Hijrah Yang Terlupa: Dari Sekat Sempit Menuju Kebersamaan Madani

Hijrah Yang Terlupa: Dari Sekat Sempit Menuju Kebersamaan Madani

- in Narasi
6
0
Hijrah Yang Terlupa: Dari Sekat Sempit Menuju Kebersamaan Madani

Pada malam kamis, 26 Juni 2025 – Jum’at, 27 Juni 2025 umat Islam merayakan tahun baru Hijriyah. Tahun baru Hijriyah 1447 H menandai perjalanan agung yang menjadi titik balik sejarah peradaban Islam yaitu hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah menuju Madinah. Namun, seringkali kita hanya mengingatnya sebagai sebuah pengetahuan sejarah peristiwa perpindahan tempat atau momentum emosial tanpa menggali makna dibalik peristiwa tersebut. Padahal, inti dari hijrah adalah tidak hanya meninggalkan satu daerah menuju daerah yang lain, melainkan transformasi besar yang mengubah kesadaran umat yang tadinya terkukung oleh sifat fanatisme kesukuan menjadi Masyarakat yang madani dan terbuka.

Ironisnya, makna hijrah yang luhur itu justru kerap disalahpahami. Sebagian kelompok radikal memaknai hijrah sebagai dalih untuk membangun narasi eksklusivitas, seolah hijrah adalah panggilan untuk menolak nasionalisme. Mereka lupa bahwa hijrah sejati dilihat dari gerakan nilai, bukan gerakan memisahkan diri. Pada momen inilah kita merefleksikan ulang makna hijrah sebagai inspirasi membangun bangsa beradab, tidak hanya sekedar ritual Sejarah.

Jika kita melihat lebih jauh kebelakang, masyarakat Makkah terjebak dalam fanatisme kesukuan yang keras. Identitas seseorang dilihat dari nama suku, garis keturunan, dan hubungan kekerabatan. Jika seseorang tidak memiliki dukungan kabilah, konsekuensinya adalah mereka akan terpinggirkan. Bahkan, dakwah Rasulullah sendiri banyak mendapat tentangan karena ajarannya meruntuhkan tatanan kesukuan yang sudah mengakar.

Fanatisme melahirkan sikap superioritas, penindasan, dan diskriminasi. Kaum Quraisy, sebagai elite dominan, merasa memiliki hak istimewa atas kebenaran dan kekuasaan. Sementara kelompok miskin, budak, dan mereka yang tak punya nama besar akan tertindas dan berada di posisi terendah.

Dalam konteks inilah hijrah muncul bukan hanya sebagai perpindahan secara jasmani, melainkan sebuah dorongan semangat dalam jiwa untuk menolak struktur sosial yang timpang. Rasulullah meninggalkan Makkah bukan semata-mata karena diusir, melainkan karena ingin membangun peradaban baru yang lebih adil, di mana semua orang dihargai bukan karena status, melainkan karena akhlak dan ketakwaan.

Setelah berhijrah, Rasulullah dan para sahabat tidak membuat komunitas yang tertutup. Sebaliknya, mereka menata masyarakat Madinah menjadi model peradaban yang terbuka. Puncaknya adalah lahirnya Piagam Madinah, yang dianggap sebagai salah satu dokumen konstitusional pertama dalam sejarah umat manusia.

Piagam Madinah memuat pengakuan keberadaan berbagai kelompok yang ada seperti kaum Muhajirin, Anshar bahkan hingga suku-suku seperti Yahudi. Mereka semua diakui sebagai satu kesatuan “umat” yang terikat oleh kesepakatan sosial. Madinah bukan hanya daerah yang didiami oleh umat Islam, akan tetapi daerah bersama yang dibangun di atas asas keadilan, kesetaraan, dan kebebasan beragama.

