang sampai saat ini.

Kearifan lokal yang berkaitan dengan pengetahuan tradisional membuat nilai-nilai toleransi pada masyarakat. Hal ini dikarenakan bahwasahnya pengetahuan tradisional memiliki manfaat untuk masyarakat lokal yang hidup berdampingan.

Mereka memiliki solidaritas untuk menjaga pengetahuan tradisional dari perkembangan zaman. Apalagi, nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung didalamnya. Seperti toleransi antar masyarakat Melayu yang menghargai warisan leluhur untuk saling menjaga nilai-nilai kearifan lokal. Dengan adanya kepercayaan lokal, masyarakat Melayu tumbuh untuk mempertahankan kehidupan yang berbudaya dan berlandaskan norma-norma agama Islam.

Strategi Mempertahankan Adat Melayu

Masyarakat Melayu memiliki strategi dalam mempertahankan adat dan tradisi pada masyarakat lokal. Strategi bertahan digunakan untuk memperkuat nilai-nilai kearifan lokal di era modern. Masyarakat Melayu memperkuat nilai-nilai kearifan lokal dengan cara melestariakan adat istiadat. Seperti hukum adat, kesenian, ritual, kebudayaan, tradisi, dan karakter orang-orang Melayu.

Adat istiadat yang digunakan oleh masyarakat Melayu berkembang di zaman modern. Perkembangan ini akan mengakibatkan adanya revitalisasi atau juga meniggalkan adat istiadat lama yang diwarisi oleh leluhur. Untuk mempertahankan adat istiadat Melayu perlu adanya strategi lokal dalam kehidupan masyarakat. Strategi ini mencangkup dengan budaya (Kaul, 2019).

Strategi Budaya yaitu mengenalkan kembali budaya-budaya Melayu melalui Festival dan lomba kebudayaan di setiap dearah. Festival bisa dilakukan di setiap kota-kota besar. Seperti di Kalimantan Barat yang mengadakan festival budaya Melayu di Pontianak. Dalam festival Melayu, masyarakat lokal diundang untuk memerkan tradisi lokal masing-masing daerah seperti Pantun, syair gulung, permainan tradisional, obat-obatan, kesenian dan juga makanan khas suku Melayu.

Festival tersebut biasanya bertujuan untuk mempertahankan nilai-nilai lokal masyarakat suku Melayu yang perlahan mulai ditinggalkan oleh masyarakat setempat. Selain itu, strategi budaya yang digunakan dalam sebuah festival akan memberikan nilai-nilai moral seperti karakter sopan santun orang Melayu dalam menjaga etika kehidupan di masyarakat lokal. Sedangkan strategi budaya Melayu dalam lomba di masyarakat lokal seperti lomba sampan.

Masyarakat Melayu biasanya melaksanakan tradisi lomba sampan saat idul fitri berlangsung. Biasanya dilaksanakan setelah satu hari sholat idul fitri. Dalam tradisi lomba sampan, masyarakat melakukan ritual-ritual tradisional untuk meminta doa kepada Sang Kuasa untuk kelancaran agenda yang mereka lakukan. Ritual tersebut dipersembahkan kepada roh leluhur sebagai penghormatan karena masyarakat lokal sedang melakukan tradisi-tradisi leluhur.

Biasanya sebelum melakukan tradisi lomba sampan, ada ketua adat atau sesepuh yang membawa ritual buang-buang ke sungai dan ke darat. Ritual ini sejenis tumbukan makanan dan bahan-bahan seperti telur, nasi kepal bewarna putih dan kuning, daun rokok, daun sirih, dan kapur sirih. Bahan-bahan ini kemudian dibacakan dengan kalimat “bismillah” dan di letakkan di sungai tempat tradisi lomba sampan dilaksanakan.

Setelah itu baru adanya tepung tawar yang dilakukan dengan membaca doa selamat dan tolak’ bala’ untuk kelancaran tradisi masyarakat Melayu. Srategi ini digunakan untuk mempertahankan adat istiadat masyarakat lokal yang diwarisi oleh leluhur melalui adat bersandikan syara’ syara’ bersandikan kitabullah.

Facebook Comments