Salah satu kelompok terbesar pengguna media sosial adalah perempuan. Laporan dari lembaga riset Napoleon Cat pada tahun 2021 menyebutkan bahwa jumlah pengguna Instagram di Indonesia 56 persennya merupakan perempuan.
Sedangkan sisanya yakni 44 persen merupakan laki-laki. Data yang kurang lebih sama juga tampak pada pengguna aplikasi TikTok. Mayoritas pengguna aplikasi asal negara Tirai Bambu itu adalah perempuan dari ragam usia. Mulai dari anak-anak, remaja, muda, dewasa, hingga lansia. Profil pengguna TikTok pun beragam mulai dari kalangan profesional hingga masyarakat biasa.
Fakta ini sebenarnya menyiratkan dua hal yang kerap bertolak belakang. Di satu sisi, fenomena ini menandai bahwa perempuan kian adaptif pada teknologi digital. Adaptasi teknologi digital ke dalam kehidupan perempuan menunjukkan bahwa perempuan kini lebih bebas dalam mengekspresikan diri.
Namun, di saat yang sama kita juga mengatahui ada banyak perempuan yang menjadi korban kejahatan dunia digital. Mulai dari penipuan online, perdagangan manusia, hingga infiltrasi paham radikal-ekstrem. Poin yang disebut terakhir ini marak terjadi belakangan ini.
Kepala Densus 88 dalam sebuah diskusi mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah masyarakat yang tergabung dengan ISIS karena propaganda di dunia digital. Disebutkan bahwa selama dua tahun terakhir ada setidaknya 1000 orang Indonesia menyatakan berbaiat pada ISIS. Ironisnya, sebagian di antaranya merupakan perempuan.
Empat Langkah Awal Edukasi Damai di Ranah Digital
Sebagai kelompok pengguna media sosial terbesar, perempuan memang rawan terpapar kejahatan online termasuk infiltrasi paham radikal. Keterpaparan itu bisa jadi bukan hal yang disengaja. Awalnya, perempuan barangkali hanya ingin sekadar mencari hiburan atau informasi melalui media sosial. Namun, lantaran minimnya pengetahuan, atau saking lihainya kelompok radikal dalam menjerat mangsa, banyak perempuan akhirnya jatuh ke jebakan gerakan radikal.
Berdasar pada fakta tersebut, urgen kiranya mendorong perempuan untuk aktif mengampanyekan edukasi damai melalui media digital. Salah satunya agar perempuan yang aktif di media digital memiliki daya tahan terhadap narasi intoleransi dan radikalisasi yang belakangan marak di dunia maya.
Edukasi damai berbasis media digital tentu harus direncakan secara komprehensif, dalam artian tidak bisa dilakukan secara instan. Diperlukan setidaknya beberapa langkah awal. Pertama, observasi yakni mengenali problem-problem yang mengemuka di media sosial, utamanya terkait penyebaran narasi kebencian, provokasi dan adu-domba.
Kedua, menyusun gagasan ihwal apa yang harus disampaikan untuk mengatasi persoalan tersebut. Ketiga, meluncurkan semacam pilot project awal berisi narasi edukasi damai di media sosial. Keempat, menduplikasi model edukasi damai yang sebelumnya telah berhasil dilakukan di media sosial.
Setelah langkah-langkah awal itu terpenuhi, langkah selanjutnya adalah menggencarkan kampanye edukasi damai di media sosial. Cara paling mudah adalah memproduksi konten-konten yang secara eksplisit mengampanyekan gagasan toleransi, inklusivisme, nasionalisme, dan wacana kebangsaan lainnya.
Sterilisasi Dunia Maya dari Narasi Intoleransi dan Radikalisasi
Konten yang dimaksud tentu meliputi teks (artikel, infografis, meme, dan sejenisnya), serta konten audio-visual seperti video pendek, siniar (podcast), dan sebagainya. Konten yang mengampanyekan toleransi dan inklusivisme tentu harus dikemas seringan dan semenarik mungkin layaknya kultur dalam ekosistem media sosial.
Tersebab, sasaran kampanye di media sosial tidak spesifik mengarah pada segmen kelompok masyarakat tertentu. Melainkan berusaha meraih perhatian sebanyak mungkin segmen demografis dan sosiologis. Maka, diperlukan bahasa dan gaya komunikasi yang bisa dipahami oleh seluruh kelompok masyarakat.
Langkah selanjutnya, adalah distribusi konten melalui platform media sosial. Dalam hal ini, kita perlu memikiu platform media sosial yang sesuai dengan karakter para penggunanya. Misalnya, kampanye edukasi damai di Facebook idealnya dilakukan dengan media tekstual seperti artikel pendek atau semi-panjang.
Hal ini karena mayoritas pengguna Facebook adalah generasi tua yang adaptif pada bahasa tekstual. Sedangkan kampanye edukasi damai di TikTok, Instagram, atau YouTube idealnya menggunakan video pendek. Tersebab, ketiga platform itu lebih banyak diakses oleh kaum milenial dan gen Z yang lebih condong menyukai konten audio-visual.
Pada prinsipnya, edukasi damai di dunia maya merupakan tanggung jawab bersama seluruh masyarakat. Hanya saja, pelibatan perempuan dalam kampanye edukasi damai di dunia digital menjadi urgen dan signifikan lantaran perempuan merupakan kelompok pengguna medsos terbesar di Indonesia.
Bisa dibayangkan jika para perempuan tampil dan berpartisipasi aktif dalam edukasi damai di ranah digital. Besar kemungkinan narasi kebencian dan permusuhan di media sosial akan bisa ditekan ke angka paling minimal.