Dengan cara ini, hijrah Rasulullah tidak hanya dimaknai sebagai simbol sejarah, melainkan dimaknai sebagai pondasi atas proses membangun masyarakat yang bersatu di atas nilai luhur, bukan di atas garis keturunan atau satu agama saja. Inilah sebuah pesan hijrah yang sesungguhnya yang sering terlupakan.

Jika kita melihat keadaan hari ini, makna hijrah sering disalah artikan menjadi slogan perjuangan politik yang tertutup. Sebagian kelompok radikal dan intoleran memaknai hijrah sebagai kewajiban untuk meninggalkan sistem kebangsaan yang tidak sesuai, menolak nasionalisme, dan mendirikan sistem tertutup yang hanya cocok untuk satu kelompok saja.

Mereka menganggap bahwa menjadi umat terbaik adalah dengan menjadi kelompok yang paling benar, paling murni, dan berhak untuk memimpin. Padahal, visi yang dimaksud Rasulullah tentang umat terbaik adalah bukan tentang menjadi siapa yang paling memiliki kekuasaan dan kekuatan, tetapi menjadi teladan dalam menegakkan keadilan, menjaga kejujuran, dan mengedepankan akhlak mulia.

Hijrah dimata umat Islam khususnya Indonesia memiliki makna khusus. Kita hidup di negeri yang penuh dengan keberagaman. Dalam kondisi seperti ini, semangat hijrah seharusnya tidak dimaknai sebagai meninggalkan kebangsaan, tetapi sebagai transformasi dari sikap eksklusif menjadi inklusif.

Pancasila sebagai ideologi bangsa sebenarnya selaras dengan semangat hijrah. Keselarasan tersebut terlihat dari bagaimana Pancasila menekankan pentingnya persatuan, kemanusiaan yang adil dan beradab, serta keadilan sosial. Nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang kering dari nilai-nilai keagamaan, tetapi nasionalisme yang berakar pada budi pekerti, gotong royong, dan penghargaan terhadap perbedaan.

Semangat hijrah yang sesungguhnya adalah ajakan untuk meninggalkan fanatisme sempit, kebencian, serta prasangka dan melangkah menuju masyarakat yang madani. Madani bukan hanya berarti Islam, tetapi juga berarti beradab, di mana masyarakat yang selalu mengutamakan dialog, musyawarah, dan keadilan. Dengan memaknai hijrah seprti ini, kita belajar bahwa menjadi umat terbaik tidak cukup hanya dengan klaim identitas, tetapi harus dibuktikan dengan perilaku santun, jujur, dan adil. Bangsa Indonesia yang madani hanya bisa tercipta jika umat Islam berperan aktif sebagai penggerak persatuan dan penjaga kebersamaan.

Tantangan terbesar kita saat ini adalah terpecah belahnya masyarakat menjadi berbagai macam kelompok yang muncul akibat adanya polarisasi identitas. Media sosial kerap menjadi wajad tumbuh suburnya ujaran kebencian dan fitnah. Di sinilah makna hijrah menemukan titik temunya. Hijrah adalah meninggalkan budaya hoaks, fitnah, dan fanatisme digital, dan berpindah ke budaya kritis, santun, serta bijak bermedia. Kita juga perlu hijrah dari pengakuan atas kitalah yang paling benar menuju sikap rendah hati, bahwa kebenaran sejati hanya milik Tuhan Yang Maha Esa.

Hijrah Rasulullah dari Makkah menuju Madinah bukan sekedar bab-bab dalam buku sejarah keislaman. Ia adalah pesan yang tidak akan lekang oleh waktu untuk mengabarkan kepada seluruh umat manusia bahwa perubahan besar selalu lahir dari keberanian meninggalkan sikap lama yang sempit, menuju tatanan baru yang berkeadilan. Tahun baru hijriyah seharusnya menjadi momen untuk kita merefleksikan diri, sudahkah kita berhijrah dari fanatisme menuju kebersamaan? Sudahkah kita membangun Madinah kecil di lingkungan kita?

Facebook Comments