Pendakwah juga Bertanggungjawab Tanamkan Wawasan Kebangsaan kepada Umat

Pendakwah juga Bertanggungjawab Tanamkan Wawasan Kebangsaan kepada Umat

- in Wawancara
412
0
Pendakwah juga Bertanggungjawab Tanamkan Wawasan Kebangsaan kepada Umat

Banyaknya pendakwah di media sosial yang tenar dan viral mendadak menjadi persoalan. Hanya bermodal ayat dan hadist dengan kemampuan sedikit, tetapi mempunyai banyak pengikut. Padahal, seorang pendakwah di samping harus mempunyai kompetensi keilmuan keagamaan yang kuat, juga mempunyai tanggungjawab untuk menanamkan nilai dan wawasan kebangsaan kepada umatnya. Berikut petikan wawancara redaktur Pusat Media Damai, Reza, dengan Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum. Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI).

PMD : Bagaimana peran pendakwah atau dai dalam menanamkan wawasan kebangsaan bagi umat yang mengikutinya?

M. Syarif: Perannya sangat penting, sangat sentral, dan sangat signifikan bagi para pengikutnya ya, para followernya. Karena sekarang ini dai kan punya pasarnya sendiri-sendiri, dai A punya pengikut sendiri, dai B punya pengikut sendiri yang bisa jadi satu sama lain, tidak saling beririsan, tapi bisa jadi juga satu sama lain saling beririsan. Tapi poin pentingnya bahwa peran dai itu sangat penting sekali dalam menanamkan berbagai nilai, apalagi nilai yang berhubungan dengan wawasan kebangsaan.

Ini kan penting wawasan kebangsaan ini juga menjadi tanggung jawab dan menjadi juga kewajiban para dai untuk ditanamkan kepada siapapun terutama kepada pengikutnya. Karena dai-dai ini sudah menjadi trendsetter, apa yang dikatakan, apa yang dilakukan, akan diikuti oleh para pengikutnya apalagi follower-nya. Dalam konteks wawasan kebangsaan ini, peran dai itu tidak bisa dikecilkan juga karena wawasan kebangsaan ini, apabila misalkan seorang dai mempunyai follower sekian juta, mempunyai follower sekian ratus ribu, itu mempunyai daya ubah dalam menanamkan wawasan kebangsaan ini.

Sebaliknya apabila umat atau jamaah ini mengikuti dai yang wawasan kebangsaannya rendah atau dia anti wawasan kebangsaan, menanamkan nilai-nilai kebencian terhadap negaranya, terhadap tanah airnya, itu akan sangat signifikan juga mengubah cara pandang pengikutnya yang terekspos setiap hari dengan materi-materi dakwah yang di-share di media sosial atau konten-kontennya bisa ditemukan di media sosial dengan mudah oleh para pengikutnya, para jamaahnya, dan para follower-nya.

Reza: Dalam rangka memelihara moderasi beragama, kenapa program sertifikasi penceramah dianggap relevan dengan kebutuhan Indonesia?

M. Syarif: Ya, sangat relevan sekali dalam konteks kebutuhan di Indonesia karena Indonesia ini sangat mudah seorang disebut dai, sangat mudah orang disebut penceramah, ustad, dan lain sebagainya yang intinya dianggap sebagai ahli agama. Ngomong agama sedikit di medsos selalu diberikan gelar ustad, diberikan gelar dai, ya seperti tidak ada alat ukur yang pasti bagi para orang yang bicara agama untuk menyampaikan agama, materi agama atau materi dakwah aman dan tidaknya materi itu. Maka ini butuh lembaga-lembaga yang memberikan sertifikasi, memberikan standarisasi kepada para dai agar umat itu aman dalam mengkonsumsi materi dakwah yang disampaikan oleh seorang dai baik yang terekspos di media sosial dari platform mana pun atau pun dalam pertemuan langsung di mimbar-mimbar masjid dan lain sebagainya.

Ini kalau tidak disertifikasi bahaya sekali, kan ya seperti sekarang masih banyak, tidak hanya kompetensi agamanya yang ada yang di bawah standar sekali, bahkan baca Quran masih salah, baca hadis juga masih tidak benar, pemahaman terhadap Quran masih belum tepat, pemahaman terhadap hadis masih belum tepat, apalagi ilmu-ilmu yang mendalam terkait dengan keislaman. Maka memang harus ada lembaga-lembaga yang konsisten, yang punya komitmen tinggi untuk menjaga ini.

