Etika Dakwah dalam Islam di Tengah Kemajemukan

Etika Dakwah dalam Islam di Tengah Kemajemukan

- in Narasi
388
0
Etika Dakwah dalam Islam di Tengah Kemajemukan

Umat Islam di tengah masyarakat yang plural, seperti di Indonesia, diuji dengan realitas pluralitas masyarakat; agama yang berbeda, demikian pula suku, etnis dan budaya. Kalangan muslim moderat sukses melalui ujian tersebut karena dalam pandangan mereka pluralisme adalah hakikat kehidupan yang di desain Tuhan.

Tapi, tidak sedikit muslim yang tidak lolos uji kompetensi beragama. Menyangka perbedaan adalah musuh agama, bahwa ajaran agama memerintahkan untuk menghapus setiap perbedaan. Alhasil, dari kalangan muslim seperti ini muncul dai-dai yang menyampaikan ceramah keagamaan dengan materi-materi yang provokatif.

Atas nama agama, setiap ceramahnya menyelipkan nuansa intimidasi terhadap penganut agama yang berbeda, bahkan intimidasi itu juga menyasar kelompok muslim lain yang berbeda penafsiran atau madhab. Tak hanya sebatas itu, bahkan tebaran kebencian kepada kelompok yang berbeda aliran atau agama diniscayakan sebagai jihad.

Kemunculan dai-dai bertabiat buruk tersebut berbahaya. Mafsadat (kerusakan) yang ditimbulkan berdampak tidak hanya terhadap keagungan agama, namun petaka bagi kemanusiaan. Ceramah keagamaan yang seharusnya berisi keluhuran akhlak dan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, berubah menjadi ceramah keagamaan yang bernuansa sarkasme dan satirisme tuduhan sesat terhadap orang berbeda.

Kenapa bisa terjadi? Jawabannya: mereka abai terhadap wahyu yang pertama kali turun kepada Rasulullah, yakni perintah untuk membaca (iqra’). Kurang membaca literatur yang menjadi sumber ilmu pengetahuan agama menjadi masalah bagi muslim, apalagi jika dirinya hendak berdakwah. Kesalahan itu bukan hanya menimpa dirinya, namun menular kepada muslim yang lain.

Etika Berdakwah dalam Islam

Panutan terbaik umat Islam tentu hanya Nabi. Demikian pula panutan dalam berdakwah, Rasulullah adalah teladan terbaik bagi da’i atau mubaligh. Beliau mendapat didikan langsung dari Allah, sebagaimana ayat al Qur’an berikut.

“Serulah (manusia) menuju jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik”. (QS. an Nahl: 125).

Ayat di atas memberikan pelajaran tentang metode berdakwah. Al Alusi dalam Tafsir Ruhul Ma’ani, menjelaskan bahwa dakwah dengan penuh hikmah dipakai untuk kalangan non muslim intelektual yang cerdas. Mereka yang memiliki jiwa mulia dan akal cerdas, sehingga mudah menerima kebenaran agama Islam.

Sedangkan bagi manusia awam, mereka yang memiliki akal yang sempit dan jiwa yang hina, metode dakwah yang digunakan adalah pengajaran yang baik dan teladan yang baik.

Bagi kelompok yang fanatik buta terhadap agama nenek moyang, senang berdebat tentang kebenaran dan membantah kebenaran agama Islam, metode yang dipakai bukan dakwah penuh hikmah dan suri tauladan yang baik melainkan dakwah dengan mengajukan dalil-dalil yang lebih rasional dan argumentatif.

Namun perlu dicatat, lanjut Al Alusi, perdebatan Nabi dengan mereka tetap berlangsung baik, tidak ada kata-kata kasar, hinaan dan cacian. Dari lisan Baginda Nabi tidak pernah keluar perkataan kasar yang menyakiti, hanya dalil dan argumen tentang keluhuran dan kebenaran ajaran Islam.

Sejatinya para dai di era sekarang bersikap demikian. Menyampaikan kebenaran agama Islam tidak dengan cara menaci agama lain dan kelompok sesama agama yang beda aliran. Dalam berdakwah dilarang untuk memprovokasi yang berakibat timbulnya perpecahan di kalangan umat Islam sendiri. Hal ini biasanya muncul karena pemahaman agama yang rigit, normatif dan eksklusif yang memandang kebenaran hanya ada di pihaknya sesuai dengan pemahaman keagamaan yang dipahami. Ini merupakan kesalahan karena bertentangan dengan ayat al Qur’an.

Dalam al Qur’an dikatakan: “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat adzab yang berat”. (QS. Ali Imran: 105).

Ayat ini, sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakar al Adni dalam Fiqhud Dakwah fil Marhalatil Mu’ashirah, menyiratkan pesan bahwa dakwah harus disampaikan oleh muslim yang benar-benar mengerti ajaran agama Islam. Otoritas menyampaikan ajaran Islam hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kealiman pengetahuan keagamaan, bukan karena kepopuleran.

Pesan kedua dari ayat di atas, materi ceramah harus berisi tantang kebaikan, harus disampaikan dengan penuh kebaikan tanpa kekerasan. Sebab kekerasan hanya akan menimbulkan permusuhan dan perpecahan. Begitulah yang disampaikan oleh Habib Abu Bakar al Adni.

Dari penjelasan tersebut, sejatinya ajaran Islam sangat menekankan dakwah secara baik, tidak memprovokasi seperti kebanyakan dai di media sosial, juga tidak menyalahkan kelompok lain yang berbeda keyakinan, berbeda madhab dan tafsir. Berdakwah adalah menyampaikan kebenaran, bukan menebarkan kebencian yang justru kebenaran Islam semakin ditinggalkan dan tidak diindahkan.

Facebook Comments