Sebagai bangsa yang besar dan majemuk dari sisi kebudayaan dan keagamaan, salah satu tantangan terberat Indonesia adalah ancaman intoleransi bahkan konflik sosial. Ancaman itu pernah mengemuka di awal era Reformasi ketika sejumlah daerah di Indonesia dilanda konflik sosial berlatar isu SARA.
Kini, dua dekade pasca Reformasi, konflik horisontal berlatar isu SARA nisbi bisa dikendalikan. Namun, ancaman lain datang dari maraknya penyebaran narasi radikalisme dan ekstremisme berbaju agama. Penyebaran paham radikal dan ekstrem keagamaan telah menjadi semacam bahaya laten bagi bangsa.
Radikalisme dan ekstremisme adalah hambatan terbesar bangsa ini dalam mencapai masa kejayaan atau keemasan.
Bagaimana tidak? Virus radikalisme dan ekstremisme menyebar di seluruh lini kehidupan dan kelompok masyarakat. Saat ini nyaris tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang steril dari paparan ideologi radikal.
Bahkan, virus radikalisme-ekstremisme kini menyebar di kalangan birokrat pemerintahan, pegawai BUMN, dan profesional kelas menengah lainnya. Tidak hanya itu, virus radikalisme-ekstremisme juga menyebar di kalangan milenial dan generasi Z.
Paham radikal dan ekstrem berbaju agama tidak boleh disikapi permisif. Diperlukan sinergi semua pihak dalam mencegah meluasnya penyebaran paham radikal. Di titik ini, pelibatan perempuan menjadi penting. Ada tiga peran yang sekiranya bisa dilakukan perempuan dalam mencegah meluasnya paham ekstremisme dan kekerasan.
Pertama, mencegah sejak gini penyebaran paham kebencian, intoleran, dan kekerasan sejak dari keluarga. Sebagai ibu, perempuan memiliki otoritas untuk membentuk karakter anak. Pola asuh anak di dalam keluarga akan sangat menentukan watak anak di masa depan.
Peran penting ibu di fase awal kehidupan yakni lima tahun pertama sangat menentukan. Di fase ini, ibu harus memberikan perhatian tidak hanya pada aspek tumbuh kembang fisik. Melainkan juga perkembangan psikis dan sosial anak. Sejak dini, anak harus diajarkan sikap welas asih, menerima perbedaan, dan memperlakukan orang yang berbeda dengan setara.
Kedua, aktif dalam membangun dan menyebarluaskan narasi kontra-ekstremisme baik di dunia nyata maupun maya. Perempuan memiliki posisi strategis untuk menyuarakan narasi kontra-ekstremisme, apalagi di dunia maya. Selama ini, banyak perempuan aktif di media sosial dan menjadi Influencer yang opini serta pendapatnya dijadikan panutan publik luas. Posisi sebagai pemengaruh ini idealnya digunakan untuk membangun kesadaran publik ihwal bahaya radikalisme dan ekstremisme kekerasan.
Di dunia nyata, peran perempuan membangun narasi kontra ekstremisme bisa dilakukan dengan membangun ketahanan bersama terhadap paparan virus kebencian dan permusuhan yang dikemas dalam nuansa agama.
Dalam masyarakat kita, perempuan umumnya lebih aktif dalam kegiatan sosial ketimbang laki-laki. Berbagai kegiatan keperempuanan seperti perkumpulan PKK, majelis taklim, dasawisma, arisan, dan sebagainya idealnya mampu menjadi sarana membangun ketahanan masyarakat terhadap infiltrasi paham radikal-ekstrem.
Ketiga, berperan dalam upaya deradikalisasi yakni menyadarkan pelaku teror dan kekerasan agar kembali ke jalan yang benar sesuai hukum agama dan negara. Peran perempuan dalam deradikalisasi sangat diperlukan karena nyatanya banyak anggota dan simpatisan gerakan terorisme yang juga perempuan. Kesamaan identitas, pengalaman, dan latar belakang kiranya bisa menjadi jembatan yang membuka kesadaran para pelaku teror untuk kembali setia berikar pada NKRI.
Keempat, menjadi agen moderasi beragama. Yaitu praktik dan paradigma keagamaan yang menjunjung tinggi pluralitas, ramah pada budaya lokal, dan anti-kekerasan. Peran perempuan sebagai agen moderasi beragama dapat dimulai dari ranah terkecil, yakni rumah tangga. Penting bagi seorang ibu untuk menjadi contoh atau role model keberagamaan yang moderat. Misalnya dengan menanamkan tafsir keagamaan yang inklusif dan toleran pada anak sejak dini.
Tanpa bermaksud mendeskreditkan laki-laki, namun pelibatan perempuan dalam mencegah penyebaran paham radikal-ekstrem ini merupakan hal urgen. Ada setidaknya — alasan mengapa perempuan harus dilibatkan bahkan ada di barisan depan pencegahan radikalisme dan ekstremisme.
Pertama, perempuan memiliki sifat feminim yang identik dengan sikap lembut, sabar, dan telaten. Itu bukan berarti membenarkan stereotipe bahwa perempuan adalah makhluk perasa alias sensitif sementara laki-laki adalah makhluk yang rasional.
Aspek feminim perempuan adalah hal yang fitrah. Perempuan memiliki insting alamiah untuk mendengarkan, berempati, dan bersimpati atas penderitaan orang lain. Hal ini kiranya bisa menjadi modal dalam membangun komunikasi atau jembatan dengan kelompok konservatif atau radikal.
Kedua, perempuan juga memilikinya naluri keibuan yang cenderung melindungi dan tidak menghakimi. Sifat keibuan ini efektif dalam merangkul kelompok konservatif dan radikal tanpa menimbulkan kecurigaan atau resistensi berlebihan. Segala kelebihan perempuan itu kiranya cukup menjadi alasan melibatkan mereka dalam pencegahan ekstremisme dan kekerasan.