Tapi memang ada beberapa ketakutan yang perlu dipahami juga. Ada beberapa pihak yang menolak istilah sertifikasi, karena ada kekhawatiran sertifikasi ini nanti ada campur tangan pemerintah seolah da’i-da’i ini akan disortir berdasarkan kepentingan politik pemerintah seperti zaman Orde Baru dulu. Tapi kalau saya pribadi justru sertifikasi penceramah, sertifikasi da’i itu wajib mestinya semua orang yang naik ke atas bimbar harus kita cek, kita tanya ada sertifikatnya atau tidak, dia tersertifikasi atau tidak, lembaga apa yang menjamin kompetensi dia, dia lulusan dari mana, yang memang dari lembaga-lembaga, dari kampus, dari universitas, dari pesantren yang memang bisa menjamin yang bersangkutan ini adalah orang yang punya kompetensi dalam berdakwah atau menyampaikan materi dakwah dan membicarakan agama dan lain sebagainya. Bukan seperti sekarang, dalam beberapa hal banyak orang yang di-ustad-kan, banyak orang yang di-dai-kan padahal kompetensi kemampuan, kualitasnya dan kemampuan terkait dengan materi keagamaan itu dia masih belum memadai.

Yang penting juga perlu dipahamkan kepada semua terutama yang berhubungan dengan bagaimana memelihara moderasi beragama ini. Ada beberapa lembaga yang sudah mencanangkan istilah sertifikasi da’i, salah satunya adalah da’i yang saya pimpin ADDAI atau Asosiasi Da’i-da’iyah Indonesia itu menyelenggarakan sertifikasi da’i dan da’iyah sudah 3 angkatan. Dan bahkan disebutkan di gelombang pertama itu sebagai sertifikasi da’i moderat. Itu yang perlu diketahui oleh masyarakat bahwa ada lembaga-lembaga independen yang sudah membuat menyelenggarakan sertifikasi da’i.

Lembaga lain, ada IKADI, Ikatan Da’i Indonesia. Ada juga saya lihat kemarin ada pesantren Sidogiri di Pasuruan yang juga membuat istilah standardisasi, bukan sertifikasi. Ini mengikuti model di MUI sebetulnya. MUI tidak menggunakan istilah sertifikasi tapi yang dipergunakan adalah istilah standarisasi. Dalam hemat saya sebetulnya MUI itu tidak semestinya menyelenggarakan kegiatan semacam sertifikasi. Memang lebih baik lembaga-lembaga profesi seperti ADDAI, IKADI dan lembaga-lembaga sejenis atau dari kampus atau dari pesantren yang mengadakan. MUI cukup mensertifikasi lembaga-lembaga yang memberikan sertifikasi da’i itu. Karena dia posisinya sebagai regulator, bukan sebagai penyelenggara. Ini penting untuk memantau, laju lembaga-lembaga yang menyelenggarakan sertifikasi da’i ini. Karena nanti akan banyak muncul lembaga-lembaga yang lain yang dikhawatirkan tidak sesuai standar. Dan mungkin kepentingannya tidak sampai bagaimana menjaga negara ini tetap utuh, moderasi beragama ini tetap berjalan, dan masyarakat mempunyai pandangan wawasan keagamaan yang moderat, yang lebih cinta tanah air dan seterusnya.

Reza: Pada kejadian bergabungnya Hanan Attaki yang sebelumnya dikenal dengan gerakan pemuda hijrahnya ke dalam NU, apakah ini akan berpengaruh ke fans/penggemarnya untuk semakin moderat? Ataukah justru dai yang seperti ini akan ditinggal oleh penggemarnya?

M. Syarif: sehubungan dengan bergabungnya Hanan Attaki ke NU, kemungkinan bisa dua. Bisa juga dai, seperti ustadz Hanan Attaki ini akan ditinggalkan fansnya, followernya yang selama ini membesarkan namanya. Yang pemuda hijrah itu kan kita paham, afiliasinya kan pasti bukan ke NU, gitu ya. Tapi orang-orang di lingkaran Hanan Attaki itu adalah memang mungkin tidak sesuai dengan garis dakwah atau manhaj dakwahnya NU. Mungkin tidak sesuai, karena kalau lihat dari profilnya kan tidak dekat dengan tradisi NU. Jadi ketika Ustaz Hanan Attaki berkabung ke NU, ada kemungkinan itu.

Untuk membuat fansnya atau penggemarnya itu menjadi moderat, ini harus kita lihat dalam beberapa waktu perkembangannya. Kalau misalkan Ustadz Hanan Attaki penggemarnya itu berpaling, itu keren banget dan itu mungkin akan memberikan dampak atau memberikan pengaruh juga sedikit banyak ke followernya terkait dengan dakwah moderat ini.

Tapi kalau misalkan Ustadz Hanan Attaki akhirnya ditinggalkan oleh fansnya, followernya, nah ini yang kemungkinan besar nanti Ustadz Hanan Attaki berpindah followernya bukan di kelompok ini, tapi di kelompok yang lain. Mungkin anak-anak muda NU, gitu ya. Tapi sebetulnya kalau anak muda NU kan tidak memerlukan penambahan wawasan kemoderatan, karena sudah banyak figur-figur muda di NU yang menanamkan hal-hal seperti itu. Tapi ketika Ustaz Hanan Attaki ini masuk ke NU, apakah dia bisa berhasil merebut pangsa pasar dai-dai muda NU yang menanamkan wawasan kebangsaan, wawasan kemoderatan, ya ini masih perlu diuji lebih jauh.

