urip iku entut
gak urusan jawa utawa tionghoa
muslim utawa Buddha
kabeh iku padha
neng ngendia ae tetep entut
terus geneya padha rebut?
—Semar Mubal, Heru Harjo Hutomo
Di sebuah gelaran karawitan, seorang yang tahu bahwa saya adalah seorang yang pernah bersekolah filsafat, mengatakan bahwa sebenarnya orang-orang Jawa itu menyembah leluhur, yang dikenal dengan sebutan “Eyang.”
Saya pun tak menampik penafsiran semacam itu ketika istilah “leluhur” hanyalah pengembangan lebih lanjut dari istilah “luhur” yang merujuk pada sesuatu yang tinggi atau tak terbandingkan, dan juga ketika istilah “Eyang” itu hanyalah pengembangan lebih lanjut dari istilah “Hyang” sebagaimana dalam ungkapan “Hyang Widhi Wasa,” “Hyang Manon,” dsb.
Terkait dengan masalah itu saya pun pernah menemukan bahwa pagelaran wayang purwa Jawa, yang dikenal dengan istilah “wayangan,” adalah sebentuk laku sembahyang atau “Ma-Hyang” yang secara sekilas berkaitan dengan kisah-kisah masa silam (Ma-Hyang: Keterlibatan yang Silam Pada yang Mendatang, Heru Harjo Hutomo, CV. Kekata Group, Surakarta, 2020).
Dalam paramasastra Jawa, suku kata “ma” merujuk pada kata kerja-kata kerja aktif sebagaimana istilah “mantuk,” yang berarti pulang, yang tentu saja dapat dibedakan dengan istilah “ngantuk.” yang berarti mengantuk, meskipun keduanya tak pula dapat diceraikan.
Maka, istilah “Ma-Hyang” yang dahulu untuk menyebut pagelaran wayang purwa adalah setara dengan laku sembahyang, menuju Hyang atau Tuhan, atau lebih tepatnya meditasi ketika Tuhan di sini dikonsepsikan sebagai yang tanpa arah tanpa tempat (tanpa arah tanpa enggon).
Ketika orang-orang Jawa dianggap menyembah leluhur, “Ma-Hyang,” ketika itu pula mereka sebenarnya tengah mempraktikkan kategori “anak saleh” yang dalam agama Islam menjadi penekanan dalam masalah keluarga.
Namun, tentu saja terdapat perbedaan pemahaman terkait dengan bentuk kesalehan dan bagaimana meletakkan orangtua ataupun leluhur antara orang-orang Jawa dan umat Islam yang syari’ah-oriented. Ketika yang pertama lebih menekankan perihal keseluruhan proses sangkan-paran, maka yang kedua terkait dengan segala hal yang dapat berbalik pada diri sendiri (budi luhur): mendoakan, mengharumkan nama mereka, dsb.
Ada satu pandangan dalam kebudayaan Jawa yang meletakkan peran orangtua atau leluhur sebagai salah satu fase dari keseluruhan sangkan-paraning dumadi yang dilakoni oleh seorang anak manusia, yang karenanya, wajarlah ketika mereka lalu mendapatkan penghargaan khusus dengan segala bentuknya yang ada.
Tentang siapa dan bagaimana orangtua ataupun leluhur itu bukan pula menjadi sebuah persoalan dalam konsep sangkan-paraning dumadi. Entah mereka muslim ataupun non-muslim, Tionghoa ataupun Madura, salah satu fase dimana orangtua ataupun leluhur itu mengambil peran adalah sebentuk proses keinsanan yang berlaku sama kapan saja dan di mana saja.
Dengan demikian, jelas toleransi terhadap perbedaan identitas (etnis, agama, politik, budaya) adalah konsekuensi logis dari konsep sangkan-paraning dumadi dimana Ma-Hyang menjadi lakunya. Di samping itu, jelas pula tanpa menjadikan perbedaan identitas sebagai sebuah persoalan, toleransi adalah juga sebentuk nilai kesalehan tersendiri.