Persekusi Non-Muslim: Cerminan Sikap Memusuhi Nabi

Persekusi Non-Muslim: Cerminan Sikap Memusuhi Nabi

- in Faktual
4
0
Persekusi Non-Muslim: Cerminan Sikap Memusuhi Nabi

Belum kering ingatan kita tentang kejadian pembubaran dengan kekerasan terhadap retreat pelajar di Sukabumi, beberapa hari yang lalu kita disuguhi dengan pemandangan yang sama di Kota Padang. Segerombolan orang tanpa nurani memaksa, merusak dan menyakiti hati yang berbeda agama. Itukah cara kita sebagai umat Islam memperlakukan umat lain yang berbeda keyakinan?

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda dengan tegas,“Barang siapa yang menyakiti orang dzimmi, maka aku menjadi lawannya pada hari kiamat.”Sabda ini bukan hanya peringatan keras, tetapi juga menunjukkan posisi keberpihakan Nabi Muhammad terhadap kaum minoritas yang hidup damai di tengah masyarakat Muslim. Rasulullah menempatkan dirinya sebagai pelindung moral dan spiritual bagi setiap orang yang dilindungi syariat, termasuk orang-orang non-Muslim yang tak mengusik kedamaian.

Hadis ini tidak berdiri sendiri. Dalam riwayat lain dari Imam al-Bukhari, Nabi bersabda,“Siapa yang membunuh seorang dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga bisa tercium sejauh perjalanan 40 tahun.”Hadis ini menunjukkan larangan keras terhadap kekerasan kepada orang non-Muslim yang hidup damai, dan memberikan ancaman spiritual yang sangat serius terhadap para pelaku kekerasan itu.

Ketika kita melihat praktik-praktik persekusi terhadap non-Muslim hari ini baik berupa pelarangan ibadah, intimidasi, kekerasan, atau diskriminasi atas nama agama itu bukan hanya pengkhianatan terhadap nilai-nilai konstitusi, tapi juga pengkhianatan terhadap semangat kenabian. Perusakan tempat pengajaran agama dan doa yang di dalamnya ada anak-anak sebagaimana di Kota Padang sungguh sikap yang sangat melampaui batas.

Realitas sosial keagamaan Indonesia hari ini, masih sering kali menyaksikan tindakan persekusi terhadap kelompok minoritas dengan dalih “mengganggu kenyamanan”. Ironisnya, tindakan ini acap kali dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam. Namun, bila kita jujur dan merujuk langsung kepada ajaran Islam yang otentik, maka sikap persekutif itu sama sekali tidak mewakili ajaran Nabi Muhammad, bahkan bisa dikatakan sebagai sikap yang memusuhi Nabi secara langsung, sebagaimana ditegaskan dalam hadis di atas.

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia, terlepas dari latar belakang keyakinannya. Prinsipla ikraha fid-din(tidak ada paksaan dalam beragama) adalah fondasi etis Islam yang universal. Rasulullah SAW sendiri hidup berdampingan dengan berbagai komunitas di Madinah—Yahudi, Nasrani, dan suku-suku Arab lainnya—dalam Piagam Madinah yang menjadi model awal masyarakat multikultural dan plural. Tidak ada satu pun catatan yang menunjukkan bahwa Nabi pernah melakukan persekusi kepada non-Muslim hanya karena keyakinan mereka berbeda.

Pengetahuan Dangkal, Minim Tabayun

Lalu, mengapa hari ini sebagian umat Islam justru menjadikan agama sebagai alat untuk menebar teror kepada yang berbeda? Jawabannya ada pada penyimpangan paham. Sebagian kelompok telah mengadopsi tafsir keagamaan yang sempit, eksklusif, dan intoleran. Mereka meyakini bahwa hidup bersama yang berbeda keyakinan adalah ancaman, bukan rahmat. Mereka menafsirkan al-Qur’an dan hadis secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteks sejarah, maqashid syariah (tujuan-tujuan luhur syariat), dan realitas sosial.

Kondisi ini diperparah dengan masifnya disinformasi di ruang digital. Media sosial menjadi lahan subur bagi propaganda kebencian. Sering kali, narasi-narasi kebencian terhadap non-Muslim dibalut dengan dalih “menjaga akidah” atau “melawan misi pemurtadan”, padahal sesungguhnya lebih banyak dipenuhi hasutan dan fitnah. Dalam konteks ini, umat Islam harus melakukantabayyun, sebagaimana perintah al-Qur’an dalam QS al-Hujurat:6,“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti…”.

Kita juga diingatkan dalam QS al-Nahl:43,“Bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”Dalam era banjir informasi digital saat ini, penting bagi umat Islam untuk merujuk pada ulama yang kredibel dan otoritatif, bukan pada tokoh-tokoh instan yang hanya populer karena viralitas semata. Kredibilitas keilmuan dan rekam jejak harus menjadi tolok ukur, bukan hanya kemahiran retorika atau jumlah pengikut di media sosial.

Menangkal persekusi dan intoleransi terhadap non-Muslim bukan hanya tugas negara, tetapi juga kewajiban moral dan spiritual umat Islam. Pendidikan agama harus diarahkan untuk membentuk sikap welas asih, keterbukaan, dan penghormatan terhadap sesama manusia. Kita tidak bisa membiarkan agama digunakan sebagai tameng untuk tindakan keji dan melawan nilai-nilai kemanusiaan.

Persekusi terhadap non-Muslim adalah pengkhianatan terhadap ajaran Islam, dan lebih dari itu, merupakan bentuk permusuhan terhadap Nabi yang dalam hadisnya telah mengingatkan,“Aku sendiri yang akan menjadi lawan orang yang menyakiti mereka di hari kiamat.”Maka, jika kita mencintai Nabi, maka kita harus mencintai juga nilai-nilai yang diperjuangkannya: keadilan, kedamaian, dan kasih sayang bagi seluruh umat manusia.

Facebook Comments