Jadi ini ada beberapa tantangan bagi Ustadz Hanan Attaki ke depan terkait dengan dia bergabung secara terbuka. Ini masalahnya secara terbuka. Di forum yang terbuka, diketahui oleh banyak orang bahkan viral di beberapa platform media sosial, ini akan muncul mungkin sentimen-sentimen dari beberapa orang yang sebelumnya menggemarinya atau sentimen-sentimen dari kelompok-kelompok yang mungkin merasa ditinggalkan oleh Ustaz Hanan Attaki.

Saya juga melihat di media sosial ada sentimen-sentimen yang disampaikan oleh kelompok atau orang-orang yang tidak suka dengan bergabungnya Ustadz Hanan Attaki ke NU secara terbuka. Tapi kalau misalkan Ustadz Hanan Attaki bergabungnya ke NU tidak secara terbuka, tapi secara signifikan menyampaikan wawasan kemoderatan, ya itu mungkin akan memberi dampak secara perlahan ke followernya yang tidak mengetahui bahwa Ustadz Hanan Attaki bergabung ke NU. Tapi sekarang kan yang terjadi faktanya Ustadz Hanan Attaki mengumumkan bergabungnya ke NU secara terbuka sehubungan dengan kasus sebelumnya beliau ditolak di wilayah yang basis pendukung NU dan seterusnya. Ini yang juga perlu kita lihat dalam beberapa waktu, beberapa bulan, atau beberapa tahun ke depan.

Reza: Apa harapan Bapak dalam mewujudkan semangat moderasi beragama, khususnya kepada para penceramah muda di Indonesia?

M. Syarif: Kunci memiliki sikap pandangan moderat dalam beragama itu satu sebetulnya adalah menambah wawasan, menambah ilmu, menambah teman diskusi dan mau menerima perbedaan, memahami perbedaan, memahami adab dalam berbeda, tidak merasa benar sendiri, itu sebetulnya kuncinya. Ketika dari ustadz, kiai, ulama, para penceramah, apalagi penceramah muda punya semangat itu, insya Allah semangat moderasi beragamanya pasti akan terus menyala. Dia selalu mencari hal-hal yang solutif, selalu mencari sesuatu yang kira-kira nilai manfaatnya lebih besar daripada mudharatnya. Selalu juga menyampaikan kebenaran dengan cara yang benar, menyampaikan kebaikan dengan cara yang baik, melarang kemungkaran dengan tidak melakukan kemungkaran. Itu hal-hal yang juga penting dipahami oleh para tokoh agama, para penceramah, para pemuka agama, khususnya penceramah muda yang di Indonesia.

Sekarang kan ada tren bahwa kalau kita ingin viral, kita harus menjadi sangat keras, sangat ekstrem, sangat menyerang sana, menyerang sini, mencaci maki sana, mencaci maki sini, sehingga kita cepat mendapatkan follower. Kita nimbrung dalam perdebatan yang memecah belah, kita memposisikan diri di kubu yang menyerang kubu yang lain supaya dapat follower, supaya dapat cheerleaders dari orang-orang di media sosial masing-masing. Nah, ini berbahaya memang. Pada titik tertentu nanti bisa memunculkan konflik-konflik horizontal yang sudah terjadi juga di negara timur tengah.

Arab Spring itu juga kan sebagian di provokasi dari media sosial kan, sentimen kelompok lain, sentimen tokoh dari kelompok yang lain itu juga dibakar di media sosial. Ini kan gara-gara ada orang-orang tertentu yang ngebet terkenal, ngebet viral, yang membuat dia tidak sabar mengikuti track orang-orang yang berhasil mendapatkan pengikut tapi bukan by design. Betul-betul dia merintis dari nol, dari bawah, memberikan manfaat pada orang banyak dan orang merasakan manfaatnya baru dia menjadi viral dan biasanya seperti ini lebih langgeng viralitasnya. Tapi viral yang memang diniatkan untuk memprovokasi, mencaci maki, menghujat, menyerang kelompok lain dan selesainya seterusnya, yang kemudian nilai moderasi beragamanya menjadi rendah di situ biasanya sekejap saja, setidaknya dalam satu waktu, dalam satu kurun tertentu, ya, periode tertentu, misalkan periode pilpres, periode pilkada, dan lain sebagainya, atau dalam konflik-konflik horizontal.

Ini yang penting dipahami oleh kita semua para tokoh agama, para penceramah, khususnya penceramah muda intinya perlu menambahkan wawasan, perlu menambahkan ilmu, tingkatkan jenjang pendidikan, sering berdiskusi, semakin banyak membaca, ya, semakin banyak berdiskusi dengan orang yang berbeda, ini yang nanti akan memudahkan para penceramah, tokoh agama untuk menerima perbedaan-perbedaan yang ketika itu sudah terjadi, sikap moderasi dalam beragamanya akan tumbuh dengan sendiri.

Facebook Comments